2 Alasan Desain Surat Suara Pemilu 2024 Harus Berubah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perludem mengungkap dua urgensi kenapa desain surat suara untuk Pemilu 2024 harus diubah. Salah satu alasannya adalah, tujuan coattail effect atau efek ekor jas di mana adanya kesamaan antara pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan partai pendukungnya dalam Pemilu Serentak 2019 yang tidak tercapai.
Peneliti Perludem, Heroik Pratama menjelaskan, dalam perubahan desain surat suara apakah digabungkan atau dipisah tergantung pada dua hal. Yakni, perubahan sistem pemilu atau dampak yang ditimbulkan dari desain surat suara sebelumnya.
"Kita pernah mengalami transisi perubahan Pemilu 1999 ke 2004 yang sebelumnya proporsional daftar tertutup. Metode pemberian suaranya memilih logo partai saja, di surat suara hanya logo partai saja. Lalu di 2004 wajib mencantumkan daftar calegnya. Pun di 2009, kita ingat ada putusan MK yang menjadikan pemurnian proporsional daftar terbuka," kata Heroik dalam diskusi yang bertajuk "Menyederhanakan Surat Suara Pemilu Serentak" yang digelar secara virtual, Minggu (1/8/2021).
Baca juga: KPU Simulasi 6 Model Surat Suara Pemilu Serentak 2024
Heroik melanjutkan, dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 55 tahun 2013 yang memutuskan keserentakan pemilu legislatif (pileg) dan eksekutif, jika digali lebih jauh bisa berdampak pada perubahan desain surat suara. Jadi, sekali pun tidak ada perubahan dalam sistem pilegnya, tapi ada perubahan dalam konteks keserentakan waktunya. Sehingga, Indonesia bisa menyederhanakan surat suaranya sebagaimana yang dilakukan di Filipina, di mana mereka menyerentakan pileg nasional, pilpres, pilkada dan juga pileg daerah. Meskipun, Filipina lebih dominan sistem majoritariannya atau single member district yang membuat daftar caleg tidak terlalu banyak.
"Kita gunakan proporsional daftar terbuka, ketentuannya pemilih bisa memilih langsung kandidat dan penentuannya berdasarkan suara terbanyak, di sisi lain district magnitude kita menggunakan multimember district, DPR bisa 3-10 untuk DPRD kab/kota/provinsi 3-12. Kalau kita kalikan jumlah peserta pemilu pada 2019 lalu, untuk DPR RI kalau satu dapil ada 10 kursi, maka kurang lebih ada 160 nama kandidat, itu hanya untuk nama di surat suara DPR, belum DPRD provinsi dan kabupaten/kota," katanya.
"Sehingga, dalam penggabungan surat suara ada tantangan tersendiri dan perlu ada persiapan yang cukup waktu sebagaimana disampaikan Mba Titi (Titi Anggraini, Perludem)," ujar Heroik.
Baca juga: Penyederhanaan Surat Suara Pemilu 2024 Mulai Dikaji KPU
Ia memaparkan, urgensi mengubah desain surat suara, selain adanya perubahan desain sistem pemilu legislatif dan keserentakan waktu pemilu, juga adanya permasalahan atau dampak yang muncul karena desain surat suara sebelumnya. Yakni, invalid vote atau suara tidak sah yang cukup tinggi dan kedua soal fairness. Desain surat suara sebelumnya tidak cukup memberikan ruang untuk keadilan bagi kandidat atau pun pemilih sebagaimana Butterfly Effect yang terjadi di Pemilu Amerika Serikat (AS) 2000.
"Di sinilah urgensi perubahan desain surat suara karena ada permasalahan desain surat suara di pemilu sebelumnya," katanya.
Menurut Heroik, Indonesia sudah memasuki prasyarat untuk mengubah desain surat suaranya, apalagi sejumlah negara juga menyederhanakan surat suaranya ketika mereka memutuskan untuk menyerentakan pileg dan pilpresnya.
Menurutnya, ada 5 kesalahan pada Pemilu 2019 yang membuat surat suara di Pemilu 2024 harus disederhanakan. Di antaranya, fokus pemilih terhadap surat suara pilpres, sedangkan surat suara DPD, DPR, dan DPRD provinsi diabaikan; tingginya invalid vote atau surat suara tidak sah. Padahal, dengan pemisahan surat suara 5 surat suara, tujuan utama dari kehadiran pemilu serentak yang tercantum di dalam putusan MK No 55 tahun 2013 dan putusan MK di tahun 2019 yakni efisiensi dan kemudahan pemilih dalam memberikan suaranya; tingginya beban kerja penyelenggara pemilu dalam melakukan penghitungan 5 surat suara; coattail effect dari pemilu serentak tidak tercapai; dan membuka ruang split ticket voting.
Padahal, dia menjelaskan, tujuan pemilu serentak adalah menimbulkan kecenderungan preferensi pemilih dalam memilih presiden dan juga partai politik yang selaras, sehingga presiden terpilih mendapatkan dukungan tersebut.
"Kalau kita survei di dalam konteks pilihan ini kita sebagian besar dipengaruhi oleh karena suaranya, misalnya di surat suara DPR RI partai A, surat suara DPRD Provinsi Jatim partai B, DPRD kabupaten kota partai C. Dalam konteks kebutuhan Pemilu serentak salah satunya adalah dengan lima surat suara ini ternyata justru meminimalisir kehadiran tersebut," katanya.
"Maka dari itu, menggabungkan surat suara Pemilu Presiden DPR DPRD provinsi dan juga DPRD kabupaten/kota itu menjadi salah satu apa satu studi yang perlu kita lakukan dan memang perlu kita persiapkan untuk Pemilu 2024 datang," kata Heroik.
Peneliti Perludem, Heroik Pratama menjelaskan, dalam perubahan desain surat suara apakah digabungkan atau dipisah tergantung pada dua hal. Yakni, perubahan sistem pemilu atau dampak yang ditimbulkan dari desain surat suara sebelumnya.
"Kita pernah mengalami transisi perubahan Pemilu 1999 ke 2004 yang sebelumnya proporsional daftar tertutup. Metode pemberian suaranya memilih logo partai saja, di surat suara hanya logo partai saja. Lalu di 2004 wajib mencantumkan daftar calegnya. Pun di 2009, kita ingat ada putusan MK yang menjadikan pemurnian proporsional daftar terbuka," kata Heroik dalam diskusi yang bertajuk "Menyederhanakan Surat Suara Pemilu Serentak" yang digelar secara virtual, Minggu (1/8/2021).
Baca juga: KPU Simulasi 6 Model Surat Suara Pemilu Serentak 2024
Heroik melanjutkan, dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 55 tahun 2013 yang memutuskan keserentakan pemilu legislatif (pileg) dan eksekutif, jika digali lebih jauh bisa berdampak pada perubahan desain surat suara. Jadi, sekali pun tidak ada perubahan dalam sistem pilegnya, tapi ada perubahan dalam konteks keserentakan waktunya. Sehingga, Indonesia bisa menyederhanakan surat suaranya sebagaimana yang dilakukan di Filipina, di mana mereka menyerentakan pileg nasional, pilpres, pilkada dan juga pileg daerah. Meskipun, Filipina lebih dominan sistem majoritariannya atau single member district yang membuat daftar caleg tidak terlalu banyak.
"Kita gunakan proporsional daftar terbuka, ketentuannya pemilih bisa memilih langsung kandidat dan penentuannya berdasarkan suara terbanyak, di sisi lain district magnitude kita menggunakan multimember district, DPR bisa 3-10 untuk DPRD kab/kota/provinsi 3-12. Kalau kita kalikan jumlah peserta pemilu pada 2019 lalu, untuk DPR RI kalau satu dapil ada 10 kursi, maka kurang lebih ada 160 nama kandidat, itu hanya untuk nama di surat suara DPR, belum DPRD provinsi dan kabupaten/kota," katanya.
"Sehingga, dalam penggabungan surat suara ada tantangan tersendiri dan perlu ada persiapan yang cukup waktu sebagaimana disampaikan Mba Titi (Titi Anggraini, Perludem)," ujar Heroik.
Baca juga: Penyederhanaan Surat Suara Pemilu 2024 Mulai Dikaji KPU
Ia memaparkan, urgensi mengubah desain surat suara, selain adanya perubahan desain sistem pemilu legislatif dan keserentakan waktu pemilu, juga adanya permasalahan atau dampak yang muncul karena desain surat suara sebelumnya. Yakni, invalid vote atau suara tidak sah yang cukup tinggi dan kedua soal fairness. Desain surat suara sebelumnya tidak cukup memberikan ruang untuk keadilan bagi kandidat atau pun pemilih sebagaimana Butterfly Effect yang terjadi di Pemilu Amerika Serikat (AS) 2000.
"Di sinilah urgensi perubahan desain surat suara karena ada permasalahan desain surat suara di pemilu sebelumnya," katanya.
Menurut Heroik, Indonesia sudah memasuki prasyarat untuk mengubah desain surat suaranya, apalagi sejumlah negara juga menyederhanakan surat suaranya ketika mereka memutuskan untuk menyerentakan pileg dan pilpresnya.
Menurutnya, ada 5 kesalahan pada Pemilu 2019 yang membuat surat suara di Pemilu 2024 harus disederhanakan. Di antaranya, fokus pemilih terhadap surat suara pilpres, sedangkan surat suara DPD, DPR, dan DPRD provinsi diabaikan; tingginya invalid vote atau surat suara tidak sah. Padahal, dengan pemisahan surat suara 5 surat suara, tujuan utama dari kehadiran pemilu serentak yang tercantum di dalam putusan MK No 55 tahun 2013 dan putusan MK di tahun 2019 yakni efisiensi dan kemudahan pemilih dalam memberikan suaranya; tingginya beban kerja penyelenggara pemilu dalam melakukan penghitungan 5 surat suara; coattail effect dari pemilu serentak tidak tercapai; dan membuka ruang split ticket voting.
Padahal, dia menjelaskan, tujuan pemilu serentak adalah menimbulkan kecenderungan preferensi pemilih dalam memilih presiden dan juga partai politik yang selaras, sehingga presiden terpilih mendapatkan dukungan tersebut.
"Kalau kita survei di dalam konteks pilihan ini kita sebagian besar dipengaruhi oleh karena suaranya, misalnya di surat suara DPR RI partai A, surat suara DPRD Provinsi Jatim partai B, DPRD kabupaten kota partai C. Dalam konteks kebutuhan Pemilu serentak salah satunya adalah dengan lima surat suara ini ternyata justru meminimalisir kehadiran tersebut," katanya.
"Maka dari itu, menggabungkan surat suara Pemilu Presiden DPR DPRD provinsi dan juga DPRD kabupaten/kota itu menjadi salah satu apa satu studi yang perlu kita lakukan dan memang perlu kita persiapkan untuk Pemilu 2024 datang," kata Heroik.
(abd)