PBHI Imbau Masyarakat Tak Mendukung Pelanggar HAM di Pemilu 2024
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Nasional mengimbau masyarakat tidak memilih pelaku pelanggaran HAM pada Pemilu 2024 . PBHI juga mengajak masyarakat untuk tidak melupakan begitu saja tragedi kerusuhan yang terjadi pada era 1998-an silam.
Ketua PBHI Nasional Julius Ibrani mengatakan, pelaku kejahatan di masa lalu tidak pantas menjadi pemimpin Indonesia. "Langkah kampanye ini juga akan kami dorong bagi para pemilih membuka mata dan telinga agar tidak memberikan suaranya kepada para pelanggar HAM," katanya dalam diskusi publik di Sadjoe Cafe, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (26/7/2023).
Julius menegaskan hingga kini belum ada penyelesaian atau penuntasan kasus kerusuhan 1998 yang tergolong pada pelanggaran HAM berat. Kejadian tersebut tidak boleh dilupakan hingga persoalan ini terungkap.
"Ini bagian juga dari gerakan sosial dan politik dari kelompok masyarakat sipil. Bahwa nasib kami masih diujung tanduk selama pelaku HAM berat ini masih berada dalam kekuasaan dan berpotensi makin berkuasa lagi dalam kontestasi Pemilu 2024," ungkapnya.
Pihaknya bahkan sudah berkoordinasi dengan para keluarga korban untuk menagih komitmen dan tanggung jawab Komnas HAM mengusut tuntas siapa dalang dan pelaku yang terlibat di dalamnya. "Dan tindakan yang paling berat adalah mulai dari korban kekerasan, penyiksaan, penculikan. Kami Minta Komnas HAM bersikap tegas," tegasnya.
Julius sempat menyinggung mengenai politik impunitas pada Pemilu 2024. Apabila masyarakat tetap memberikan ruang bagi pelanggar HAM berat tersebut untuk memiliki kekuasaan dan pengaruh, dikhawatirkan tragedi serupa terulang kembali di masa mendatang.
"Politik impunitas ini tidak hanya kami bunyikan pada Pemilu 2024 tapi juga pada 10 tahun lalu yakni 2014. Kami tegaskan selama ada itu belum clean and clear dari para pelaku pelanggar HAM. Itu bisa dimaknai sebagai politik impunitas," jelasnya.
Dalam kesempatan itu, Paian Siahaan, ayah Ucok Munandar (korban penculikan 1998) juga turut bersuara. Paian mengatakan status penghilangan paksa anaknya sampai saat ini masih belum menemukan titik terang.
"Saya orang tua Ucok Siahaan salah satu korban penculikan 1998. Secara jelas setelah Komnas HAM melakukan penyelidikan, anak saya dinyatakan korban penculikan pelanggaran HAM di masa lalu," katanya.
Paian mengaku sangat sakit hati jika seseorang menyatakan bahwa kasus penghilangan paksa itu sudah selesai dan tidak perlu diungkit lagi. Pasalnya, sudah lebih dari 25 tahun Paian berjuang untuk mencari kejelasan status hukum yang menimpa anaknya.
Sayangnya hingga saat ini belum ada kejelasan mengenai hal tersebut. "Kami mohon agar pernyataan ini dapat tersebarluaskan, jangan kami dikorbankan, ini menyakitkan buat kami yang telah berjuang," ujarnya.
Di akhir acara dilakukan deklarasi korban dan masyarakat sipil melawan lupa. Mereka berasal dari perwakilan PBHI Nasional, Imparsial, Kontras, IKOHI, Amnesti Internasional Indonesia, Centra Initiative, Setara Institute, HRWG, dan Forum De Facto.
Kemudian ada Maria Sanu (Ibu kandung Stefanus, korban tragedi kerusuhan 1998), serta Paian Siahaan (Ayah kandung Ucok Munandar, korban penculikan dan penghilangan paksa 1997/1998). Sementara itu, Petrus Hariyanto (korban penyiksaan dan tragedi 27 Juli 1996) hadir dengan pesan singkatnya melalui video yang ditayangkan saat acara.
Ketua PBHI Nasional Julius Ibrani mengatakan, pelaku kejahatan di masa lalu tidak pantas menjadi pemimpin Indonesia. "Langkah kampanye ini juga akan kami dorong bagi para pemilih membuka mata dan telinga agar tidak memberikan suaranya kepada para pelanggar HAM," katanya dalam diskusi publik di Sadjoe Cafe, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (26/7/2023).
Julius menegaskan hingga kini belum ada penyelesaian atau penuntasan kasus kerusuhan 1998 yang tergolong pada pelanggaran HAM berat. Kejadian tersebut tidak boleh dilupakan hingga persoalan ini terungkap.
"Ini bagian juga dari gerakan sosial dan politik dari kelompok masyarakat sipil. Bahwa nasib kami masih diujung tanduk selama pelaku HAM berat ini masih berada dalam kekuasaan dan berpotensi makin berkuasa lagi dalam kontestasi Pemilu 2024," ungkapnya.
Pihaknya bahkan sudah berkoordinasi dengan para keluarga korban untuk menagih komitmen dan tanggung jawab Komnas HAM mengusut tuntas siapa dalang dan pelaku yang terlibat di dalamnya. "Dan tindakan yang paling berat adalah mulai dari korban kekerasan, penyiksaan, penculikan. Kami Minta Komnas HAM bersikap tegas," tegasnya.
Julius sempat menyinggung mengenai politik impunitas pada Pemilu 2024. Apabila masyarakat tetap memberikan ruang bagi pelanggar HAM berat tersebut untuk memiliki kekuasaan dan pengaruh, dikhawatirkan tragedi serupa terulang kembali di masa mendatang.
"Politik impunitas ini tidak hanya kami bunyikan pada Pemilu 2024 tapi juga pada 10 tahun lalu yakni 2014. Kami tegaskan selama ada itu belum clean and clear dari para pelaku pelanggar HAM. Itu bisa dimaknai sebagai politik impunitas," jelasnya.
Dalam kesempatan itu, Paian Siahaan, ayah Ucok Munandar (korban penculikan 1998) juga turut bersuara. Paian mengatakan status penghilangan paksa anaknya sampai saat ini masih belum menemukan titik terang.
"Saya orang tua Ucok Siahaan salah satu korban penculikan 1998. Secara jelas setelah Komnas HAM melakukan penyelidikan, anak saya dinyatakan korban penculikan pelanggaran HAM di masa lalu," katanya.
Paian mengaku sangat sakit hati jika seseorang menyatakan bahwa kasus penghilangan paksa itu sudah selesai dan tidak perlu diungkit lagi. Pasalnya, sudah lebih dari 25 tahun Paian berjuang untuk mencari kejelasan status hukum yang menimpa anaknya.
Sayangnya hingga saat ini belum ada kejelasan mengenai hal tersebut. "Kami mohon agar pernyataan ini dapat tersebarluaskan, jangan kami dikorbankan, ini menyakitkan buat kami yang telah berjuang," ujarnya.
Di akhir acara dilakukan deklarasi korban dan masyarakat sipil melawan lupa. Mereka berasal dari perwakilan PBHI Nasional, Imparsial, Kontras, IKOHI, Amnesti Internasional Indonesia, Centra Initiative, Setara Institute, HRWG, dan Forum De Facto.
Kemudian ada Maria Sanu (Ibu kandung Stefanus, korban tragedi kerusuhan 1998), serta Paian Siahaan (Ayah kandung Ucok Munandar, korban penculikan dan penghilangan paksa 1997/1998). Sementara itu, Petrus Hariyanto (korban penyiksaan dan tragedi 27 Juli 1996) hadir dengan pesan singkatnya melalui video yang ditayangkan saat acara.
(poe)