Penanganan Salah Kasus Korupsi Hambat Investor Masuk Ke Indonesia

Senin, 16 Agustus 2021 - 22:25 WIB
loading...
Penanganan Salah Kasus Korupsi Hambat Investor Masuk Ke Indonesia
Terdakwa kasus korupsi Jiwasraya Benny Tjokrosaputro saat menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, beberapa waktu lalu. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Penanganan salah dalam penindakan kasus korupsi berimbas menghambatnya investor masuk ke Indonesia. Kondisi ini mengancam perekonomian Indonesia.

Hal itu terungkap usai Analis CSA Research Institute Reza Priyambada mengungkapkan setiap kasus hukum yang menjerat salah satu emiten akan membuat harga suatu saham akan turun. Hal ini dikarenakan sejumlah pelaku saham khawatir membuat harga menjadi turun. "Bahkan dalam sebuah diskusi pelaku pasar, jika ada oknum yang bersalah maka diperlakukan sebagai entitas pribadi, bukan perusahaannya yang dibekukan atau sebagainya," kata Reza dalam webinar Perilaku Abuse of Power Atas Aset Berkedok Penegakan Hukum, Senin (16/8/2021).

Dalam catatannya, beberapa investor asing yang kabur dari Indonesia antara lain, Morgan Stanley Sekuritas Indonesia broker saham dan lembaga keuangan internasional, PT Merrill Lynch Sekuritas Indonesia dan Citibank Indonesia, PT Deutsche Bank Sekuritas Indonesia dan PT Nomura Sekuritas Indonesia juga telah resmi mengumumkan mengurangi bisnis jual beli saham di Indonesia.

Kondisi sini membuat sejumlah harga saham menjadi anjlok. Reza lantas mencontohkan kondisi ini dengan penanganan kasus Asabri-Jiwasraya. Seperti saat membeli saham A dengan harga 2.730, dan setelah 3 bulan investasi ternyata harga sahamnya turun ke 2.630. "Lah yang merugikan negara itu siapa gitu, atas dasar apa merugikan negara. Lalu, kemudian uang negara yang mana yang dirugikan," ujarnya.

Karena itu agar kasus tak berlarut, terkait kasus Asabri-Jiwasraya, Reza pun menambahkan masyarakat bisa meminta ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) supaya bisa memberikan masukan bagaimana menangani kasus hukum dengan proses hukum yang baik. Reza lantas mengutip pernyataan Jeremy Bentham yang menyatakan hukum yang tidak adil adalah bagian dari spesies kekerasan. Demikian juga seorang filsuf bernama John Locke mengatakan, kebijaksanaan seseorang akan membuat hukum tidak hanya terdiri dari landasan keadilan tapi juga penerapannya yang senantiasa mempertimbangkan dengan cara apa hukum mendapat kepastian.

Karena itu ia mengharapkan kepastian hukum dari penanganan kasus Jiwasraya dan Asabri, dan mungkin juga lembaga keuangan lainnya. ”Kita harapkan penanganan kasus hukum yang terjadi di pasar modal akan semakin baik ke depannya, mengingat pasar modal memiliki UU Pasar Modal, jadi sebaiknya tidak sembarangan dialihkan ke UU Tipikor bila masih bisa diselesaikan dengan UU Pasar Modal. Dengan demikian nasib dari para pemegang polis ini bisa jelas. Syukur-syukur uangnya bisa kembali, karena kan ini menyangkut investasi dari para nasabah pemegang polis," tandasnya.

Senada Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM, Muhammad Fatahillah Akbar menyebut jika penegakan hukum yang salah bisa memengaruhi ekosistem pasar modal ataupun dunia investasi sebuah negara. Ia lantas mencontohkan ketika penegak hukum melakukan penyidikan ke lembaga-lembaga tertentu, otomatis saham perusahaannya pun terdampak ikut jatuh.

"Untuk itulah bagaimana pasar modal dan penegakan hukum itu harus berintegrasi. Seharusnya kalau ada penegakan hukum terhadap dugaan tindak pidana di sebuah perusahaan atau yang menyangkut pasar modal, seharusnya prinsip good corporate governancenya tetap harus dijaga," kata Akbar.

Kasus penyitaan aset dalam kasus Asabri-Jiwasraya ini pun mirip dengan kasus First Travel. Di mana sebanyak 1.000 calon jamaah umrah dirugikan dalam kasus tersebut. "Sekarang uang para jamaah itu di mana? Uangnya dirampas untuk negara, sesuatu hal yang luar biasa melanggar hak asasi manusia. Apa logikanya hingga uang dalam kasus First Travel itu harus dirampas untuk negara?," ujarnya.

Kondisi itu, kata Akbar membuktikan bahwa Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP itu masih sangat lemah, karena tidak memiliki prosedur penyitaan pada aset yang tersebar secara kompleks. Ia menegaskan, dalam pasal 39 sampai 49 KUHAP menyebut bahwa penyitaan hanya bisa dilakukan jika keputusan sudah berkekuatan hukum tetap. "Ini dipertegas dalam pasal 18-19, yang mengatakan penyitaan terhadap aset dalam pembayaran uang pengganti dilakukan 1 bulan, ketika tidak dibayar 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap," ujarnya.

Akbar pun kembali memberikan contoh upaya hukum yang dilakukan KPK dalam kasus M Nazaruddin. Menurutnya kasus itu bisa menjadi pembelajaran salah satunya membekukan saham Nazaruddin di Garuda Indonesia. Upaya itu tidak mengganggu iklim investasi di Indonesia.
(cip)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2995 seconds (0.1#10.140)