Menakar Taliban 2.0
loading...
A
A
A
Nour Zattullah
Magister Prodi Damai dan Resolusi Konflik, Fakultas Keamanan Nasional, Universitas Pertahanan RI
MINGGU, 15 Agustus 2021 mata dunia tertuju kepada Afghanistan, sebuah negara di kawasan Asia Tengah yang puluhan tahun mengalami instabilitas keamanan akibat konflik bersenjata dan dikenal sebagai negara graveyard of empires. Kelompok Taliban, yang kerap disebut sebagai kelompok pemberontak, mendadak berhasil mengambil alih Ibukota Kabul, relatif dengan tanpa perlawanan dari Angkatan Bersenjata Afghanistan yang menurut Presiden AS, Joe Biden berjumlah sekitar 300.000 personel dengan peralatan lengkap.
Pada kondisi itu pula, Presiden National Unity Government (NUG) Afghanistan, Ashraf Ghani melarikan diri dari Kabul ke Uni Emirat Arab. Beberapa hari sebelumnya, Wakil Presiden Amrullah Saleh telah meninggalkan Kabul dan saat ini diketahui berada di Panjshir, sebuah wilayah yang menjadi basis perlawanan Ahmad Massoud terhadap Taliban.
Mayoritas opini di media menyatakan adanya kekhawatiran bahwa kembalinya Taliban ke tampuk kekuasaan akan mengembalikan lagi era Afghanistan yang penuh akan pelanggaran HAM, penindasan terhadap hak perempuan, pengekangan terhadap kebebasan pers hingga kembalinya Afghanistan menjadi negara basis terorisme internasional. Namun, banyak hal-hal yang menarik untuk dilihat dan dikaji lebih dalam dari fenomena kembalinya Taliban ke kekuasaan pada 2021 ini.
Berbeda dengan apa yang terjadi pada 1996 saat Taliban mengambil alih kekuasaan dari Pemerintahan Mujahidin, jatuhnya Kabul ke tangan Taliban kali ini tidak dapat dilepaskan dari isi Perjanjian Doha antara AS dan Taliban pada Februari 2020 yang menyatakan bahwa AS dan sekutu akan menarik keseluruhan pasukan asing di Afghanistan, dengan imbalan bahwa Taliban menjamin bahwa Afghanistan tidak akan menjadi basis terorisme yang dapat digunakan untuk menyerang AS dan sekutunya di Barat.
Jika dilihat secara lengkap perjanjian ini, meskipun AS telah menyebutkan Taliban sebagai “the Islamic Emirate of Afghanistan which is not recognized by the United States as a state”, tetapi beberapa komitmen yang diberikan oleh Taliban dalam perjanjian tersebut telah menempatkan Taliban "seakan-akan’" sebagai sebuah entitas negara. Itu misalnya ada pada Bagian Dua Perjanjian yang berbunyi “The Islamic Emirate of Afghanistan which is not recognized by the United States as a state and is known as the Taliban will not provide visas, passports, travel permits, or other legal documents to those who pose a threat to the security of the United States and its allies to enter Afghanistan”. Artinya secara tidak langsung, AS telah memprediksi bahwa dengan adanya penarikan pasukan asing, cepat atau lambat Pemerintahan Afghanistan akan jatuh kembali ke tangan Taliban. Argumen ini membantah pernyataan Joe Biden pada Juli 2021 bahwa jatuhnya Afghanistan ke tangan Taliban ‘is not inevitable'.
Setelah menguasai Ibukota Kabul, Taliban memberikan janji-janji yang oleh sebagian komunitas internasional dinilai mustahil untuk diwujudkan, misalnya akses pendidikan dan pekerjaan terhadap perempuan sesuai Syariat Islam, kebebasan pers hingga akan membentuk pemerintahan yang inklusif. Janji-janji ini kemudian memunculkan pertanyaan, benarkah Taliban sudah berubah?
Dari sejumlah sumber yang telah dipelajari oleh penulis, tidak dapat dipungkiri bahwa Taliban kali ini memang tengah berupaya mentransformasikan dirinya agar lebih dapat diterima oleh dunia internasional. Satu hal yang cukup mengejutkan adalah kemauan Taliban untuk berdialog dengan pemimpin nasional yang berbeda haluan, misalnya Hamid Karzai, Abdullah Abdullah, bahkan adik dari Presiden Ashraf Ghani, Hashmat Ghani. Padahal, Taliban dapat saja segera membentuk pemerintahan mereka sendiri saat ini tanpa melakukan dialog dengan pihak lain. Ini menunjukkan adanya iktikad baik dari kelompok ini untuk mewujudkan pemerintahan yang inklusif dan merangkul berbagai pihak. Dari sini juga dapat dilihat bahwa Taliban belajar dari pengalaman bahwa pemerintahan yang inklusif akan mengurangi risiko terjadinya perang sipil seperti era Pemerintahan Mujahidin dan era Taliban sebelumnya.
Kemudian, berlangsungnya evakuasi oleh negara asing selama berhari-hari di Bandara Internasional Kabul hingga hari ini juga menunjukkan Taliban tidak memiliki niatan untuk menghalangi proses evakuasi tersebut dan bahwa Taliban peduli untuk menampilkan citra yang "lebih ramah" di mata internasional. Di tengah arus globalisasi saat ini, Taliban menyadari bahwa mereka tidak mungkin kembali hidup dalam isolasi seperti era pemerintahan mereka sebelumnya.
Meskipun demikian, masih banyak janji-janji Taliban yang lain yang harus kita tunggu untuk diwujudkan di lapangan, untuk membuktikan bahwa Taliban telah bertransformasi menjadi Taliban 2.0. Menurut penulis, titik kritis di sini adalah apakah Taliban dalam beberapa waktu ke depan mampu membentuk pemerintahan yang inklusif dengan adanya keterwakilan etnis dan agama, mengingat faktor inilah yang sebelumnya menjadi faktor utama konflik dan perang sipil di Afghanistan. Jika inklusiivitas ini dapat terwujud, maka berbagai aspirasi lain dari berbagai kelompok, misalnya terkait hak wanita, kebebasan pers, hak pendidikan dan sebagainya dapat dikompromikan untuk diwujudkan dalam batas tertentu, meskipun tidak selalu harus sama dengan standar Barat.
Namun di sisi lain, komunitas internasional perlu memberikan "ruang" kepada Taliban untuk membuktikan bahwa mereka telah berubah dan menjadi lebih acceptable bagi dunia luar. Penghakiman yang terlalu dini oleh berbagai media terhadap proses yang sedang berlangsung di Afghanistan hanya akan meningkatkan distrust antarkelompok di internal negara tersebut dan akan bersifat kontraproduktif terhadap konsolidasi politik yang tengah berlangsung. Pada intinya, dunia internasional harus memberikan kesempatan kepada masyarakat Afghanistan, yang dalam hal ini juga termasuk Taliban untuk menemukan solusi mereka sendiri. Intervensi asing di Afghanistan bukan lagi jawaban yang relevan jika kita tidak ingin mengulang kegagalan AS dan NATO di Afghanistan 20 tahun lalu.
Magister Prodi Damai dan Resolusi Konflik, Fakultas Keamanan Nasional, Universitas Pertahanan RI
MINGGU, 15 Agustus 2021 mata dunia tertuju kepada Afghanistan, sebuah negara di kawasan Asia Tengah yang puluhan tahun mengalami instabilitas keamanan akibat konflik bersenjata dan dikenal sebagai negara graveyard of empires. Kelompok Taliban, yang kerap disebut sebagai kelompok pemberontak, mendadak berhasil mengambil alih Ibukota Kabul, relatif dengan tanpa perlawanan dari Angkatan Bersenjata Afghanistan yang menurut Presiden AS, Joe Biden berjumlah sekitar 300.000 personel dengan peralatan lengkap.
Pada kondisi itu pula, Presiden National Unity Government (NUG) Afghanistan, Ashraf Ghani melarikan diri dari Kabul ke Uni Emirat Arab. Beberapa hari sebelumnya, Wakil Presiden Amrullah Saleh telah meninggalkan Kabul dan saat ini diketahui berada di Panjshir, sebuah wilayah yang menjadi basis perlawanan Ahmad Massoud terhadap Taliban.
Mayoritas opini di media menyatakan adanya kekhawatiran bahwa kembalinya Taliban ke tampuk kekuasaan akan mengembalikan lagi era Afghanistan yang penuh akan pelanggaran HAM, penindasan terhadap hak perempuan, pengekangan terhadap kebebasan pers hingga kembalinya Afghanistan menjadi negara basis terorisme internasional. Namun, banyak hal-hal yang menarik untuk dilihat dan dikaji lebih dalam dari fenomena kembalinya Taliban ke kekuasaan pada 2021 ini.
Berbeda dengan apa yang terjadi pada 1996 saat Taliban mengambil alih kekuasaan dari Pemerintahan Mujahidin, jatuhnya Kabul ke tangan Taliban kali ini tidak dapat dilepaskan dari isi Perjanjian Doha antara AS dan Taliban pada Februari 2020 yang menyatakan bahwa AS dan sekutu akan menarik keseluruhan pasukan asing di Afghanistan, dengan imbalan bahwa Taliban menjamin bahwa Afghanistan tidak akan menjadi basis terorisme yang dapat digunakan untuk menyerang AS dan sekutunya di Barat.
Jika dilihat secara lengkap perjanjian ini, meskipun AS telah menyebutkan Taliban sebagai “the Islamic Emirate of Afghanistan which is not recognized by the United States as a state”, tetapi beberapa komitmen yang diberikan oleh Taliban dalam perjanjian tersebut telah menempatkan Taliban "seakan-akan’" sebagai sebuah entitas negara. Itu misalnya ada pada Bagian Dua Perjanjian yang berbunyi “The Islamic Emirate of Afghanistan which is not recognized by the United States as a state and is known as the Taliban will not provide visas, passports, travel permits, or other legal documents to those who pose a threat to the security of the United States and its allies to enter Afghanistan”. Artinya secara tidak langsung, AS telah memprediksi bahwa dengan adanya penarikan pasukan asing, cepat atau lambat Pemerintahan Afghanistan akan jatuh kembali ke tangan Taliban. Argumen ini membantah pernyataan Joe Biden pada Juli 2021 bahwa jatuhnya Afghanistan ke tangan Taliban ‘is not inevitable'.
Setelah menguasai Ibukota Kabul, Taliban memberikan janji-janji yang oleh sebagian komunitas internasional dinilai mustahil untuk diwujudkan, misalnya akses pendidikan dan pekerjaan terhadap perempuan sesuai Syariat Islam, kebebasan pers hingga akan membentuk pemerintahan yang inklusif. Janji-janji ini kemudian memunculkan pertanyaan, benarkah Taliban sudah berubah?
Dari sejumlah sumber yang telah dipelajari oleh penulis, tidak dapat dipungkiri bahwa Taliban kali ini memang tengah berupaya mentransformasikan dirinya agar lebih dapat diterima oleh dunia internasional. Satu hal yang cukup mengejutkan adalah kemauan Taliban untuk berdialog dengan pemimpin nasional yang berbeda haluan, misalnya Hamid Karzai, Abdullah Abdullah, bahkan adik dari Presiden Ashraf Ghani, Hashmat Ghani. Padahal, Taliban dapat saja segera membentuk pemerintahan mereka sendiri saat ini tanpa melakukan dialog dengan pihak lain. Ini menunjukkan adanya iktikad baik dari kelompok ini untuk mewujudkan pemerintahan yang inklusif dan merangkul berbagai pihak. Dari sini juga dapat dilihat bahwa Taliban belajar dari pengalaman bahwa pemerintahan yang inklusif akan mengurangi risiko terjadinya perang sipil seperti era Pemerintahan Mujahidin dan era Taliban sebelumnya.
Kemudian, berlangsungnya evakuasi oleh negara asing selama berhari-hari di Bandara Internasional Kabul hingga hari ini juga menunjukkan Taliban tidak memiliki niatan untuk menghalangi proses evakuasi tersebut dan bahwa Taliban peduli untuk menampilkan citra yang "lebih ramah" di mata internasional. Di tengah arus globalisasi saat ini, Taliban menyadari bahwa mereka tidak mungkin kembali hidup dalam isolasi seperti era pemerintahan mereka sebelumnya.
Meskipun demikian, masih banyak janji-janji Taliban yang lain yang harus kita tunggu untuk diwujudkan di lapangan, untuk membuktikan bahwa Taliban telah bertransformasi menjadi Taliban 2.0. Menurut penulis, titik kritis di sini adalah apakah Taliban dalam beberapa waktu ke depan mampu membentuk pemerintahan yang inklusif dengan adanya keterwakilan etnis dan agama, mengingat faktor inilah yang sebelumnya menjadi faktor utama konflik dan perang sipil di Afghanistan. Jika inklusiivitas ini dapat terwujud, maka berbagai aspirasi lain dari berbagai kelompok, misalnya terkait hak wanita, kebebasan pers, hak pendidikan dan sebagainya dapat dikompromikan untuk diwujudkan dalam batas tertentu, meskipun tidak selalu harus sama dengan standar Barat.
Namun di sisi lain, komunitas internasional perlu memberikan "ruang" kepada Taliban untuk membuktikan bahwa mereka telah berubah dan menjadi lebih acceptable bagi dunia luar. Penghakiman yang terlalu dini oleh berbagai media terhadap proses yang sedang berlangsung di Afghanistan hanya akan meningkatkan distrust antarkelompok di internal negara tersebut dan akan bersifat kontraproduktif terhadap konsolidasi politik yang tengah berlangsung. Pada intinya, dunia internasional harus memberikan kesempatan kepada masyarakat Afghanistan, yang dalam hal ini juga termasuk Taliban untuk menemukan solusi mereka sendiri. Intervensi asing di Afghanistan bukan lagi jawaban yang relevan jika kita tidak ingin mengulang kegagalan AS dan NATO di Afghanistan 20 tahun lalu.
(bmm)