Berlomba Menampung Pengungsi Afghanistan, Bagaimana dengan Indonesia?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ribuan orang mengungsi dan melarikan diri dari Afghanistan pasca- Taliban menguasai kembali negara tersebut pada pertengahan Agustus lalu. Penguasaan Afghanistan oleh Taliban ini terjadi setelah negara itu dikuasai oleh Amerika Serikat (AS) selama dua dekade.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memperingatkan bahwa setengah juta penduduk Afghanistan mengungsi hingga akhir tahun ini. Lembaga itu menyerukan negara tetangga untuk membuka perbatasan.
Pada saat yang bersamaan, sebanyak 2,2 juta warga Afghanistan sudah mengungsi di negara tetangga dan 3,5 juta orang lainnya melarikan diri dari rumah mereka dan masih bertahan di negara tersebut.
AS memfasilitas evakuasi terhadap lebih dari 110.000 orang dari Bandara Kabul sejak 14 Agustus, tetapi tidak jelas berapa jumlah warga Afghan yang diungsikan tersebut.
Sebanyak 300.000 warga AS memiliki afiliasi dengan operasi militer AS sejak invasi pada 2001. Tetapi, hanya puluhan ribu yang bisa mendapatkan visa AS. Sisanya akan mencari jalan berbeda untuk keluar dari negara tersebut.
Kementerian Pertahanan Inggris menerbangkan 15.000 warganya dan di antaranya terdapat 8.000 warga Afghanistan. Banyak warga Afghan yang mengungsi tersebut umumnya ditempatkan di pusat proses darurat yang didirikan di beberapa negara, termasuk Qatar dan Uzbekistan.
Awal pekan ini, kepala Komando Militer AS di Eropa, mengatakan lebih 7.000 warga Afghan ditempatkan di delapan lokasi di sekitar Eropa sebelum diterbangke ke AS.
Negara yang bertetangga dengan Afghanistan, seperti Pakistan menjadi penampung terbesar pengungsi Afghan mencapai 1,5 juta orang. Berdasarkan catatan badan PBB yang mengurusi pengungsi (UNHCR), negara kedua yang terbanyak menampung pengungsi Afghan adalah Iran sebesar 780.000 warga. Selanjutnya, Jerman berada di posisi ketiga mencapai 180.000 pengungsi dan Turki mencapai 130.00 pengungsi.
Banyak negara sudah menunjukkan komitmen menampung pengungsi Afghan. Kanada yang dikenal terbuka untuk kaum pengungsi pun menyatakan akan menampung 20.000 warga Afghan yang dianggap dalam posisi berbahaya jika Taliban berkuasa.
Sementara Australia hanya menawarkan 3.000 program visa kemanusiaan bagi warga Afghan. Negara lain yang memberikan ruang seperti Uganda, Albania, Turki, Prancis, dan Jerman.
Bagaimana dengan Indonesia? Sepertinya pemerintah Indonesia belum bisa berbuat banyak. Posisi Indonesia saat ini hanya berstatus negara transit bagi pengungsi Afghan. Indonesia tidak bisa menampung pengungsi Afghanistan secara permanen.
Padahal, di sisi lain para pengungsi membutuhkan kepastian untuk mendapatkan negara tujuan sebagai pelabuhan dalam pengungsiannya. Indonesia tidak menandatangani Konvensi Pengungsi 1951.
Jika ingin berkontribusi menampung pengungsi, maka Indonesia bisa meratifikasi konvensi untuk menerima pengungsi Afghan. Isu ratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang pengungsi internasional dan pencari suaka oleh pemerintah Indonesia juga jarang mendapatkan perhatian.
Dengan demikian, Indonesia tidak bisa berkontribusi lebih, melainkan fokus pada diplomasi.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan, pihaknya belum bisa banyak merespons beberapa pertanyaan tentang kebijakan Kementerian Luar Negeri mengenai pengungsi Afghanistan yang ada di Indonesia. Begitu pun dengan diplomasi Indonesia di panggung internasional untuk membantu menyelesaikan krisis pengungsi Afghanistan.
Menurut Teuku, penanganan pengungsi termasuk dari Afghanistan seharusnya ditangani oleh UNHCR.
"UNHCR yang semestinya menangani masalah ini," ujar Faizasyah kepada KORAN SINDO.
Communications Associate Komisariat Tinggi Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) Indonesia Dwi Anisa Prafitria menyatakan, UNHCR akan terus berupaya untuk mengirimkan para pengungsi dari negara lain termasuk dari Afghanistan yang terdampar di Indonesia ke negara ketiga.
Di sisi lain, menurut Dwi, bagi para pengungsi Afghanistan yang masih bertahan dengan mendirikan tenda di depan kantor UNHCR Indonesia, di Jalan Kebon Sirih, Jakarta seharusnya juga menyadari kenyataan bahwa mereka kemungkinan akan berada di negara suaka manapun dalam waktu lama.
Selain itu, resettlement atau pemukiman kembali hanya bisa diakses sejumlah kecil dari mereka yang paling rentan.
"Pemerintah (Indonesia) memberikan kesempatan bagi pengungsi untuk mengikuti kegiatan positif sambil menunggu solusi jangka panjang," ujar Dwi.
Dia menjelaskan, pemerintah memberikan kesempatan bagi para pengungsi termasuk dari Afghanistan untuk mengikuti kegiatan positif sambil menunggu solusi jangka panjang. Di antaranya, menempuh pendidikan di sekolah yang sudah ada meskipun ada tantangan ijazah hingga berbagai pelatihan yang telah ada.
Di sisi lain, kata Dwi, self reliance/livelihood atau pemberdayaan pengungsi memang lebih baik didukung oleh suatu kerangka hukum agar banyak pihak yang bisa terlibat sehingga membuat lebih nyaman. Para pengungsi pencari suaka perlu mendapatkan atau mengikuti pelatihan agar nantinya bisa hidup produktif saat mereka tinggal di negara tujuan lewat proses resettlement.
"UNHCR juga berupaya mengadvokasi agar pengungsi bisa diberikan kesempatan melakukan kegiatan pemberdayaan agar bisa hidup dengan bermartabat sekaligus dapat memberikan kontribusi yang positif untuk masyarakat Indonesia," ungkap Dwi.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar Bobby Adhityo Rizaldi menilai, ada dua hal yang perlu disoroti terkait dengan kondisi Afghanistan saat ini yang berada di bawah kekuasaan Taliban.
Pertama, Indonesia harus mengambil sikap yang jelas jika transisi kekuasaan di Afghanistan penuh dengan konflik berdarah. Kedua, bagi para pengungsi dari Afghanistan yang datang ke Indonesia harus tetap berpijak pada Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM).
"Pengungsi dari Afghanistan juga harus mengikuti peraturan-peraturan dalam UU HAM Nomor 39 Tahun 1999, karena Indonesia tidak meratifikasi Konvensi 1957 mengenai status pengungsi dan Protokol 1967," ujar Bobby.
Jika merujuk UU HAM, sebenarnya para pengungsi Afghanistan berhak mencari suaka di Indonesia. Secara spesifik hal ini diatur dalam Pasal 28 UU HAM, yang berbunyi, "Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain."
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Pancasila (UP) Lisda Syamsumardian berpendapat, dalam penanganan pengungsi dan pencari suaka peranan Indonesia hanya bersifat sementara.
Karena posisi Indonesia adalah negara yang tidak menandatangani Konvensi 1951 Protokol 1967
Mengenai Status Pengungsi. Istilah kategori negara, dalam arus kedatangan migran, Indonesia menempatkan posisi sebagai negara singgah atau negara transit.
“Sehingga wewenang dan keterlibatan UNHCR untuk pengungsi diwilayah Indonesia menjadi sangat besar,” katanya.
Terkait dengan pandangan kebijakan kementerian Luar Negeri diharapkan dapat menjawab permasalahan pengungsi Afganistan dengan mempertimbangkan kedudukan Indonesia sebagai negara transit.
Oleh karena itu kebijakan Kemenlu harus mampu mengakomodasi kepentingan dalam negeri dengan menjangkau batasan-batasan kesepakatan Internasional. Termasuk yang menjadi perhatian oleh Indonesia seperti, kemampuan Indonesia dalam penanganan mekanisme pengungsi dan pencari suaka, menjangkau potensi masalah sosial dan budaya, ekonomi dan atribut nasional Indonesia, serta mempertimbangkan nilai-nilai hak asasi manusia dalam bingkai kedaulatan negara.
Dia menambahkan, Indonesia adalah negara singgah atau negara transit bagi pengungsi afganistan, yang kemudian mereka akan ditempatkan di negara tujuan dalam hal ini tujuan pengungsi afganistan yang ada di indonesia, adalah menuju Australia.
Berharap Kepada Negara Tetangga
Di bagian lai, sebanyak 98 negara di dunia berjanji menampung pengungsi Afghanistan yang meninggalkan negaranya setelah dikuasai Taliban pada pertengahan Agusus lalu. Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Eropa hanya menampung ribuan pengungsi Afghan, justru negara tetangga seperti Pakistan, Iran, dan Uzbekistan menerima ratusan ribu pengungsi.
Padahal dunia memiliki kewajiban moral untuk menampung pengungsi Afghan, terutama AS dengan aliansinya, NATO. Tapi, pengungsi Afghan yang berharap banyak kepada mereka, tetapi faktanya berbeda.
Selama 20 tahun perang Afghanistan, AS hanya menampung 20.000 pengungsi atau 1.000 per tahun. "Namun, selama 2020-2021, 11.800 pengungsi ditampung AS, tetapi hanya 495 pengungsi dari Afghan," ujar Tazreena Sajjad, pakar pemerintahan global dari American University, dilansir The Conversation.
Minimnya jumlah yang diakomodasi oleh AS dikarenakan Undang-Undang Pengungsi AS tahun 1980 memiliki prosedur standar bagi pengungsi korban perang dan memiliki proses yang panjang dan rumit.
Hal sama juga terjadi di negara-negara Eropa yang menampung sedikit pengungsi Afghanistan.
Para pengungsi Afghan berada pada posisi kedua setelah pengungsi Suriah dalam hal komposisi di Eropa. Tapi, para pencari suaka Afghan hingga masih berjuang mendapatkan status.
"Populasi Afghan di benua Eropa tetap kecil dan belum terdistribusikan dengan baik," kata Sajjad.
Hingga Taliban menguasai Kabul, banyak pengungsi Afghan di Eropa menghadapi deportasi, terutama di Jerman, Austria, Prancis, dan Swedia. Selama tiga bulan pertama 2021, hanya 7.000 pengungsi Afghan yang mendapatkan status permanen di Uni Eropa.
Yang memperburuk masa depan pengungsi Afghan, menurut Sajjad, adalah adopsi kebijakan garis keras dan sentimen anti-pengungsi yang melanda di Eropa dan AS sehingga memberikan kesempatan kecil bagi mereka. Apalagi, Austria dan Swis dengan tegas telah menolak menerima pengungsi Afghan dalam jumlah besar.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memperingatkan bahwa setengah juta penduduk Afghanistan mengungsi hingga akhir tahun ini. Lembaga itu menyerukan negara tetangga untuk membuka perbatasan.
Pada saat yang bersamaan, sebanyak 2,2 juta warga Afghanistan sudah mengungsi di negara tetangga dan 3,5 juta orang lainnya melarikan diri dari rumah mereka dan masih bertahan di negara tersebut.
AS memfasilitas evakuasi terhadap lebih dari 110.000 orang dari Bandara Kabul sejak 14 Agustus, tetapi tidak jelas berapa jumlah warga Afghan yang diungsikan tersebut.
Sebanyak 300.000 warga AS memiliki afiliasi dengan operasi militer AS sejak invasi pada 2001. Tetapi, hanya puluhan ribu yang bisa mendapatkan visa AS. Sisanya akan mencari jalan berbeda untuk keluar dari negara tersebut.
Kementerian Pertahanan Inggris menerbangkan 15.000 warganya dan di antaranya terdapat 8.000 warga Afghanistan. Banyak warga Afghan yang mengungsi tersebut umumnya ditempatkan di pusat proses darurat yang didirikan di beberapa negara, termasuk Qatar dan Uzbekistan.
Awal pekan ini, kepala Komando Militer AS di Eropa, mengatakan lebih 7.000 warga Afghan ditempatkan di delapan lokasi di sekitar Eropa sebelum diterbangke ke AS.
Negara yang bertetangga dengan Afghanistan, seperti Pakistan menjadi penampung terbesar pengungsi Afghan mencapai 1,5 juta orang. Berdasarkan catatan badan PBB yang mengurusi pengungsi (UNHCR), negara kedua yang terbanyak menampung pengungsi Afghan adalah Iran sebesar 780.000 warga. Selanjutnya, Jerman berada di posisi ketiga mencapai 180.000 pengungsi dan Turki mencapai 130.00 pengungsi.
Banyak negara sudah menunjukkan komitmen menampung pengungsi Afghan. Kanada yang dikenal terbuka untuk kaum pengungsi pun menyatakan akan menampung 20.000 warga Afghan yang dianggap dalam posisi berbahaya jika Taliban berkuasa.
Sementara Australia hanya menawarkan 3.000 program visa kemanusiaan bagi warga Afghan. Negara lain yang memberikan ruang seperti Uganda, Albania, Turki, Prancis, dan Jerman.
Bagaimana dengan Indonesia? Sepertinya pemerintah Indonesia belum bisa berbuat banyak. Posisi Indonesia saat ini hanya berstatus negara transit bagi pengungsi Afghan. Indonesia tidak bisa menampung pengungsi Afghanistan secara permanen.
Padahal, di sisi lain para pengungsi membutuhkan kepastian untuk mendapatkan negara tujuan sebagai pelabuhan dalam pengungsiannya. Indonesia tidak menandatangani Konvensi Pengungsi 1951.
Jika ingin berkontribusi menampung pengungsi, maka Indonesia bisa meratifikasi konvensi untuk menerima pengungsi Afghan. Isu ratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang pengungsi internasional dan pencari suaka oleh pemerintah Indonesia juga jarang mendapatkan perhatian.
Dengan demikian, Indonesia tidak bisa berkontribusi lebih, melainkan fokus pada diplomasi.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan, pihaknya belum bisa banyak merespons beberapa pertanyaan tentang kebijakan Kementerian Luar Negeri mengenai pengungsi Afghanistan yang ada di Indonesia. Begitu pun dengan diplomasi Indonesia di panggung internasional untuk membantu menyelesaikan krisis pengungsi Afghanistan.
Menurut Teuku, penanganan pengungsi termasuk dari Afghanistan seharusnya ditangani oleh UNHCR.
"UNHCR yang semestinya menangani masalah ini," ujar Faizasyah kepada KORAN SINDO.
Communications Associate Komisariat Tinggi Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) Indonesia Dwi Anisa Prafitria menyatakan, UNHCR akan terus berupaya untuk mengirimkan para pengungsi dari negara lain termasuk dari Afghanistan yang terdampar di Indonesia ke negara ketiga.
Di sisi lain, menurut Dwi, bagi para pengungsi Afghanistan yang masih bertahan dengan mendirikan tenda di depan kantor UNHCR Indonesia, di Jalan Kebon Sirih, Jakarta seharusnya juga menyadari kenyataan bahwa mereka kemungkinan akan berada di negara suaka manapun dalam waktu lama.
Selain itu, resettlement atau pemukiman kembali hanya bisa diakses sejumlah kecil dari mereka yang paling rentan.
"Pemerintah (Indonesia) memberikan kesempatan bagi pengungsi untuk mengikuti kegiatan positif sambil menunggu solusi jangka panjang," ujar Dwi.
Dia menjelaskan, pemerintah memberikan kesempatan bagi para pengungsi termasuk dari Afghanistan untuk mengikuti kegiatan positif sambil menunggu solusi jangka panjang. Di antaranya, menempuh pendidikan di sekolah yang sudah ada meskipun ada tantangan ijazah hingga berbagai pelatihan yang telah ada.
Di sisi lain, kata Dwi, self reliance/livelihood atau pemberdayaan pengungsi memang lebih baik didukung oleh suatu kerangka hukum agar banyak pihak yang bisa terlibat sehingga membuat lebih nyaman. Para pengungsi pencari suaka perlu mendapatkan atau mengikuti pelatihan agar nantinya bisa hidup produktif saat mereka tinggal di negara tujuan lewat proses resettlement.
"UNHCR juga berupaya mengadvokasi agar pengungsi bisa diberikan kesempatan melakukan kegiatan pemberdayaan agar bisa hidup dengan bermartabat sekaligus dapat memberikan kontribusi yang positif untuk masyarakat Indonesia," ungkap Dwi.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar Bobby Adhityo Rizaldi menilai, ada dua hal yang perlu disoroti terkait dengan kondisi Afghanistan saat ini yang berada di bawah kekuasaan Taliban.
Pertama, Indonesia harus mengambil sikap yang jelas jika transisi kekuasaan di Afghanistan penuh dengan konflik berdarah. Kedua, bagi para pengungsi dari Afghanistan yang datang ke Indonesia harus tetap berpijak pada Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM).
"Pengungsi dari Afghanistan juga harus mengikuti peraturan-peraturan dalam UU HAM Nomor 39 Tahun 1999, karena Indonesia tidak meratifikasi Konvensi 1957 mengenai status pengungsi dan Protokol 1967," ujar Bobby.
Jika merujuk UU HAM, sebenarnya para pengungsi Afghanistan berhak mencari suaka di Indonesia. Secara spesifik hal ini diatur dalam Pasal 28 UU HAM, yang berbunyi, "Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain."
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Pancasila (UP) Lisda Syamsumardian berpendapat, dalam penanganan pengungsi dan pencari suaka peranan Indonesia hanya bersifat sementara.
Karena posisi Indonesia adalah negara yang tidak menandatangani Konvensi 1951 Protokol 1967
Mengenai Status Pengungsi. Istilah kategori negara, dalam arus kedatangan migran, Indonesia menempatkan posisi sebagai negara singgah atau negara transit.
“Sehingga wewenang dan keterlibatan UNHCR untuk pengungsi diwilayah Indonesia menjadi sangat besar,” katanya.
Terkait dengan pandangan kebijakan kementerian Luar Negeri diharapkan dapat menjawab permasalahan pengungsi Afganistan dengan mempertimbangkan kedudukan Indonesia sebagai negara transit.
Oleh karena itu kebijakan Kemenlu harus mampu mengakomodasi kepentingan dalam negeri dengan menjangkau batasan-batasan kesepakatan Internasional. Termasuk yang menjadi perhatian oleh Indonesia seperti, kemampuan Indonesia dalam penanganan mekanisme pengungsi dan pencari suaka, menjangkau potensi masalah sosial dan budaya, ekonomi dan atribut nasional Indonesia, serta mempertimbangkan nilai-nilai hak asasi manusia dalam bingkai kedaulatan negara.
Dia menambahkan, Indonesia adalah negara singgah atau negara transit bagi pengungsi afganistan, yang kemudian mereka akan ditempatkan di negara tujuan dalam hal ini tujuan pengungsi afganistan yang ada di indonesia, adalah menuju Australia.
Berharap Kepada Negara Tetangga
Di bagian lai, sebanyak 98 negara di dunia berjanji menampung pengungsi Afghanistan yang meninggalkan negaranya setelah dikuasai Taliban pada pertengahan Agusus lalu. Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Eropa hanya menampung ribuan pengungsi Afghan, justru negara tetangga seperti Pakistan, Iran, dan Uzbekistan menerima ratusan ribu pengungsi.
Padahal dunia memiliki kewajiban moral untuk menampung pengungsi Afghan, terutama AS dengan aliansinya, NATO. Tapi, pengungsi Afghan yang berharap banyak kepada mereka, tetapi faktanya berbeda.
Selama 20 tahun perang Afghanistan, AS hanya menampung 20.000 pengungsi atau 1.000 per tahun. "Namun, selama 2020-2021, 11.800 pengungsi ditampung AS, tetapi hanya 495 pengungsi dari Afghan," ujar Tazreena Sajjad, pakar pemerintahan global dari American University, dilansir The Conversation.
Minimnya jumlah yang diakomodasi oleh AS dikarenakan Undang-Undang Pengungsi AS tahun 1980 memiliki prosedur standar bagi pengungsi korban perang dan memiliki proses yang panjang dan rumit.
Hal sama juga terjadi di negara-negara Eropa yang menampung sedikit pengungsi Afghanistan.
Para pengungsi Afghan berada pada posisi kedua setelah pengungsi Suriah dalam hal komposisi di Eropa. Tapi, para pencari suaka Afghan hingga masih berjuang mendapatkan status.
"Populasi Afghan di benua Eropa tetap kecil dan belum terdistribusikan dengan baik," kata Sajjad.
Hingga Taliban menguasai Kabul, banyak pengungsi Afghan di Eropa menghadapi deportasi, terutama di Jerman, Austria, Prancis, dan Swedia. Selama tiga bulan pertama 2021, hanya 7.000 pengungsi Afghan yang mendapatkan status permanen di Uni Eropa.
Yang memperburuk masa depan pengungsi Afghan, menurut Sajjad, adalah adopsi kebijakan garis keras dan sentimen anti-pengungsi yang melanda di Eropa dan AS sehingga memberikan kesempatan kecil bagi mereka. Apalagi, Austria dan Swis dengan tegas telah menolak menerima pengungsi Afghan dalam jumlah besar.
(ynt)