Meretas Jalan Menuju Papua Damai

Kamis, 09 September 2021 - 14:47 WIB
loading...
A A A
Sehingga, otsus periode kedua yang telah disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada 19 Juli 2021 ini harus mampu menempatkan persoalan-persoalan yang selama ini terabaikan menjadi bagian dari prioritas.

Misalnya terhadap sejumlah persoalan hukum dan pelanggaran HAM. Secara objektif, publik juga belum melihat komitmen tersebut pada kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua yang mandek atau berhenti di Kejaksaan Agung dan urung untuk diselesaikan. Hal ini secara tidak langsung menunjukan bahwa negara yang memiliki segala instrumen hukumnya gagal memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum. Jangan sampai apa yang disebutkan bahwa negara Indonesia sebagai negara hukum hanya menjadi retorika semu semata.Padahal hal tersebut menjadi variabel utama untuk mencapai filosofi sebagai negara hukum berdasarkan pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Apalagi penghormatan, perlindungan dan pemenuhan atas HAM merupakan kewajiban negara yang telah diamanatkan oleh UU dan UUD 1945.

Laporan dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) juga menunjukan bahwa pelanggaran HAM sepanjang 2020 hingga pertengahan 2021 ini saja sudah ada 40 peristiwa kekerasan berupa penembakan, penganiayaan dan penegakan sewenang- wenang oleh aparat.Sehingga, komitmen pemerintah untuk menyelesaikan masalah Papua seharusnya juga dimulai dari hal tersebut dengan juga segera menyusun langkah-langkah untuk mendirikan pengadilan HAM di Papua.

“Memoria Passionis”
Selain melalui otsus, pemerintah juga mempraktikkan pendekatan lain untuk menyelesaikan masalah Papua terutama pada masalah yang berkaitan dengan keamanan. Yaitu melalui pendekatan yang lebih keras(hard approach)dengan melakukan operasi militer karena melihat dinamika yang terjadi di Papua semata-mata sebagai sebuah ancaman.Padahal pendekatan seperti ini justru menjadi faktor yang turut melanggengkan kekerasan dari waktu ke waktu dan telah menciptakan pengalaman pahit (memoria passionis) yang memilukan hati orang Papua.

Pintu dialog yang diharapkan akan terjadi juga semakin tertutup sejak ditetapkannya OPM-TNPB sebagai kelompok teroris. Dan, hal tersebut juga menjadi tanda bahwa pemerintah semakin kaku dalam melihat dan mengidentifikasi masalah utama di Papua.Pendekatan militeristik ini hanya akan mengatasi “efek sampingnya” tanpa sama sekali menyentuh akar masalah. Dan, justru dapat menambah risiko instabilitas domestik di tanah Papua. Di sisi lain, penetapan OPM-TNPB sebagai organisasi teroris tersebut semakin menyulitkan untuk tercapainya perdamaian di sana.

Selanjutnya, dalam perspektif otsus, pendekatan militeristik yang keras seperti ini nyatanya berseberangan dengan nilai yang terkandung dalam otsus sebagai sebuah produk politik yang di dalamnya terdapat kompromi, negosiasi, rekonsiliasi dan komitmen bersama, antara pemerintah pusat dan Papua.

Sehingga, penyelesaian secara dialogis melalui komunikasi dan negosiasi tampaknya masih merupakan cara yang paling elegan dan demokratis untuk menyelesaikan persoalan di Papua secara komprehensif. Dan, bukan dengan cara mengirimkan pasukan sebanyak-banyaknya yang justru kontraproduktif dengan tujuan untuk mengakhiri berbagai kekerasan di sana.

Tujuan Akhir
Permasalahan Papua yang begitu kompleks tidak bisa diselesaikan hanya dengan melakukan perubahan terhadap otsus semata. Termasuk juga jangan sampai pemerintah berlarut larut terjebak dengan pemahaman bahwa persoalan Papua dan juga konflik yang ada di sana hanya bisa dan harus diselesaikan dengan pendekatan militeristik. Apalagi kalau pendekatan tersebut dijadikanjalan untuk mengkonstruksikan rasa nasionalisme masyarakat Papua terhadap Indonesia.Pendekatan militeristik ini justru menjadi hambatan untuk menginternalisasikan nilai-nilai nasionalisme di dalam realitas kehidupan masyarakat Papua.Nasionalisme tersebut haruslah menjadi kehendak sendiri dan bukan dipaksakan melalui indoktrinisasi yang berlebihan dan dengan cara dan mekanisme yang keras melalui operasi militer. Karena hal tersebut tentu tidak akan efektif dan justru kontraproduktif bagi pemasyarakatan nilai-nilai kebangsaan di tanah Papua.

Pemerintah perlu memahami masalah secara keseluruhan melalui proses pembentukan solusi yang melibatkan seluruh elemen masyrakat, pemuka agama dan orang asli Papua. Sehingga harapan dan keinginan murni dari orang asli Papua akan adanya perlindungan hak-hak dan pemberdayan terhadap mereka dapat diakomodasi dengan baik. Di mana tujuan akhirnya adalah menciptakan kesejahteraan, keadilan dan perdamaian di tanah Papua.

Tentu pertanyaan menariknya adalah mampukah Presiden Joko Widodo memberikan stabilitas di Papua sebagai warisan setelah dua periode kepemimpinannya nanti? Mampukah ia menjadikan Papua benar-benar merdeka dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)?
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1538 seconds (0.1#10.140)