UMKM Bangkit!
loading...
A
A
A
Survei Katadata Insight Center terhadap 206 pelaku UMKM di Jabodetabek yang dipublikasikan tahun lalu menunjukkan 82,9% responden merasakan dampak negatif pandemi Covid-19.
Pandemi juga menyebabkan 63,9% UMKM mengalami penurunan omzet lebih dari 30%. Demi bertahan, pelaku UMKM melakukan berbagai efisiensi seperti menurunkan produksi barang/jasa, mengurangi jam kerja dan jumlah karyawan, dan saluran penjualan/pemasaran. Akan tetapi, ada pula UMKM yang mengambil langkah berbeda, yakni menambah saluran pemasaran.
Pandemi sebagaimana diberitakan media online juga mengakibatkan banyak pelaku UMKM kesulitan melunasi pinjaman serta membayar tagihan listrik, gas, dan gaji karyawan. Beberapa di antaranya terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Kendala lain yang diderita pelaku UMKM adalah kesulitan memperoleh bahan baku, permodalan, penurunan pelanggan, distribusi, dan produksi terhambat.
Saatnya Bangkit
Kendati demikian, perlahan tapi pasti, situasi yang menimpa pelaku UMKM mulai membaik beberapa waktu belakangan. Pelonggaran ekonomi bertahap seiring perbaikan pengendalian Covid-19 telah berdampak positif. Situasi itu secara kasat mata terlihat di sekitar tempat tinggal kita. Warung makan misalnya, sudah mulai diramaikan pengunjung lagi, meski harus menaati protokol kesehatan (prokes) yang ketat disertai durasi makan yang terbatas hanya 30 menit.
Tapi satu hal, jangan sampai pemulihan ekonomi yang ditandai geliat usaha pelaku UMKM itu terganggu lagi gara-gara lonjakan kasus Covid-19 yang terjadi pada Juni-Juli 2021.
Terlepas dari dinamika yang ada, sudah sepatutnya para pihak, dalam hal ini pemerintah, swasta, dan pelaku UMKM mempersiapkan diri menyongsong kebangkitan di era postpandemic Covid-19. Jika diperdalam, masalah inti UMKM masih tidak dapat terlepas dari pembiayaan. Sebagaimana dijelaskan di awal, pandemi mengakibatkan banyak pelaku UMKM kesulitan melunasi pinjaman kepada lembaga keuangan. Oleh karena itu, penting agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong lembaga keuangan agar memberikan kemudahan kepada pelaku UMKM menyelesaikan kewajibannya. Aturan dalam wujud POJK tentu akan lebih mengikat lembaga keuangan.
Penulis merespons positif keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ingin rasio penyaluran kredit perbankan ke sektor UMKM ditingkatkan menjadi lebih dari 30% dari total penyaluran kredit pada 2022. Apalagi, saat ini rasio kredit perbankan Indonesia ke UMKM masih di kisaran 20%, tertinggal dibandingkan negara-negara Asia macam Malaysia (51%), Jepang (66%) atau bahkan Korea Selatan (81%).
Pemerintah juga berjanji penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa agunan juga bakal dinaikkan dari Rp50 juta menjadi Rp100 juta. Plafon KUR maksimal juga dinaikkan dari sebelumnya Rp500 juta menjadi Rp20 miliar. Potensi kredit, apalagi di sektor usaha mikro, masih sangat besar. Apalagi masih terdapat 30 juta pelaku usaha mikro yang belum mengakses layanan pembiayaan formal dari total 57 juta pelaku usaha mikro?
Kendati demikian, jangan sampai kebijakan yang sudah begitu matang dari sisi perencanaan, malah mentah di lapangan. Sebab, tanda-tanda itu sudah mulai muncul dan terdengar. Misalnya untuk penyaluran KUR tanpa agunan yang kenyataannya di lapangan menunjukkan pihak bank masih meminta agunan. Entah itu dalam wujud BPKB kendaraan atau sertifikat rumah. Pemerintah maupun regulator perlu mencermati praktik-praktik semacam itu. Bila perlu berikan sanksi tegas kepada lembaga keuangan yang masih bandel tersebut.
Langkah lain yang menurut penulis penting adalah pelibatan e-commerce yang berbisnis di Tanah Air. Pembatasan kegiatan macam PSBB hingga PPKM nyatanya melesatkan tingkat belanja online. Jamak kita mendengar teriakan “paket” di rumah-rumah masyarakat. Akan tetapi, e-commerce yang didukung oleh kapital besar jangan sampai hanya menjual barang-barang impor. Mereka perlu diminta berpartisipasi dalam meningkatkan kapasitas UMKM, tidak hanya untuk pasar dalam negeri, melainkan juga luar negeri. ?
Pandemi juga menyebabkan 63,9% UMKM mengalami penurunan omzet lebih dari 30%. Demi bertahan, pelaku UMKM melakukan berbagai efisiensi seperti menurunkan produksi barang/jasa, mengurangi jam kerja dan jumlah karyawan, dan saluran penjualan/pemasaran. Akan tetapi, ada pula UMKM yang mengambil langkah berbeda, yakni menambah saluran pemasaran.
Pandemi sebagaimana diberitakan media online juga mengakibatkan banyak pelaku UMKM kesulitan melunasi pinjaman serta membayar tagihan listrik, gas, dan gaji karyawan. Beberapa di antaranya terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Kendala lain yang diderita pelaku UMKM adalah kesulitan memperoleh bahan baku, permodalan, penurunan pelanggan, distribusi, dan produksi terhambat.
Saatnya Bangkit
Kendati demikian, perlahan tapi pasti, situasi yang menimpa pelaku UMKM mulai membaik beberapa waktu belakangan. Pelonggaran ekonomi bertahap seiring perbaikan pengendalian Covid-19 telah berdampak positif. Situasi itu secara kasat mata terlihat di sekitar tempat tinggal kita. Warung makan misalnya, sudah mulai diramaikan pengunjung lagi, meski harus menaati protokol kesehatan (prokes) yang ketat disertai durasi makan yang terbatas hanya 30 menit.
Tapi satu hal, jangan sampai pemulihan ekonomi yang ditandai geliat usaha pelaku UMKM itu terganggu lagi gara-gara lonjakan kasus Covid-19 yang terjadi pada Juni-Juli 2021.
Terlepas dari dinamika yang ada, sudah sepatutnya para pihak, dalam hal ini pemerintah, swasta, dan pelaku UMKM mempersiapkan diri menyongsong kebangkitan di era postpandemic Covid-19. Jika diperdalam, masalah inti UMKM masih tidak dapat terlepas dari pembiayaan. Sebagaimana dijelaskan di awal, pandemi mengakibatkan banyak pelaku UMKM kesulitan melunasi pinjaman kepada lembaga keuangan. Oleh karena itu, penting agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong lembaga keuangan agar memberikan kemudahan kepada pelaku UMKM menyelesaikan kewajibannya. Aturan dalam wujud POJK tentu akan lebih mengikat lembaga keuangan.
Penulis merespons positif keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ingin rasio penyaluran kredit perbankan ke sektor UMKM ditingkatkan menjadi lebih dari 30% dari total penyaluran kredit pada 2022. Apalagi, saat ini rasio kredit perbankan Indonesia ke UMKM masih di kisaran 20%, tertinggal dibandingkan negara-negara Asia macam Malaysia (51%), Jepang (66%) atau bahkan Korea Selatan (81%).
Pemerintah juga berjanji penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa agunan juga bakal dinaikkan dari Rp50 juta menjadi Rp100 juta. Plafon KUR maksimal juga dinaikkan dari sebelumnya Rp500 juta menjadi Rp20 miliar. Potensi kredit, apalagi di sektor usaha mikro, masih sangat besar. Apalagi masih terdapat 30 juta pelaku usaha mikro yang belum mengakses layanan pembiayaan formal dari total 57 juta pelaku usaha mikro?
Kendati demikian, jangan sampai kebijakan yang sudah begitu matang dari sisi perencanaan, malah mentah di lapangan. Sebab, tanda-tanda itu sudah mulai muncul dan terdengar. Misalnya untuk penyaluran KUR tanpa agunan yang kenyataannya di lapangan menunjukkan pihak bank masih meminta agunan. Entah itu dalam wujud BPKB kendaraan atau sertifikat rumah. Pemerintah maupun regulator perlu mencermati praktik-praktik semacam itu. Bila perlu berikan sanksi tegas kepada lembaga keuangan yang masih bandel tersebut.
Langkah lain yang menurut penulis penting adalah pelibatan e-commerce yang berbisnis di Tanah Air. Pembatasan kegiatan macam PSBB hingga PPKM nyatanya melesatkan tingkat belanja online. Jamak kita mendengar teriakan “paket” di rumah-rumah masyarakat. Akan tetapi, e-commerce yang didukung oleh kapital besar jangan sampai hanya menjual barang-barang impor. Mereka perlu diminta berpartisipasi dalam meningkatkan kapasitas UMKM, tidak hanya untuk pasar dalam negeri, melainkan juga luar negeri. ?