Diduga Langgar Kode Etik, Napoleon Bonaparte Laporkan 3 Hakim PN Jakpus ke KY
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kuasa Hukum Napolion Bonaparte , Ahmad Yani resmi melaporkan tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili kasus red notice ke Komisi Yudisial (KY), Kamis (19/8/2021).
Mereka dilaporkan lantaran diduga kuat melakukan pelanggaran kode etik perilaku hakim dalam menangani perkara itu. Ketiga hakim PN Jakarta Pusat yang dilaporkan itu yakni Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Darmis dan hakim Syaifudin Zuhri serta Joko Subagyo masing-masing sebagai anggota. Yani mengatakan, ada tiga pokok dugaan pelanggaran kode etik perilaku hakim yang mereka laporkan.
Pertama, dugaan abstraction of justice. Kedua; majelis hakim dalam pertimbangannya banyak memanipulasi data dan mengada-ada serta tidak sesuai dengan fakta. Ketiga; yang sangat ironis adalah yang merontokkan harkat dan martabat pengadilan adalah ketua pengadilan yang juga majelis hakim.
"Dalam proses persidangan, meminta majelis hakim untuk membongkar kotak pandora rekaman percapakan Napoleon Bonaparte, Tomy Sumardi, dan Prasetyo Utama dan majelis menjanjikan untuk membuka rekaman itu," katanya di kantor KY.
Tetapi, pada sidang berikutnya, kata dia, JPU tak bisa menghadirkan Tomy Sumardi. Hakim juga dia sebut meniadakan agenda itu pada sidang-sidang berikutnya. Dia mengatakan, karena itu, patut diduga ketiga hakim melanggar kode etik perilaku hakim. Menurut dia, kasus yang menjerat kliennya itu banyak melibatkan tokoh-tokoh penting di Indonesia.
"Justru sesungguhnya ada hal yang paling besar di republik ini yaitu tadi bukti siapa dibalik kasus Djoko Tjandra, siapa yang menerima (suap) dan itu menyangkut petinggi-petinggi di republik ini. Kami sendiri tidak berani membukanya," ujarnya.
Dia meminta Komisi Yudisial (KY) dapat membuka proses penanganan perkara penghapusan red notice itu. Pihaknya, kata dia, siap memberikan seluruh bukti-bukti proses peraidangan sejak awal ke KY. Sehingga KY bisa melihat dugaan adanya pelanggaran kode etik hakim PN Jakarta Pusat itu. "Kepada KY tadi, tolong ini dibuka, diperiksa dengan terbatas untuk memang yang berkompeten," katanya.
Mereka dilaporkan lantaran diduga kuat melakukan pelanggaran kode etik perilaku hakim dalam menangani perkara itu. Ketiga hakim PN Jakarta Pusat yang dilaporkan itu yakni Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Darmis dan hakim Syaifudin Zuhri serta Joko Subagyo masing-masing sebagai anggota. Yani mengatakan, ada tiga pokok dugaan pelanggaran kode etik perilaku hakim yang mereka laporkan.
Pertama, dugaan abstraction of justice. Kedua; majelis hakim dalam pertimbangannya banyak memanipulasi data dan mengada-ada serta tidak sesuai dengan fakta. Ketiga; yang sangat ironis adalah yang merontokkan harkat dan martabat pengadilan adalah ketua pengadilan yang juga majelis hakim.
"Dalam proses persidangan, meminta majelis hakim untuk membongkar kotak pandora rekaman percapakan Napoleon Bonaparte, Tomy Sumardi, dan Prasetyo Utama dan majelis menjanjikan untuk membuka rekaman itu," katanya di kantor KY.
Tetapi, pada sidang berikutnya, kata dia, JPU tak bisa menghadirkan Tomy Sumardi. Hakim juga dia sebut meniadakan agenda itu pada sidang-sidang berikutnya. Dia mengatakan, karena itu, patut diduga ketiga hakim melanggar kode etik perilaku hakim. Menurut dia, kasus yang menjerat kliennya itu banyak melibatkan tokoh-tokoh penting di Indonesia.
"Justru sesungguhnya ada hal yang paling besar di republik ini yaitu tadi bukti siapa dibalik kasus Djoko Tjandra, siapa yang menerima (suap) dan itu menyangkut petinggi-petinggi di republik ini. Kami sendiri tidak berani membukanya," ujarnya.
Dia meminta Komisi Yudisial (KY) dapat membuka proses penanganan perkara penghapusan red notice itu. Pihaknya, kata dia, siap memberikan seluruh bukti-bukti proses peraidangan sejak awal ke KY. Sehingga KY bisa melihat dugaan adanya pelanggaran kode etik hakim PN Jakarta Pusat itu. "Kepada KY tadi, tolong ini dibuka, diperiksa dengan terbatas untuk memang yang berkompeten," katanya.
(cip)