Paradigma Normal Baru

Jum'at, 29 Mei 2020 - 07:26 WIB
loading...
Paradigma Normal Baru
Gun Gun Heryanto. Foto/Okezone
A A A
Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

Saat ini, diksi yang lagi populer diperbincangkan adalah new normal (normal baru). Seperti biasanya, diksi yang mulai diwacanakan pemerintah ini menuai pro dan kontra di masyarakat. Tercermin dari polemik yang mengemuka di berbagai media massa dan media sosial. Apa dan bagaimana normal baru tersebut? Penting untuk meletakkan diksi ini dalam konteks situasi pandemi yang terjadi saat ini.

Visi Retoris

Jika dikaitkan dengan pandemi, normal baru adalah situasi atau keadaaan dimana kita melakukan aktivitas normal sehari-hari tetapi dengan pola perilaku yang mengacu pada tatanan baru yang disebabkan Covid-19. Secara umum, diksi new normal sudah mulai didefinisikan dalam kamus terbuka bernama Urban Dictionary sejak 2009. Tentu konteksnya bukan pandemi Covid-19. Dalam Urban Dictionary tersebut new normal didefinisikan “the current state of being after some dramatic change has transpired”. Terjemahannya, keadaan saat ini setelah beberapa perubahan dramatis yang terjadi. Jika merujuk ke situasi saat ini di dunia, bukan hanya di Indonesia, telah terjadi situasi yang diwarnai perubahan dramatis. Lihat saja berbagai sektor terkena dampak Covid-19. Binis dan ekonomi, politik, pendidikan, pertahanan dan keamanan dan lain-lain. Dunia seolah berhenti sejenak, seluruh kota di banyak negara sepi, aktivitas sekolah dan kuliah, perkantoran, tempat ibadah, objek wisata dan lain-lain semua sepi menghindari pandemi.

Kita runut dulu penjelasan tentang normal baru ini dari perspektif akademik. Dari perspekif komunikasi, upaya memunculkan diksi normal baru ini tentu saja intensinya adalah memersuasi khalayak luas agar bisa mengadaptasi situasi yang berubah sebagai dampak pandemi Covid-19. Teori Konvergensi Simbolik dari Ernest Bormann dalam bukunya The Force of Fantasy Restoring American Dream (1985) bisa membantu kita menjelaskan fenomena ini. Teori ini, menjelaskan tentang bagaimana realitas simbolik umum dibentuk melalui kesadaran bersama. Kesadaran tersebut dibentuk melalui pemaknaan, emosi dan motivasi bertindak. Pilihan diksi new normal merupakan visi retoris atau semacam pesan melalui bahasa untuk membangun kesadaran bersama bahwa kita harus mengatasi sekaligus berdaptasi dengan Covid-19 di tengah situasi belum adanya vaksin yang benar-benar bisa menggaransi kesembuhan.

Saat normal baru ini menjadi visi retoris dari tema pengendalian dan adaptasi situasi, maka seharusnya kita menempatkan ini bukan semata kata benda (noun) keadaan, seperti terdapat dalam kamus Urban Dictionary, melainkan seharusnya menjadi paradigma berpikir. Paradigma normal baru adalah cara berpikir yang memandu perilaku untuk menanggulangi masalah dengan mengadaptasi beragam pola dan keadaaan yang berubah. Konteksnya dalam situasi pandemi, khalayak memiliki cara berpikir yang sama bahwa pandemi harus diatasi bersama-sama bukan semata-mata tugas pemerintah, sekaligus berperilaku normal dengan menaati protokol kesehatan. Seperti menggunakan masker, rajin mencuci tangan, penerapan jarak fisik, membatasi diri dari kerumunan yang tidak diperlukan dan lain-lain. Situasi yang mungkin berbeda dengan keadaan saat normal lama.

Paradigma normal baru juga menuntut kita bersiap dengan ekosistem teknologi komunikasi. Hampir seluruh instansi baik pemerintahan, DPR, pengadilan, sekolah, kampus, dunia usaha, komunitas keagamaan yang selama masa pembatasan sosial bersekala besar (PSBB) tergagap dalam mengadaptasi perubahan pola komunikasi ini. Pada akhirnya kita sadar bahwa komunikasi terintegrasi secara langsung (face-to-face communication) dan komunikasi multikanal berbasis digital menjadi keniscayaan yang harus dipersiapkan di era new normal.

Koordinasi Kebijakan

Sebelum normal baru ini benar-benar diimplementasikan paling tidak harus diperhatikan tiga hal. Pertama, soal waktu yang tepat kapan pemerintah akan membuat pelonggaran-pelonggaran sebagai konsekuensi implementasi normal baru dalam kehidupan masyarakat. Basisnya harus data yang terukur, verifikatif dan scientifik. Bukan karena pertimbangan selera individu tertentu atau kepentingan sekelompok lalu mengabaikan prioritas penanganan masalah kesahatan.

Saat ini, tentu saja masih sangat riskan untuk memberlakukan normal baru di tengah pandemi yang masih tinggi. Kasus corona masih harus dikendalikan secara serius. WHO pun telah mengeluarkan sejumlah syarat. Misalnya penularan penyakit harus terkendali. Sistem kesehatan dapat mendeteksi, menguji, mengisolasi, serta menangani setiap kasus dan melacak setiap kontak. Risiko zona merah diminimalkan di tempat-tempat rentan, seperti panti jompo. Sekolah, tempat kerja dan ruang-ruang publik lainnya telah menetapkan langkah-langkah pencegahan.

Risiko imported case baru dapat dikelola. Masyarakat sepenuhnya dididik, dilibatkan, dan diberdayakan untuk hidup era normal baru. Melihat syarat-syarat tersebut, rasanya sekarang kita semua belum siap dan ada baiknya kita masih berkomitmen dengan pembatasan hingga menunggu situasi syarat-syarat tadi benar-benar terpenuhi minimal bisa dikendalikan.

Kedua, kebijakannya harus jelas dan memberi arahan. Jangan membuat kebijakan yang bersifat polisemi atau multitafsir di saat pandemi. Saat ini, pemerintah memang belum mengeluarkan kebijakan soal normal baru ini. Kebijakan yang sifatnya parsial sudah mulai ada misalnya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang panduan pencegahan dan pengendalian Covid-19 di tempat kerja perkantoran dan industri dalam mendukung keberlangsungan usaha pada situasi pandemi. Tentu, memasuki normal baru, harus ada kebijakan yang sifatnya komprehensif. Janganlah satu kebijakan paradoks dengan kebijakan lainnya. Saat ini, pemerintah wajib mensinkronkan berbagai kebijakan yang sudah, sedang dan akan diambil untuk menjadi dasar memasuki fase normal baru secara terkoordinasi.

Ketiga, dibutuhkan kepemimpinan informasi (information leadership) dalam mengkomunikasikan kebijakan di tengah masyarakat yang sangat kompleks. Narasi komunikasi pemerintah harus jelas. Sebuah kebijakan yang bagus tak akan menghasilkan hal yang bagus jika tidak ditunjang oleh narasi komunikasi kebijakan yang optimal. Ingat, salah satu modal paling fundamental dalam penanganan pandemi adalah kepercayaan publik. Dengan tumbuhnya kepercayaan bahwa pemerintah serius, kredibel, pro publik, dan hadir di tengah ragam masalah yang membuncah, maka akan menumbuhkan bahkan menguatkan kepercayaan rakyat tanpa diminta sekalipun.

Dalam komunikasi harus dipenuhi dulu syarat pemahaman (understanding) dari khalayak. Oleh karenanya, sebelum kebijakan ini dimulai harus ada sosialisasi atau penyuluhan yang memadai. Komunikasi dengan masyarakat terutama melalui komunitas-komunitas, media massa dan media sosial, melalui jejaring dunia usaha, para akademisi kampus dan lain-lain. Tujuannya agar terbangun kesadaran bersama. Tanpa kepemimpinan informasi yang baik, wacana normal baru ini hanya akan menjadi kegaduhan yang membahayakan kebersamaan. Normal baru butuh kuatnya paradigma berpikir, yang diturunkan ke perilaku bersama, dilandasi kebijakan publik yang jelas dan terarah, serta diikat dengan kebersamaan rakyat Indonesia melawan corona.
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1748 seconds (0.1#10.140)