Densus 88 Antiteror Waspadai Kepulangan Eks Kombatan Afganistan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri mewaspadai pulangnya kombatan dari Afghanistan ke Indonesia menyusul kembali berkuasanya Taliban. Mereka yang kembali itu cenderung mempunyai tingkat radikalisme yang tinggi.
"Masih dalam pengumpulan informasi mengenai data tentang Warga Negara Indonesia yang pulang. Bukan enggak boleh pulang. Tinggal bagaimana memisahkannya dengan para kombatan tadi. Ini terus terang masih dalam penyelidikan," ujar Kabag Ban Ops Densus 88 Polri Kombes Pol Aswin Siregar dalam Webinar Alinea Forum bertajuk Potensi Terorisme di Indonesia Pasca-Kemenangan Taliban, Senin (30/8/2021).
Dirinya mengaku ada salah satu bagian di Densus 88 yang mengumpulkan informasi tersebut. Langkah itu dilakukan untuk memisahkan para kombatan dengan mereka yang pergi ke Afghanistan untuk tujuan positif. Dia memastikan akan ada informasi resmi mengenai hal tersebut yang akan disampaikan instansi terkait. Hal ini juga terkait pembebasan atau pelepasan 5.000 orang dari penjara oleh Taliban. Beberapa di antaranya diidentifikasi merupakan WNI.
Pembebasan mereka, lanjut dia, berpotensi menjadi motivasi bagi jaringan yang sekarang berada di luar. Densus 88, lanjut dia, akan terus memerhatikan perkembangan ini. "Kami dari pihak Densus mengingatkan bahwa potensi ancaman itu sudah pernah ada. Ini bukan prediksi, ini sejarah. Jangan sampai terulang lagi di zaman ini," katanya.
Hal tersebut diamini oleh Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia Islah Bahrawi. Islah menuturkan, kemenangan Taliban atas Pemerintah Afghanistan bisa memicu bangkitnya kelompok-kelompok radikal di Tanah Air. Walaupun irisan geopolitik Afghanistan dan Indonesia sangat lemah, namun aspek ideologis menjadi hal paling dikhawatirkan akan menggugah kelompok radikal di Indonesia oleh kemenangan Taliban. "Kenapa kita harus lebih waspada dengan kebangkitan Taliban di Afghanistan? Itu kita justru aware terhadap geliat-geliat kelompok-kelompok teroris di Indonesia," ujarnya.
Selain itu, Islah mengatakan, secara historis terdapat ikatan kuat antara kelompok radikal di Indonesia dan kelompok radikal di Afghanistan. Mulai dari zaman Darul Islam hingga pelaku aksi terorisme di Indonesia yang merupakan alumni-almuni dari Afghanistan. "Ini yang harus kita perhatikan. Otomatis, ketika resiliensi ideologis itu menguat, tidak menutup kemungkinan motivasi dan inisiasi ini menjadi sesuatu yang rentan," bebernya.
Mengantisipasi hal itu, terutama dalam kaitan hajatan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, Islah menilai pemerintah perlu bekerja ekstra keras ke depan. "2024 ini menjadi rumit bagi kita. Karena bagaimanapun kita berbicara tentang ideologi kekerasan yang berbasis agama. Ini ujung-ujungnya adalah penegakan daullah, penegakan suatu entitas negara. Karena bagi mereka, Islam itu harus dijayakan dengan kedaulatan negara. Padahal, bukan itu intinya," ujat Islah.
Sementara itu, Mantan narapidana kasus terorisme, Mukhtar Khairi, mengungkapkan bahwa walaupun tidak ada hubungan antara kelompok Taliban dengan kelompok teroris, seperti Jemaah Islamiyah (JI), namun perjuangan Taliban bisa menjadi inspirasi baru bagi kelompok radikal di Tanah Air.
Mukhtar menilai salah satu kelompok teroris yang masih aktif di Indonesia saat ini adalah JI, yang belakangan ini anggota-anggotanya banyak ditangkap Densus 88 Antiteror Polri. "Mungkin juga kemenangan Taliban bisa menginspirasi jemaah-jemaah yang ada di Indonesia karena melihat latar belakang yang sama. Taliban contoh riil pasukan bersenjata yang sudah menang. Apa salahnya copy paste perjuangan Taliban di sana?" ujar Mukhtar.
Dia mengaku, berdasarkan interaksinya dengan petinggi-petinggi JI di penjara, kebanyakan dari mereka aktif menerjemahkan buku-buku berbahasa Arab yang berafiliasi dengan jaringan Al-Qaeda. Adapun orang-orang JI ke Taliban lebih karena pengaruh sosok pimpinan Al-Qaeda, Osama bin Laden.
JI merupakan salah satu kelompok teroris yang sangat teroganisasi untuk memperjuangkan negara Islam. Dia menambahkan, biasanya program itu dimulai dari dakwah untuk menyampaikan gagasan-gagasan terkait konsep negara Islam untuk diterapkan di Indonesia. Rico Afrido Simanjuntak
"Masih dalam pengumpulan informasi mengenai data tentang Warga Negara Indonesia yang pulang. Bukan enggak boleh pulang. Tinggal bagaimana memisahkannya dengan para kombatan tadi. Ini terus terang masih dalam penyelidikan," ujar Kabag Ban Ops Densus 88 Polri Kombes Pol Aswin Siregar dalam Webinar Alinea Forum bertajuk Potensi Terorisme di Indonesia Pasca-Kemenangan Taliban, Senin (30/8/2021).
Dirinya mengaku ada salah satu bagian di Densus 88 yang mengumpulkan informasi tersebut. Langkah itu dilakukan untuk memisahkan para kombatan dengan mereka yang pergi ke Afghanistan untuk tujuan positif. Dia memastikan akan ada informasi resmi mengenai hal tersebut yang akan disampaikan instansi terkait. Hal ini juga terkait pembebasan atau pelepasan 5.000 orang dari penjara oleh Taliban. Beberapa di antaranya diidentifikasi merupakan WNI.
Pembebasan mereka, lanjut dia, berpotensi menjadi motivasi bagi jaringan yang sekarang berada di luar. Densus 88, lanjut dia, akan terus memerhatikan perkembangan ini. "Kami dari pihak Densus mengingatkan bahwa potensi ancaman itu sudah pernah ada. Ini bukan prediksi, ini sejarah. Jangan sampai terulang lagi di zaman ini," katanya.
Hal tersebut diamini oleh Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia Islah Bahrawi. Islah menuturkan, kemenangan Taliban atas Pemerintah Afghanistan bisa memicu bangkitnya kelompok-kelompok radikal di Tanah Air. Walaupun irisan geopolitik Afghanistan dan Indonesia sangat lemah, namun aspek ideologis menjadi hal paling dikhawatirkan akan menggugah kelompok radikal di Indonesia oleh kemenangan Taliban. "Kenapa kita harus lebih waspada dengan kebangkitan Taliban di Afghanistan? Itu kita justru aware terhadap geliat-geliat kelompok-kelompok teroris di Indonesia," ujarnya.
Selain itu, Islah mengatakan, secara historis terdapat ikatan kuat antara kelompok radikal di Indonesia dan kelompok radikal di Afghanistan. Mulai dari zaman Darul Islam hingga pelaku aksi terorisme di Indonesia yang merupakan alumni-almuni dari Afghanistan. "Ini yang harus kita perhatikan. Otomatis, ketika resiliensi ideologis itu menguat, tidak menutup kemungkinan motivasi dan inisiasi ini menjadi sesuatu yang rentan," bebernya.
Mengantisipasi hal itu, terutama dalam kaitan hajatan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, Islah menilai pemerintah perlu bekerja ekstra keras ke depan. "2024 ini menjadi rumit bagi kita. Karena bagaimanapun kita berbicara tentang ideologi kekerasan yang berbasis agama. Ini ujung-ujungnya adalah penegakan daullah, penegakan suatu entitas negara. Karena bagi mereka, Islam itu harus dijayakan dengan kedaulatan negara. Padahal, bukan itu intinya," ujat Islah.
Sementara itu, Mantan narapidana kasus terorisme, Mukhtar Khairi, mengungkapkan bahwa walaupun tidak ada hubungan antara kelompok Taliban dengan kelompok teroris, seperti Jemaah Islamiyah (JI), namun perjuangan Taliban bisa menjadi inspirasi baru bagi kelompok radikal di Tanah Air.
Mukhtar menilai salah satu kelompok teroris yang masih aktif di Indonesia saat ini adalah JI, yang belakangan ini anggota-anggotanya banyak ditangkap Densus 88 Antiteror Polri. "Mungkin juga kemenangan Taliban bisa menginspirasi jemaah-jemaah yang ada di Indonesia karena melihat latar belakang yang sama. Taliban contoh riil pasukan bersenjata yang sudah menang. Apa salahnya copy paste perjuangan Taliban di sana?" ujar Mukhtar.
Dia mengaku, berdasarkan interaksinya dengan petinggi-petinggi JI di penjara, kebanyakan dari mereka aktif menerjemahkan buku-buku berbahasa Arab yang berafiliasi dengan jaringan Al-Qaeda. Adapun orang-orang JI ke Taliban lebih karena pengaruh sosok pimpinan Al-Qaeda, Osama bin Laden.
JI merupakan salah satu kelompok teroris yang sangat teroganisasi untuk memperjuangkan negara Islam. Dia menambahkan, biasanya program itu dimulai dari dakwah untuk menyampaikan gagasan-gagasan terkait konsep negara Islam untuk diterapkan di Indonesia. Rico Afrido Simanjuntak
(cip)