Belajar Adil dari Yap Thiam Hien, Pembela Kaum Tertindas

Selasa, 21 September 2021 - 06:00 WIB
loading...
Belajar Adil dari Yap Thiam Hien, Pembela Kaum Tertindas
Yap Thiam Hien adalah advokat ulung yang pernah menggetarkan hati lawan maupun kawan dengan komitmennya yang tak kenal kompromi pada keadilan. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Yap Thiam Hien adalah advokat ulung yang pernah menggetarkan hati lawan maupun kawan dengan komitmennya yang tak kenal kompromi pada keadilan. Komitmennya terhadap keadilan terekspresikan dalam pembelaannya terhadap hak kaum tertindas.

"Jika Anda hendak menang perkara, jangan pilih saya sebagai advokat Anda, karena pasti kita akan kalah. Tapi jika Anda merasa cukup dan yakin mengemukakan kebenaran Anda, maka saya bersedia menjadi pembela Anda?"

Yap Thiam Hien selalu mengawali konsultasi dengan calon kliennya dengan menyampaikan pertanyaan tersebut. Kalimat yang dilontarkan Yap Thiam Hien itu tak lekang oleh waktu meski dia sudah tiada.

Yap adalah seorang pengacara Indonesia keturunan Tionghoa. Dia lahir lahir di Koeta Radja, Aceh pada 25 Mei 1913. Ia mengabdikan seluruh hidupnya berjuang demi menegakkan keadilan dan hak asasi manusia (HAM). Namanya kemudian diabadikan sebagai nama sebuah penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang berjasa besar bagi penegakan hak asasi manusia di Indonesia.

Yap yang biasa dipanggil "John" oleh teman-teman akrabnya adalah anak sulung dari tiga bersaudara dari Yap Sin Eng dan Hwan Tjing Nio. Keluarganya masih keturunan Cabang Atas, yaitu golongan baba bangsawan di Hindia Belanda. Kakek buyutnya, Yap A Sin, menjabat sebagai Luitenant der Chinezen di Kutaraja adalah kelahiran Guangdong di Tiongkok yang hijrah ke Bangka lalu menetap di Aceh.

Ketika monopoli opium di Hindia Belanda dihapuskan, kehidupan keluarga Yap dan banyak tokoh masyarakat Tionghoa saat itu merosot. Ditambah lagi oleh kekeliruan investasi di Aceh berupa kebun kelapa yang ternyata tidak memberikan hasil yang menguntungkan. Pada tahun 1920 kedudukan keluarga Yap digantikan oleh keluarga Han, yang datang dari Jawa Timur.

Yap dibesarkan dalam lingkungan perkebunan yang sangat feodalistik. Kondisi lingkungan feodalistik ini telah menempa pribadi cucu Kapitan Yap Hun Han (Jap Joen Khoy) ini sejak kecil bersifat memberontak dan membenci segala bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan.

Pada usia 9 tahun, ibu Yap meninggal dunia. Ia dan kedua orang adiknya kemudian dibesarkan oleh Sato Nakashima, seorang perempuan Jepang yang merupakan gundik kakeknya. Sato ternyata memainkan peranan besar dalam kehidupan Yap, memberikan kemesraan keluarga yang biasanya tidak ditemukan dalam keluarga Tionghoa serta rasa etis yang kuat yang kelak menjiwai kehidupan Yap pada masa dewasa.

Yap Sin Eng, ayah Yap ternyata adalah figur yang lemah. Namun Sin Eng ikut membentuk kehidupan anak-anaknya karena ia memutuskan untuk memohon status hukum disamakan (gelijkstelling) dengan bangsa Eropa. Hal ini memungkinkan anak-anaknya memperoleh pendidikan Eropa, meskipun mereka telah kehilangan status sebagai tokoh masyarakat.

Yap menempuh pendidikan di Europesche Lagere School, Banda Aceh. Kemudian melanjut ke MULO. Pada tahun 1920-an, ayahnya membawa Yap dan adiknya Thiam Bong pindah ke Batavia. Yap pun pindah sekolah ke MULO di Batavia, lalu meneruskan ke AMS A-II dengan program bahasa-bahasa barat di Bandung dan Yogyakarta (kini SMA Negeri 1 Yogyakarta) dan lulus pada 1933. Ia sangat tertarik akan sejarah dan fasih dalam bahasa-bahasa Barat, yaitu bahasa Belanda, bahasa Jerman, bahasa Inggris, bahasa Prancis, dan bahasa Latin.

Lulus dari AMS, Yap tidak langsung memperoleh pekerjaan. Karena itu ia pindah ke Batavia dan masuk ke Hollands-Chineesche Kweekschool (HCK) di Meester Cornelis. HCK adalah sekolah pendidikan guru yang berlangsung satu tahun yang memberikan kesempatan kepada para pemuda peranakan yang ingin menempuh pendidikan profesional tetapi tidak mempunyai biaya untuk masuk ke universitas.

Setamat dari HCK, Yap menjadi guru selama empat tahun di wilde scholen (sekolah-sekolah yang tidak diakui Pemerintah Belanda) Chinese Zendingschool, Cirebon. Berikutnya menjadi guru di Tionghwa Hwee Kwan Holl, China School di Rembang dan Christelijke School di Batavia. Lalu, sejak 1938, Yap yang pernah menjadi pencari langganan telepon, bekerja di kantor asuransi Jakarta dan di Balai Harta Peninggalan Departemen Kehakiman pada 1943 serta mendaftar di Rechsthogeschool (Sekolah Tinggi Hukum).

Tiga tahun kemudian tepatnya awal 1946, Yap mendapatkan kesempatan untuk bekerja pada sebuah kapal pemulangan orang-orang Belanda yang mengantarkannya ke Belanda untuk menyelesaikan studi hukumnya di Universitas Leiden. Dari sana ia meraih gelar Meester in de Rechten. Sementara belajar di Leiden, Thiam Hien tinggal di Zendingshuis, pusat Gereja Reformasi Belanda di Oegstgeest.

Selama tinggal di Zendingshuis, Yap banyak membaca buku-buku teologi Protestan dan berdiskusi dengan para mahasiswa Belanda yang mempersiapkan diri untuk menjadi misionaris. Yap semakin tertarik akan pelayanan gereja dan Gereja Reformasi Belanda kemudian menawarkan kesempatan kepada Thiam Hien untuk belajar di Selly Oak College di Inggris dengan syarat ia kelak mengabdikan hidupnya bagi pelayanan gereja di Indonesia.

Yap lalu menyetujuinya dan sekembalinya dari Eropa ia menjadi pemimpin organisasi pemuda Kristen Tjeng Lian Hwee di Jakarta pada akhir 1940-an. Selama di Belanda, Yap berkembang menjadi seorang sosialis demokrat melalui pergaulannya dengan banyak mahasiswa Indonesia lainnya yang terkait dengan Partij van de Arbeid (Partai Buruh) di Italia.

Sekembalinya ke Tanah Air pada 1948, Yap menikahi perempuan asal Semarang, Tan Gien Khing Nio. Pernikahan mereka diresmikan di tengah handai taulan, cukup sederhana, di sebuah restoran di Jalan Sabang, Jakarta. Seratusan tamu disuguhi teh dan kue saja.

Ia pun kemudian mulai berkiprah sebagai seorang pengacara warga untuk warga keturunan Tionghoa di Jakarta. Belakangan ia bergabung dengan sebuah biro hukum kecil namun cukup terkemuka dengan rekan-rekannya yang semuanya terlibat dalam masalah yang jauh lebih luas daripada sekadar masalah Tionghoa.

Rekan seniornya pada waktu itu antara lain adalah Lie Hwee Yoe, pendiri biro hukum itu pada tahun 1930-an, Tan Po Goan, seorang pendukung aktif revolusi dan kemudian menjadi anggota Partai Sosialis Indonesia dan Oei Tjoe Tat yang jauh lebih muda, seorang aktivis Sin Ming Hui dan belakangan aktif di Baperki dan Partindo.

Setelah lebih berpengalaman, Yap bersama John Karwin, Mochtar Kusumaatmadja dan Komar membuka kantor pengacara pada 1950. Lalu pada tahun 1970, Yap membuka kantor pengacara sendiri dan memelopori berdirinya Peradin (Persatuan Advokat Indonesia) dan kemudian menjadi pimpinan asosiasi advokat itu.

Dalam rangka memperkuat perlawanannya terhadap penindasan dan tindakan diskriminatif yang dialami keturunan Tionghoa, Yap ikut mendirikan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), suatu organisasi massa yang mulanya didirikan untuk memperjuangkan kepentingan politik orang-orang Tionghoa.

Dikisahkan sepulang dari kantor, Yap beristirahat sebentar. Hanya saja, kali ini istirahatnya membuahkan mimpi yang agak di luar kebiasaan. Dia kemudian menceritakan ke istrinya, Khing bermimpi ditunjuk untuk membela Omar Dani, mantan Menteri Panglima Angkatan Udara yang dituduh terlibat gerakan G30S/PKI-Red).

Mimpi seolah menjadi nyata, ketika saat itu juga terdengar suara kendaraan berhenti di depan rumah mereka di bilangan Grogol, Jakarta Barat. Khing melongok keluar. Sebuah jip militer besar, bertuliskan "Mahmilub"!

Di masa awal Orde Baru itu, Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) sangat besar peran dan kekuasaannya dalam mengusut kasus-kasus G30S. Tak ada yang tidak khawatir melihat kendaraan Mahmilub berhenti di rumahnya. Khing membuka pintu sementara di dalam benak menghunjam kegetiran bercampur kekhawatiran. Trauma penangkapan suaminya oleh Pasukan Kalong di awal 1966 belum hilang dari ingatan.

Kedatangan tiga petugas, Khing lalu mempersilakan duduk. Salah satu petugas kemudian mengingatkan tak perlu takut. Perwira yang sama kemudian menyampaikan membawa perintah Mahmilub yang menunjuk Yap untuk membela Soebandrio. Soebandrio adalah mantan Wakil Perdana Menteri pertama merangkap menlu yang dituduh salah satu tokoh utama G30S/PKI.

Khing dapat melihat suaminya sedikit gugup, tapi perasaan itu tampak dapat ditekannya. Yap kemudian mengamini permintaan itu. "Kalau begitu yang diperintahkan oleh Pemerintah, saya tidak ada jalan lain kecuali menerimanya."

Yap menyadari betul konsekuensi tugas itu. Istrinya tak kurang khawatir, sampai ia melarang suaminya keluar setiap kali ada tamu mengetuk pintu. Ia khawatir suaminya ditembak orang yang tak senang hati ia membela Soebandrio. Khing pun dapat merasakan, suaminya mulai dijauhi kolega.

Sebulan lebih ia bekerja. Pagi berangkat, makan siang pulang, lalu pergi bekerja lagi dan baru kembali sekitar pukul 21.00. Namun di mata istrinya, perilaku Yap tetap tenang, seperti tak ada beban berat.

Dalam kenangan Adnan Buyung Nasution seperti diungkapkan Matra, edisi Maret 1999, saat itu Yap tampil amat mengesankan karena mutu ilmu hukumnya yang tinggi dan kegigihannya mempertahankan hak-hak terdakwa. Orang tak menyangka kalau untuk kerja yang penuh dedikasi itu tak ada honor sepeser pun diterimanya dari pemerintah. Persoalan materi sejak awal tidak menjadi daya tarik utama bekas guru ini.

Dalam tataran profesi, reputasinya sebagai advokat yang tak banyak basa-basi semakin terbentuk. Ketika masih bergabung dengan kantor advokat Tan Po Goan di tahun 1950-an, dalam posisi membela beberapa orang Pasar Senen yang kena gusur seorang kaya pemilik gedung, Yap menyerang pribadi advokat lawannya dengan mengatakan, "Bagaimana bisa Anda membantu seorang kaya menentang orang miskin?" Serangan pribadi macam itu tentu melanggar etika antarkolega di sidang pengadilan.

Yap bahkan dijuluki advokat kepala batu, keras dan teguh membela kebenaran yang selalu dilihatnya hitam putih. Salah satu buah kerepotan akibat sikapnya itu ya sekitar tahun baru 1966, saat subuh rumahnya digedor pasukan berseragam hitam yang mengambil Yap begitu saja. Ia sempat menginap di hotel prodeo selama sekitar lima hari, atas tuduhan terlibat Gestapu karena pernah jadi anggota Baperki sebuah ormas yang dicap "kiri".

Yap memang pernah menduduki jabatan wakil ketua, namun sejak sebelum 1960 tak aktif lagi di Baperki karena tak cocok pandangan dengan ketuanya, Siauw Giok Tjhan. Sementara di sisi lain Hong Gie (48), anak sulungnya meyakini penahanan ayahnya itu lebih berkaitan dengan pembelaannya dalam sebuah kasus cek kosong di mana kliennya diperas oleh seorang jaksa tinggi.

Belakangan sang jaksa tinggi mengadukannya ke pengadilan sehingga pada 1968 Yap divonis satu tahun penjara oleh Pengadilan Istimewa Jakarta. Hanya saja, meski lewat proses banding bertahun-tahun, akhirnya ia divonis bebas. Menurut Hong Gie, untuk kasus ini ayahnya tidak pernah sampai ditahan.

Belum lagi riwayatnya berkaitan dengan peristiwa Malari, 1974. Dianggap sebagai salah satu "cendekiawan provokator" peristiwa itu, ia masuk bui juga. Akhirnya, tuduhan itu tak terbukti dan 11 bulan kemudian ia dibebaskan.

Konsistensi Yap dalam membela tegaknya hukum sulit dicari tandingannya. Demi prinsip keadilan dan hukum yang diyakininya, tidak ada satu orang atau institusi apa pun yang cukup perkasa untuk menciutkan nyalinya.

Bahkan tak jarang, tindak sewenang-wenang oleh aparat di jalanan terhadap orang yang sama sekali tidak ia kenal pun akan membuat Yap menghentikan kendaraan untuk mencampuri urusan itu.

Kesetiaannya pada keadilan tidak pandang bulu meski menyangkut anak sendiri. Itu dialami Hong Gie. Saat itu sebagai remaja 16 tahun, ia menabrak seorang anak dengan mobil yang dikendarai tanpa SIM.

Dalam perjalanan ke kantor polisi, ayahnya berpesan supaya dalam sidang pengadilan nanti ia mengaku bersalah dan meminta maaf kepada hakim atas pelanggaran yang dilakukan. Hong Gie ditinggalkan di sana sampai dijemput ibunya dua malam kemudian. Mengakui itu sebagai salah satu peristiwa paling menakutkan di masa remajanya, Hong Gie belakangan tahu, ibunya terkadang menengok anak yang tertabrak itu.

Betapa pun Yap keras memegang prinsip, tak tabu pula baginya mengaku bersalah. Itu terjadi ketika Hong Gie remaja melancarkan aksi protes terhadap bahasa pukulan sang ayah (bisa sapu lidi, bisa batang pohon). Drama yang berlangsung sampai dua minggu itu berakhir saat sang ayah menyadari kekeliruannya. Ia minta maaf dan berjanji tak akan memukul lagi.

Perihal kedisiplinan Yap, sang istri pun tidak kekurangan cerita. Suatu sore ada undangan resepsi perkawinan. Mereka merencanakan berangkat pukul 18.30. Tapi entah kenapa, Khing terlambat berdandan. Begitu selesai, dia langsung bergegas ke garasi. Namun, dia mendapati garasi kosong. Yap ternyata sudah berangkat meninggalkan Khing karena terlalu lama dandan.

Bagi keluarga Yap, berlibur bersama merupakan kesempatan yang amat langka. Sebaliknya, risiko pekerjaan salah satu pendiri Universitas Kristen Indonesia ini tetap ditanggung oleh seluruh keluarga. Misalnya, anjing diracuni, rumah disambiti.

Apalagi saat Yap ditahan karena kasus Malari, ketangguhan Khing yang disebutnya "Menteri Dalam Negeri" oleh Yap sungguh diuji. Dengan sisa tabungan Khing membeli mobil untuk dijalankan sebagai taksi jam-jaman. Keadaan yang pas-pasan itu memaksanya juga untuk menukar minuman keras dari bingkisan Natal dan Tahun Baru dengan kebutuhan sehari-hari di Pasar Cikini.

Sekali waktu Yap baru keluar dari penjara untuk kasus Malari. Tiba di rumah pukul 23.00, belum sempat duduk santai, Yap sudah mengatakan akan membela seseorang yang kasusnya cukup berat dengan risiko dan komplikasi cukup besar. Sampai-sampai Khing mengancam akan pergi dari rumah kalau dia tetap ngotot menangani kasus itu.

Puluhan tahun bergelut dengan kasus tak menjadikan mata hatinya tumpul, bahkan empatinya terhadap yang terpidana semakin tumbuh mendorongnya mendirikan dan mengetuai Prison Fellowship, organisasi yang melayani narapidana. Kepeduliannya pada hak-hak asasi manusia semakin menajam ketika ia bergabung dalam Regional Council on Human Rights in Asia, juga anggota Asian Comission on Human Rights.

Bahkan pada 1987 ia masih berani dan "galak" untuk mulai terlibat dalam InterNGO Conference on Indonesia (INGI). Organisasi ini bertujuan mengembangkan partisipasi rakyat dan LSM dalam pembangunan masyarakat dan negara. Justru untuk menghadiri pertemuan INGI ini (April 1989), Yap berangkat ke Belgia. Meski suratan takdir bicara lain.

Istrinya mengisahkan sudah berjanji bertemu di Singapura. Rencananya mereka akan berjalan-jalan dulu selama dua hari di sana sebelum pulang bersama ke Tanah Air. Koper sudah dikemasi, exit permit (waktu itu diperlukan bagi yang akan ke luar negeri-Red) juga sudah diurus.

Tiba-tiba tengah malam ada kabar bahwa Yap sakit. Aortanya pecah dan perlu dioperasi sehingga dibutuhkan izin dari istri. Khing mengatakan tak perlu menunggu dirinya tiba di sana. Dia meminta dokter melakukan yang terbaik. Namun, di dalam hati Khing sudah merasa.

Sementara itu nun jauh di sana, sakit Yap semakin parah. Yap Thiam Hien mengakhiri perjuangannya yang tak kenal lelah pada Senin 25 April 1989 di RS St Agustinus, Veurne, 135 km dari Brussels. Jauh dari keluarga, namun di tengah teman dan rekan seperjuangan seperti yang sering terjadi di sepanjang hidupnya.

Jenazahnya diterbangkan ke Jakarta. Lima hari kemudian, diiringi ribuan pelayat, jenazahnya dikebumikan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir Jakarta.

Selama hidupnya, Yap dikenal sebagai seorang Kristen yang saleh dan aktif dalam kegiatan gereja. Ia ikut mendirikan Universitas Kristen Indonesia dan pernah duduk dalam salah satu komisi dari Dewan Gereja-gereja se-Dunia dan International Commission of Jurists. Arief Budiman, aktivis yang merupakan kakak Soe Hok Gie pernah menjuluki Yap sebagai seorang "triple minority" di Indonesia, yaitu Tionghoa, Kristen, dan Jujur.

*Disadur dari Wikipedia dan sumber-sumber lainnya.
(kri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2557 seconds (0.1#10.140)