Asa Ekonomi Bangkit dari Pandemi
loading...
A
A
A
Bhima Yudhistira
Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies)
"PANDEMI akan menghasilkan perubahan permanen, baik secara sosial maupun ekonomi. Kuncinya adalah menciptakan terobosan terbaik dari situasi terburuk.” Wayne Gerard Trotman.
Krisis pandemi cukup menguras energi dan telah mengakibatkan katastropik yang belum pernah terjadi, bahkan dibandingkan dengan krisis 1998. Meski sempat mengalami pemulihan ekonomi pada kuartal II/2021 sebesar 7,07%, fakta bahwa daya beli masyarakat kembali turun pada bulan-bulan berikutnya merupakan tantangan nyata.
Jika dibedah lebih dalam, pertumbuhan ekonomi 7% secara statistik lebih disebabkan oleh low-base effect atau berasal dari basis yang rendah. Saat kuartal II/2020 ekonomi kontraksi minus 5% lebih. Sedikit saja terdapat pemulihan, maka wajar ekonomi tumbuh tinggi karena terjadi pelonggaran sebelum adanya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat atau PPKM level 4 pada Juli.
Sektor-sektor yang tumbuh tinggi selama kuartal kedua lebih didominasi sektor yang sensitif terhadap mobilitas masyarakat. Sebagai contoh jasa transportasi, perhotelan, dan restoran tumbuh di atas 20%. Tapi ini hanya temporer karena lonjakan kasus varian Delta kembali menurunkan sektor-sektor jasa. Pergerakan masyarakat yang dibatasi, perkantoran dan tempat wisata yang ditutup menurunkan konsumsi rumah tangga secara signifikan.
Problem lain adalah soal kualitas pertumbuhan ekonomi. Kontribusi sektor yang tumbuh tinggi pada kuartal kedua terhadap serapan tenaga kerja relatif kecil dibanding motor utama ekonomi, yakni Industri manufaktur dan pertanian. Misalnya pertanian hanya mampu tumbuh 0,38% jauh di bawah pertumbuhan ekonomi. Padahal sepanjang tekanan hebat pada 2020, pertanian masih mampu tumbuh di atas 1,7%. Begitu juga dengan sektor industri pengolahan yang relatif rebound hanya kisaran 6,5%. Kedua sektor ini penting karena jika digabung mampu menyumbang 42,6% tenaga kerja dan 33,4% terhadap PDB.
Perhatian pemerintah soal sektor pertanian tidak bisa dianaktirikan karena beberapa hal. Pertama , bahan makanan adalah kebutuhan dasar. Selama masyarakat menjalani pembatasan sosial, memang cenderung menunda pembelian pakaian baru dan kebutuhan lainnya. Namun, soal makan entah memasak di rumah atau membeli lewat aplikasi pesan antar makanan, sama-sama butuh bahan makanan. Artinya, permintaan bahan makanan dengan populasi Indonesia yang besar, harusnya tetap stabil.
Kedua, pengangguran di sektor industri cenderung kembali ke desa-desa dan menjadi tenaga tambahan di sektor pertanian meski sementara. Ini menunjukkan sektor pertanian menjadi safety net (jaring pengaman) naiknya pengangguran akibat pandemi. Jika ada istilah urbanisasi, maka saat ini justru sebaliknya terjadi ruralisasi.
Ketiga , sektor pertanian mampu berkontribusi positif terhadap penyaluran kredit perbankan pada saat sektor lain tumbuh negatif. Data BI per Juni 2021 menunjukkan penyaluran pinjaman dalam bentuk kredit modal kerja ke pertanian tumbuh 11,7%. Bandingkan dengan kredit modal kerja ke sektor pertambangan yang minus 12% pada saat harga komoditas tambang booming. Resilience atau ketahanan sektor pertanian dus harus diacungi jempol.
Perubahan permanen yang muncul lainnya adalah pola masyarakat menggunakan teknologi informasi dengan kecepatan yang belum pernah terlihat sebelum pandemi. Terjadi kenaikan transaksi e-commerce hingga Rp253 triliun pada 2020 dan diperkirakan menurut BI menjadi Rp337 triliun tahun ini. Penyaluran pinjaman lewat fintech mencapai Rp181 triliun per Maret 2021. Di bidang pendidikan dan kesehatan, transformasi digital mampu menciptakan sarana belajar online hingga konsultasi dokter tanpa tatap muka yang dibutuhkan selama pandemi.
Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies)
"PANDEMI akan menghasilkan perubahan permanen, baik secara sosial maupun ekonomi. Kuncinya adalah menciptakan terobosan terbaik dari situasi terburuk.” Wayne Gerard Trotman.
Krisis pandemi cukup menguras energi dan telah mengakibatkan katastropik yang belum pernah terjadi, bahkan dibandingkan dengan krisis 1998. Meski sempat mengalami pemulihan ekonomi pada kuartal II/2021 sebesar 7,07%, fakta bahwa daya beli masyarakat kembali turun pada bulan-bulan berikutnya merupakan tantangan nyata.
Jika dibedah lebih dalam, pertumbuhan ekonomi 7% secara statistik lebih disebabkan oleh low-base effect atau berasal dari basis yang rendah. Saat kuartal II/2020 ekonomi kontraksi minus 5% lebih. Sedikit saja terdapat pemulihan, maka wajar ekonomi tumbuh tinggi karena terjadi pelonggaran sebelum adanya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat atau PPKM level 4 pada Juli.
Sektor-sektor yang tumbuh tinggi selama kuartal kedua lebih didominasi sektor yang sensitif terhadap mobilitas masyarakat. Sebagai contoh jasa transportasi, perhotelan, dan restoran tumbuh di atas 20%. Tapi ini hanya temporer karena lonjakan kasus varian Delta kembali menurunkan sektor-sektor jasa. Pergerakan masyarakat yang dibatasi, perkantoran dan tempat wisata yang ditutup menurunkan konsumsi rumah tangga secara signifikan.
Problem lain adalah soal kualitas pertumbuhan ekonomi. Kontribusi sektor yang tumbuh tinggi pada kuartal kedua terhadap serapan tenaga kerja relatif kecil dibanding motor utama ekonomi, yakni Industri manufaktur dan pertanian. Misalnya pertanian hanya mampu tumbuh 0,38% jauh di bawah pertumbuhan ekonomi. Padahal sepanjang tekanan hebat pada 2020, pertanian masih mampu tumbuh di atas 1,7%. Begitu juga dengan sektor industri pengolahan yang relatif rebound hanya kisaran 6,5%. Kedua sektor ini penting karena jika digabung mampu menyumbang 42,6% tenaga kerja dan 33,4% terhadap PDB.
Perhatian pemerintah soal sektor pertanian tidak bisa dianaktirikan karena beberapa hal. Pertama , bahan makanan adalah kebutuhan dasar. Selama masyarakat menjalani pembatasan sosial, memang cenderung menunda pembelian pakaian baru dan kebutuhan lainnya. Namun, soal makan entah memasak di rumah atau membeli lewat aplikasi pesan antar makanan, sama-sama butuh bahan makanan. Artinya, permintaan bahan makanan dengan populasi Indonesia yang besar, harusnya tetap stabil.
Kedua, pengangguran di sektor industri cenderung kembali ke desa-desa dan menjadi tenaga tambahan di sektor pertanian meski sementara. Ini menunjukkan sektor pertanian menjadi safety net (jaring pengaman) naiknya pengangguran akibat pandemi. Jika ada istilah urbanisasi, maka saat ini justru sebaliknya terjadi ruralisasi.
Ketiga , sektor pertanian mampu berkontribusi positif terhadap penyaluran kredit perbankan pada saat sektor lain tumbuh negatif. Data BI per Juni 2021 menunjukkan penyaluran pinjaman dalam bentuk kredit modal kerja ke pertanian tumbuh 11,7%. Bandingkan dengan kredit modal kerja ke sektor pertambangan yang minus 12% pada saat harga komoditas tambang booming. Resilience atau ketahanan sektor pertanian dus harus diacungi jempol.
Perubahan permanen yang muncul lainnya adalah pola masyarakat menggunakan teknologi informasi dengan kecepatan yang belum pernah terlihat sebelum pandemi. Terjadi kenaikan transaksi e-commerce hingga Rp253 triliun pada 2020 dan diperkirakan menurut BI menjadi Rp337 triliun tahun ini. Penyaluran pinjaman lewat fintech mencapai Rp181 triliun per Maret 2021. Di bidang pendidikan dan kesehatan, transformasi digital mampu menciptakan sarana belajar online hingga konsultasi dokter tanpa tatap muka yang dibutuhkan selama pandemi.