Meretas Jalan Menuju Papua Damai

Kamis, 09 September 2021 - 14:47 WIB
loading...
Meretas Jalan Menuju...
Ogiandhafiz Juanda (Foto: Ist)
A A A
Ogiandhafiz Juanda
Advokat, Dosen dan Pengamat Hukum dan Politik
Universitas Nasional (UNAS), Direktur Treas Constituendum Institute

KEKERASAN dan konflik vertikal serta horizontal yang melibatkan sejumlah pihak di Tanah Papua masih terus terjadi. Akan tetapi, kasus kekerasan dan konflik tersebut lebih banyak didominasi oleh kekerasan dan konflik vertikal yang terjadi antara TNI-Polri dengan Organisasi Papua Merdeka-Tentara Nasional Papua Barat (OPM-TNPB).

Sepanjang 2020 hingga pertengahan 2021 saja setidaknya sudah lebih dari 100 kasus yang melibatkan TNI-Polri dan OPM-TNPB, dan telah menyebabkan jatuhnya korban jiwa dari masing-masing pihak, termasuk juga warga sipil yang tidak bersalah.

Terbaru, penyerangan terhadap markas Pos Ramil Kisor, Distrik Aifat Selatan Papua Barat, Kamis (2/9/2021) yang dilakukan oleh OPM-TNPB telah menyebabkan 4 anggota TNI Angkatan Darat meninggal dunia.

Banyaknya kasus kekerasan yang terjadi di tanah Papua ini menjadi realitas bahwa persoalan Papua masih menjadi pekerjaan rumah yang panjang dan harus terus mendapatkan perhatian yang serius untuk segera dicari penyelesaiannya.

Perlindungan HAM
Tidak dapat dipungkiri bahwa kekerasan yang terjadi antara dua pihak itu dilatarbelakangi oleh sejumlah faktor yang sangat kompleks dan saling bertautan satu dengan lainnya. Sejarah integrasi dan sejumlah persoalan sosial setidaknya menjadi dua faktor utama.Dua faktor tersebut terus mengundang terjadinya konflik dan kekerasan dari waktu ke waktu, dan tentu saja dibutuhkan formula terbaik untuk dapat menyelesaikan persoalan tersebut.

Dalam upaya menyelesaikan persoalan tersebut, pemerintah pasca-Orde Baru menggunakan pendekatan politik dalam kerangka dan bingkai otonomi khusus (otsus) melalui Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001. Akan tetapi, instrumen tersebut tidak mampu secara optimal menyelesaikan sejumlah persoalan sosial yang diwariskan oleh rezim Orde Baru tersebut, termasuk untuk menghentikan kekerasan di tanah Papua.Tentu menjadi pertanyaan besar, kenapa otonomi khusus yang telah dijalankan selama dua dekade (2001-2021) tersebut nyatanya belum mampu membawa perubahan yang signifikan terhadap kondisi dan situasi di tanah Papua?

Jawaban sederhananya adalah karena otsus tersebut tidak dirancang melalui satu proses pembahasan dan perumusan yang matang. Termasuk tidak adanya pedoman bagaimana otsus tersebut harus dilaksanakan. Sehingga, keberadaan otsus yang merupakan ide atau gagasan yang baik tersebut justru berseberangan dengan implementasinya.

Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa “hadirnya” negara dalam konteks memberikan otsus kepada Papua tentu merupakan satu terobosan atau langkah yang penting. Sehingga otsus ini perlu untuk terus dilanjutkan meskipun dengan banyak catatan.Dengan kata lain, revisi terhadap UU Otsus perlu untuk dilakukan dengan harapan bahwa pembaharuan, perbaikan dan pematangan Otsus tersebut akan mampu menjawab permasalahan yang ada dengan lebih nyata.

Secara kontras publik bisa melihat bahwa orientasi pelaksanaan otsus periode pertama (2001-2021) hanya berfokus pada pembangunan fisik, dengan tidak secara signifikan mampu membawa perubahan pada bidang lainnya yang semuanya itu bermuara kepada kesejahteraan masyarakat Papua. Di waktu bersamaan, isu perlindungan terhadap HAM juga tidak tampak menjadi prioritas dan malah dikesampingkan. Padahal isu tersebut sifatnya juga sangat substansial.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1153 seconds (0.1#10.140)