Ongkos Sosio-Kultural Era New Normal

Selasa, 02 Juni 2020 - 09:08 WIB
loading...
Ongkos Sosio-Kultural Era New Normal
Foto/Koran SINDO
A A A
Fajar S Pramono
Peminat tema sosial ekonomi, alumnus UNS Surakarta

Meskipun polemik masih ramai terjadi, tampaknya pemerintah telah berbulat tekad. Era normal baru harus segera dimulai, jika kita tidak ingin kehidupan ekonomi menjadi stagnan dan semakin parah.

Tulisan ini tidak akan membahas pro kontra atas kapan waktu tertepat pembukaan gerbang era new normal itu. Yang pasti, saat itu segera tiba. Bukan semata karena keinginan pemerintah, tapi lebih karena “tuntutan” sosial dan ekonomis ketika di sekitar kita ada ancaman wabah dan potensi krisis.

Ongkos Perubahan

Sebuah perubahan pasti menuntut “ongkos”. Konsekuensi. Dan, ongkos itu tidak semata ongkos ekonomik. Tapi ada ongkos sosial, juga ongkos kultural. Ongkos sosial merupakan suatu konsekuensi logis aspek sosial kemasyarakatan dari adanya perubahan. Sementara ongkos kultural merupakan konsekuensi perubahan dalam aspek kebudayaan, adat istiadat dan tradisi. Ada banyak contoh pada kedua konsekuensi ini. Namun dari sekian banyak ongkos sosio-kultural yang ada, tulisan ini hanya akan menyoroti dua “ongkos utama” dari penetapan era kenormalan baru akibat pandemi Covid-19 ini.

Pertama, berkurangnya tingkat kepercayaan sosial (social trust). Jika merunut makna kepercayaan sosial pada ilmu psikologi, ia diartikan sebagai keyakinan atas kejujuran, integritas dan kepemilikan karakter dapat dipercaya (trusted) pada orang lain (Taylor, Funk & Clark, 2006). Namun pada konteks tulisan ini, kepercayaan sosial lebih diartikan sebagai hasil pengalaman yang senantiasa berubah dan terus-menerus memperbarui tingkat kepercayaan dan ketidakpercayaan dalam menanggapi perubahan situasi (Hardin, dalam Delhey & Newton, 2003).

Akibat pandemi, situasi jelas berubah. Orang yang semula tak merasa bermasalah dekat dengan siapa pun secara fisik, sekarang menjaga jarak karena ketidakyakinan masing-masing pihak, apakah ia atau lawan interaksinya menjadi pembawa (carrier) virus Covid-19. Bukan hanya pada orang yang tak dikenal, namun juga dengan orang-orang terdekat.

Teman bermain, rekan sekantor, kolega bisnis, tetangga rumah, bahkan di dalam keluarga kita sendiri. Itu mengapa, kita diminta mengisolasi diri jika ada potensi tertulari. Itu sebabnya, ketika datang dari luar kota berzona merah Covid-19, kita tak diizinkan langsung menyentuh anak, istri, suami, terlebih orang berusia lanjut, kendati mereka orang tua kita sendiri.

Sehingga muncul istilah baru dari Emha Ainun Nadjib dalam bukunya Lockdown 309 Tahun (2020) bahwa hari-hari ini, “Kita terpaksa me-“lepra”-kan satu sama lain, di antara sesama famili, tetangga, sahabat dan siapa pun karena manusia adalah penular Covid-19.”

Perlu waktu dan bukti untuk saling percaya (lagi) secara physically antarmanusia. Karena jangankan dalam situasi wabah penyakit menular; dalam situasi normal pun, percaya pada orang lain bisa membawa konsekuensi yang menguntungkan dan merugikan. Selalu ada risiko. Begitu setidaknya pernyataan Morton Deutsch –psikolog dan peneliti sosial Amerika Serikat– mengenai elemen dasar kepercayaan. Padahal kepercayaan merupakan modal dasar yang sangat penting bagi kolaborasi serta terciptanya partisipasi sosial. Tanpa kepercayaan sosial yang tinggi, kolaborasi dan partisipasi sosial tidak akan menampakkan kontribusi yang signifikan. Kedua, tereduksinya kesakralan-kesakralan tradisi (adat istiadat), bahkan kesakralan religi. Contoh yang masih hangat dalam reduksi laku tradisi sekaligus religi, jelas sunyinya suasana Ramadhan dan lebaran tahun ini. Ramadhan tak diwarnai dengan kajian bersama di “ruang-ruang nyata” majelis taklim. Masjid tak dizinkan menggelar salat tarawih berjamaah. Mudik ke kampung halaman menjadi aktivitas terlarang.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2308 seconds (0.1#10.140)