Diplomasi HAM Indonesia

Jum'at, 20 Januari 2023 - 16:50 WIB
loading...
Diplomasi HAM Indonesia
Andi Purwono (Foto: Ist)
A A A
Andi Purwono
Dosen Hubungan Internasional FISIP, Wakil Rektor 1 Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang

KEMENTERIAN Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan teknologi (Kemendikbudristek) diberitakan akan mempelajari dan menindaklanjuti rekomendasi Tim Penyelesaian Non- Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Masal Lalu (PPHAM).

Satu di antaranya mengenai penyusunan dan penulisan ulang sejarah yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat. Sebelumnya, Dewan HAM PBB di Jenewa mengapresiasi pengakuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait 12 pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia (11/1). Juru bicaranya, Liz Throssell pada Sabtu (14/1) menyampaikan apresiasi selain desakan langkah tindak lanjut.

Baca Juga: koran-sindo.com

Dalam dunia yang saling tergantung, isu HAM tidak lagi bisa dilihat sebagai persoalan domestik/nasional belaka. Penghormatan global terhadap HAM turut membuatnya mudah mengalami internasionalisasi. Proses sebuah persoalan HAM menjadi isu internasional sendiri tidak selalu bermakna negatif.

Pengakuan pelanggaran HAM berat masa lalu merupakan langkah domestik namun berdimensi internasional. Ia bisa disebut sebagai continuity (keberlanjutan) dalam diplomasi kita. Sejak Reformasi, HAM menjadi bagian tidak terpisahkan dari diplomasi Indonesia dan turut memainkan peran penting dalam mengkonstruksi citra internasional Indonesia.

Studi Dafri Agussalim (2016) menyebut dinamika sikap Indonesia atas isu HAM ini. Semangat nasionalisme yang kuat disertai semangat antikolonialisme, antiimperialisme, dan ambisi menjadi pemimpin dunia, serta keyakinan atas ideologi Pancasila dibanding norma Barat di Era Orde Lama membuat perhatian terhadap HAM kurang memadai serta cenderung memberi pemaknaan sangat negatif terhadap standar HAM internasional. Akibatnya, pemerintah Orde Lama menolak mengadopsi secara formal standar HAM internasional yang sudah diberlakukan PBB saat itu.

Di era Orde Baru, kepentingan pembangunan ekonomi dan stabilitas keamanan menjadi tujuan politik luar negeri. Pemerintah cenderung berhati- hati dan enggan menerima dan mengadopsi nilai- nilai Barat.

Ada sejumlah konvensi yang memiliki risiko politik jika diratifikasi seperti Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Konvensi Anti Penyiksaan (CAT), dan Konvensi Anti Diskriminasi Rasial (CERD). Dibanding pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan, HAM dianggap bukan prioritas saat itu. Bahkan, Indonesia banyak mengalami kejadian pelanggaran HAM berat. Akibatnya, kita sempat menerima berbagai tekanan bahkan sanksi internasional.

Di era Reformasi, HAM tidak lagi dianggap sebagai ancaman namun sesuatu yang sesuai dengan amanat UUD 1945, Pancasila, nilai social, budaya dan adat kita. Pandangan yang dominan bahkan menyebut standar HAM sangat diperlukan dan penting bagi pembangunan Indonesia di segala bidang. Ia juga penting untuk mempertahankan dan meningkatkan martabat, posisi, dan peran internasional Indonesia.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1708 seconds (0.1#10.140)