Perketat Protokol New Normal di Perusahaan dengan Tes Serologi Massal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah sudah menunjukkan tanda-tanda untuk menggerakkan kembali ekonomi dengan merelaksasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada awal Juni mendatang. Protokol New Normal pun sudah diterbitkan oleh pemerintah untuk meminimalisasi dampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akhir-akhir ini akibat lumpuhnya ekonomi.
Pengurus Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, Dono Widiatmoko mengingatkan pelonggaran PSBB harus dilakukan secara hati-hati. "Semua kebijakan harus bersumber pada fakta, evidence yang kuat dan bisa dipertanggung jawabkan," ujar Dono dalam keterangannya, Senin (1/6/2020). (Baca juga: Update Corona 1 Juni 2020: 26.940 Orang Positif, 7.637 Sembuh, dan 1.641 Meninggal Dunia)
Berkumpulnya para pekerja dalam satu waktu dan satu tempat memungkinkan terjadinya kluster-kluster baru COVID-19 jika tidak diantisipasi sedini mungkin. Serangkaian prosedur untuk menjaga keamanan dan kesehatan pekerja selama masa New Normal penting dilakukan. Salah satunya dapat dilakukan dengan mewajibkan prosedur tes massal secara berkala.
Saat ini, untuk mendeteksi virus SARS-Cov-2 penyebab COVID-19, tes PCR adalah standar utama dalam mengkonfirmasi positif tidaknya seseoramg tertular virus SARS-Cov-2. Tapi, tes PCR ada kendalanya. "Data kasus terkonfirmasi dari PCR tidak cukup, mengingat keterbatasan kemampuan kita melakukan tes tersebut," tuturnya.
Keterbatasan itu antara lain mencakup keterbatasan laboratorium dan alat PCR, reagen, serta tenaga terlatih yang mampu melakukan tes secara akurat. Selain itu, tes PCR memerlukan biaya yang cukup besar dan waktu yang relatif lama.
Untuk itu, metode tes yang lain seperti tes serologi cenderung lebih efisien, lebih mudah digunakan dan harganya relatif tidak mahal sehingga tes massal sangat memungkinkan.
"Sebagai alternatif, tes serological bisa dilakukan. Jika dilakukan pada populasi secara random, tes ini bisa melihat sejauh mana infeksi COVID-19 terjadi pada populasi tersebut," tutur Dosen Senior di University of Derby UK itu.
Tes serological sendiri digunakan untuk mengecek antibodi pasien yang dilakukan untuk mencari bukti respons kekebalan tubuh (berupa antibodi IgM dan IgG) terhadap virus SARS-Cov-2. "Dengan diketahuinya informasi ini, pemerintah bisa merancang program-program kesehatan masyarakat, termasuk di antaranya pelonggaran PSBB," imbuh Dono.
Saat melakukan tes serologi, tingkat specificity dan sensitivity produk yang digunakan perlu diperhatikan agar tingkat akurasi hasilnya semakin tinggi. Jika kemudian pasien mendapatkan hasil uji positif terhadap virus, maka pasien akan dirujuk untuk tes PCR untuk mendapatkan hasil paling akurat.
"Tes ini harus dilakukan secara massal, dan berkala atau berulang. Misalnya, pada minggu ini dilakukan survei serologi pada 1.000 orang warga Jakarta secara acak. Maka, minggu depan diulangi lagi dan seterusnya," ucapnya.
Tes ini, harus dilakukan untuk pabrik-pabrik dan tambang dengan jumlah pekerja yang mencapai ratusan dan ribuan. "Bisa juga dilakukan pada komunitas-komunitas tertentu, seperti pada tenaga kesehatan, Polri, driver ojol, dan petugas transportasi seperti TransJakarta, MRT, Commuter Line," beber Dono. ( )
Untuk menggelar tes ini, dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dono menyatakan, pemerintah yang mesti menanggung biaya tes ini. "Tentu saja ini harus dibiayai pemerintah. Bukan bersumber dari biaya masing-masing," tutup Dono.
Pengurus Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, Dono Widiatmoko mengingatkan pelonggaran PSBB harus dilakukan secara hati-hati. "Semua kebijakan harus bersumber pada fakta, evidence yang kuat dan bisa dipertanggung jawabkan," ujar Dono dalam keterangannya, Senin (1/6/2020). (Baca juga: Update Corona 1 Juni 2020: 26.940 Orang Positif, 7.637 Sembuh, dan 1.641 Meninggal Dunia)
Berkumpulnya para pekerja dalam satu waktu dan satu tempat memungkinkan terjadinya kluster-kluster baru COVID-19 jika tidak diantisipasi sedini mungkin. Serangkaian prosedur untuk menjaga keamanan dan kesehatan pekerja selama masa New Normal penting dilakukan. Salah satunya dapat dilakukan dengan mewajibkan prosedur tes massal secara berkala.
Saat ini, untuk mendeteksi virus SARS-Cov-2 penyebab COVID-19, tes PCR adalah standar utama dalam mengkonfirmasi positif tidaknya seseoramg tertular virus SARS-Cov-2. Tapi, tes PCR ada kendalanya. "Data kasus terkonfirmasi dari PCR tidak cukup, mengingat keterbatasan kemampuan kita melakukan tes tersebut," tuturnya.
Keterbatasan itu antara lain mencakup keterbatasan laboratorium dan alat PCR, reagen, serta tenaga terlatih yang mampu melakukan tes secara akurat. Selain itu, tes PCR memerlukan biaya yang cukup besar dan waktu yang relatif lama.
Untuk itu, metode tes yang lain seperti tes serologi cenderung lebih efisien, lebih mudah digunakan dan harganya relatif tidak mahal sehingga tes massal sangat memungkinkan.
"Sebagai alternatif, tes serological bisa dilakukan. Jika dilakukan pada populasi secara random, tes ini bisa melihat sejauh mana infeksi COVID-19 terjadi pada populasi tersebut," tutur Dosen Senior di University of Derby UK itu.
Tes serological sendiri digunakan untuk mengecek antibodi pasien yang dilakukan untuk mencari bukti respons kekebalan tubuh (berupa antibodi IgM dan IgG) terhadap virus SARS-Cov-2. "Dengan diketahuinya informasi ini, pemerintah bisa merancang program-program kesehatan masyarakat, termasuk di antaranya pelonggaran PSBB," imbuh Dono.
Saat melakukan tes serologi, tingkat specificity dan sensitivity produk yang digunakan perlu diperhatikan agar tingkat akurasi hasilnya semakin tinggi. Jika kemudian pasien mendapatkan hasil uji positif terhadap virus, maka pasien akan dirujuk untuk tes PCR untuk mendapatkan hasil paling akurat.
"Tes ini harus dilakukan secara massal, dan berkala atau berulang. Misalnya, pada minggu ini dilakukan survei serologi pada 1.000 orang warga Jakarta secara acak. Maka, minggu depan diulangi lagi dan seterusnya," ucapnya.
Tes ini, harus dilakukan untuk pabrik-pabrik dan tambang dengan jumlah pekerja yang mencapai ratusan dan ribuan. "Bisa juga dilakukan pada komunitas-komunitas tertentu, seperti pada tenaga kesehatan, Polri, driver ojol, dan petugas transportasi seperti TransJakarta, MRT, Commuter Line," beber Dono. ( )
Untuk menggelar tes ini, dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dono menyatakan, pemerintah yang mesti menanggung biaya tes ini. "Tentu saja ini harus dibiayai pemerintah. Bukan bersumber dari biaya masing-masing," tutup Dono.
(kri)