Wabah Tembakau Versus Wabah Corona
loading...
A
A
A
Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI
SELURUH dunia kini tengah dikepung oleh virus Corona atau Covid-19, tak terkecuali Indonesia. Seolah dunia berhenti berputar oleh virus yang berasal dari Wuhan ini. Warga dunia seperti tunggang langgang menyelamatkan diri dari serangan virus corona, yang kini telah memakan korban 300 ribuan meninggal dunia. Dan lebih dari 2.5 juta manusia terkonfirmasi positif mengidap Covid-19.
Namun warga dunia tampak lebih sepi oleh adanya wabah yang lebih dahsyat, yakni wabah konsumsi tembakau. Bagaimana tidak lebih dahsyat jika korban meninggal dunia akibat tembakau mencapai lebih dari lima jutaan per tahunnya.
Di Indonesia tak kurang dari 200 ribuan orang Indonesia meninggal akibat wabah tembakau ini. Namun ironisnya respons terhadap wabah yang satu ini jauh dari memadai, bahkan masih adem ayem saja. Baik negaranya, dan juga masyarakatnya.
Pertanyaannya, kenapa respon terhadap kurang memadai terjadap fenomenda wabah tembakau. Penyebabnya, pertama, tembakau dengan rokoknya masih dianggap hal yang normal. Aktivitas merokok pun dianggap normal saja, bahkan keren. Tak merokok dianggapnya norak. Di kalangan remaja, tak merokok dianggap kampungan alias ndeso.
Kedua, sosialisasi produk rokok pun begitu gencar dan masif, baik sosialisasi langsung seperti iklan dan atau promosi rokok. Atau promosi secara terselubung seperti melalui kegiatan CSR, bahkan CSR di dunia pendidikan. Sosialisasi produk prokok sejatinya hal yang tidak lazim dan primitif. Hanya Indonesia yang masih melegalkan hal yang semacam ini.
Ketiga, pengendalian tembakau yang masih memble, baik di level regulasi dan atau kebijakan. Sebagai contoh, hingga detik ini pemerintah Indonesia belum melakukan ratifikasi/aksesi FCTC (Framework Conbention on Tobacco Control). Padahal FCTC sudah menjadi hukum internasional sejak 2003, dan Indonesia merupakan inisiator FCFC. Ini merupakan hal yang memalukan dari sisi konvensi dan fatsun internasional.
Kuatnya lobi industri rokok menjadi penyebab utama. Industri rokok begitu kencang lobinya baik di berbagai level.
Lalu bagaimana kita menyikapi wabah konsumsi tembakau ini?
Ada beberapa hal utama untuk sedikit mengendalikan wabah konsumsi tembakau ini. Pertama, secara general adalah memperkuat sisi pengendalian tembakau. Seperti menaikkan cukai rokok secara konsisten dan signifikan, melarang total iklan dan promosi rokok, mewujudkan kawasan tanpa rokok, dan peringatan kesehatan bergambar.
Dan secara sosiologis, harus ada gerakan yang mendenormalisasi aktivitas industri rokok. Harus ada new normal dalam masalah rokok di tengah masyarakat. New normal yang sejati adalah menjadikan hidup tanpa rokok, atau minimal tobacco distancing. Jadi bukan hanya dengan virus corona saja kita harus jaga jarak. Dengan tembakau pun harus secara konsisten melakukan jaga jaga jarak. Sejauh mungkin, makin jauh makin aman. Makin selamat.
Ketua Pengurus Harian YLKI
SELURUH dunia kini tengah dikepung oleh virus Corona atau Covid-19, tak terkecuali Indonesia. Seolah dunia berhenti berputar oleh virus yang berasal dari Wuhan ini. Warga dunia seperti tunggang langgang menyelamatkan diri dari serangan virus corona, yang kini telah memakan korban 300 ribuan meninggal dunia. Dan lebih dari 2.5 juta manusia terkonfirmasi positif mengidap Covid-19.
Namun warga dunia tampak lebih sepi oleh adanya wabah yang lebih dahsyat, yakni wabah konsumsi tembakau. Bagaimana tidak lebih dahsyat jika korban meninggal dunia akibat tembakau mencapai lebih dari lima jutaan per tahunnya.
Di Indonesia tak kurang dari 200 ribuan orang Indonesia meninggal akibat wabah tembakau ini. Namun ironisnya respons terhadap wabah yang satu ini jauh dari memadai, bahkan masih adem ayem saja. Baik negaranya, dan juga masyarakatnya.
Pertanyaannya, kenapa respon terhadap kurang memadai terjadap fenomenda wabah tembakau. Penyebabnya, pertama, tembakau dengan rokoknya masih dianggap hal yang normal. Aktivitas merokok pun dianggap normal saja, bahkan keren. Tak merokok dianggapnya norak. Di kalangan remaja, tak merokok dianggap kampungan alias ndeso.
Kedua, sosialisasi produk rokok pun begitu gencar dan masif, baik sosialisasi langsung seperti iklan dan atau promosi rokok. Atau promosi secara terselubung seperti melalui kegiatan CSR, bahkan CSR di dunia pendidikan. Sosialisasi produk prokok sejatinya hal yang tidak lazim dan primitif. Hanya Indonesia yang masih melegalkan hal yang semacam ini.
Ketiga, pengendalian tembakau yang masih memble, baik di level regulasi dan atau kebijakan. Sebagai contoh, hingga detik ini pemerintah Indonesia belum melakukan ratifikasi/aksesi FCTC (Framework Conbention on Tobacco Control). Padahal FCTC sudah menjadi hukum internasional sejak 2003, dan Indonesia merupakan inisiator FCFC. Ini merupakan hal yang memalukan dari sisi konvensi dan fatsun internasional.
Kuatnya lobi industri rokok menjadi penyebab utama. Industri rokok begitu kencang lobinya baik di berbagai level.
Lalu bagaimana kita menyikapi wabah konsumsi tembakau ini?
Ada beberapa hal utama untuk sedikit mengendalikan wabah konsumsi tembakau ini. Pertama, secara general adalah memperkuat sisi pengendalian tembakau. Seperti menaikkan cukai rokok secara konsisten dan signifikan, melarang total iklan dan promosi rokok, mewujudkan kawasan tanpa rokok, dan peringatan kesehatan bergambar.
Dan secara sosiologis, harus ada gerakan yang mendenormalisasi aktivitas industri rokok. Harus ada new normal dalam masalah rokok di tengah masyarakat. New normal yang sejati adalah menjadikan hidup tanpa rokok, atau minimal tobacco distancing. Jadi bukan hanya dengan virus corona saja kita harus jaga jarak. Dengan tembakau pun harus secara konsisten melakukan jaga jaga jarak. Sejauh mungkin, makin jauh makin aman. Makin selamat.
(dam)