Wakil Ketua MPR: UU Penghapusan Kekerasan Seksual Harus Jadi Perjuangan Bersama
loading...
A
A
A
JAKARTA - Upaya merealisasikan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (UU PKS) harus menjadi perjuangan bersama dalam rangka mewujudkan negara yang adil dan makmur, serta aman bagi seluruh warga negara.
"Perjuangan merealisasikan UU Penghapusan Kekerasan Seksual saat ini berada di pundak dan menjadi tanggung jawab para legislator dari seluruh partai yang ada di parlemen," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (Mewujudkan Kebijakan Berbasis Bukti dalam Proses Legislasi) yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (28/7/2021).
Dalam diskusi yang dimoderatori Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI Arimbi Heroepoetri itu, hadir Wakil Ketua Baleg DPR RI Periode 2019 – 2024 Willy Aditya, Kongres Ulama Perempuan Indonesia Nur Rofiah, Bil, Uzm, danKetua Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia/Pemerhati Isu Gender Endah Triastuti, Hakim Pengadilan Tinggi Bali Ihat Subihat dan LPP Sekar Jepara Khomsanah sebagai narasumber. Selain itu hadir pula Tenaga Ahli Pimpinan MPR/Pegiat Disabilitas Anggiasari Puji Aryatie.
Menurut Lestari, kehadiran UU Penghapusan Kekerasan Seksual (UU PKS) merupakan salah satu cara negara ini memberi tempat yang layak terhadap nilai-nilai kemanusiaan bagi anak bangsa. Mewujudkan UU PKS, jelas Rerie, sapaan akrab Lestari, juga merupakan bagian dari perjuangan bangsa ini untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang paripurna.
Anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem itu berharap, para legislator di gedung parlemen menggunakan semua saluran politik yang ada dalam mengatasi berbagai hambatan dan menghilangkan sekat-sekat golongan, untuk membangun political will yang kuat mewujudkan UU PKS.
Wakil Ketua Badan Legislatif DPR RI, Willy Aditya mengungkapkan, yang terjadi dalam pembahasan RUU PKS saat ini adalah benturan ideologi dan cara pandang dari sejumlah pihak. Pihak- pihak yang berbeda pandangan itu, jelas Willy, sama-sama beralasan ingin memuliakan perempuan dan anak. Namun, jelasnya, masih ada pihak-pihak yang mempersoalkan sejumlah terminologi dan aspek sosial budaya dalam pasal-pasal RUU PKS tersebut.
Willy berharap sejumlah perspektif yang berbeda dalam pembahasan RUU PKS dapat diatasi lewat dialog yang intensif dan fakta-fakta di lapangan terkait maraknya kekerasan seksual secara digital misalnya yang meningkat 300%, diharapkan membuka mata sejumlah pihak yang menentang kehadiran UU PKS ini. "Mudah-mudahan pada 18 Agustus 2021, Baleg bisa mempresentasikan naskah RUU PKS yang telah disusun dan UU PKS bisa menjadi hadiah bagi bangsa ini pada peringatan Hari Ibu tahun ini," ujar Willy.
Anggota Majelis Musyawarah Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Nur Rofiah mengungkapkan, Islam sebagai satu sistem ajaran memiliki landasan moral yang mengacu pada nilai dan prinsip kebajikan universal seperti keadilan, kemanusiaan, kemaslahatan, untuk menyempurnakan akhlak mulia manusia, termasuk pada perempuan. Karena itu, ujarnya, hasil Musyawarah KUPI pertama antara lain menyepakati bahwa hukum melakukan kekerasan seksual, baik di dalam dan di luar perkawinan adalah haram.
Di sisi lain, jelas Nur Rofiah, negara sebagai ulil amri wajib memberikan perlindungan sistemik mulai dari pencegahan, penghukuman, perlindungan hingga pemulihan korban dan rehabilitasi pelaku. Selain itu, tambahnya, tindakan pemimpin kepada rakyat harus berorientasi pada kemaslahatan. Nur Rofiah berpendapat, kehati-hatian dan kejelasan norma perlu dikedepankan agar tidak terbuka pintu multitafsir dan penyalahgunaan dalam implementasi, apabila RUU PKS sudah disahkan.
"KUPI meyakini anggota DPR, dengan kearifan dan kenegarawanannya mampu menghadirkan UU PKS yang adil dan solutif sebagai wujud dari komitmen kebangsaan dan kemanusiaan yang memberi perlindungan kepada segenap warga bangsa dari kekerasan seksual, khususnya kelompok dhuafa (lemah) dan mustadh’afin (terlemahkan secara struktural)," ujar Nur Rofiah.
Ketua Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia/Pemerhati Isu Gender, Endah Triastuti mengungkapkan dalam proses mewujudkan UU PKS diwarnai gerakan penolakan yang masif.
Gerakan penolakan RUU PKS itu, jelas Endah, ditopang adanya framing sejumlah media digital dan gerakan sejumlah institusi yang gencar menyuarakan penolakan RUU PKS. Media digital, menurut Endah, dengan segala proses sosial yang mengikutinya membentuk persepsi banyak orang. Sehingga gerakan-gerakan tersebut, jelasnya, menjadi kontraproduktif terhadap berbagai upaya dalam pengesahan RUU PKS hingga saat ini. Aktivis dari Lembaga Pemberdayaan Perempuan (LPP) Sekar, Jepara, Khomsanah menceritakan pengalamannya dalam mendampingi korban kekerasan seksual di daerahnya.
Menurut Khomsanah, karena keterbatasan jangkauan hukum dari undang-undang yang ada saat ini, aparat di lapangan hanya menangani kasus kekerasan seksual sekadar memenuhi legal formal saja, tanpa mampu menuntaskan kasus tersebut. Kondisi tersebut, jelas Khomsanah, menuntut segera pengesahan UU PKS agar para korban kekerasan seksual mendapatkan hak perlindungan dari tindak kekerasan dan rasa aman sebagai warga negara.
Hakim Pengadilan Tinggi Bali, Ihat Subihat menilai makna frase kekerasan adalah dilakukan sepihak dengan pemaksaan, jadi upaya kriminalisasi terhadap rumusan delik yang diurai dalam definisi RUU tentang kekerasan seksual memudahkan hakim dalam merumuskan fakta persidangan. Karena seringkali terjadi, jelas Ihat, kasus kekerasan seksual bila dianggap tidak dilakukan dengan kekerasan, tidak bisa dijatuhi pidana dan bukan perbuatan melawan hukum.
Menurut Ihat, pada kondisi saat ini sejumlah fakta persidangan perlu diidentifikasi dengan benar seperti antara lain ketidaksetaraan status sosial para pihak yang berperkara, adanya diskriminasi, dampak psikis yang dialami korban, dan relasi kuasa yang menyebabkan korban/saksi tidak berdaya.
Lihat Juga: Prabowo Ajukan RUU Perampasan Aset Masuk Prolegnas, Pengamat: Bukti Serius Lawan Korupsi
"Perjuangan merealisasikan UU Penghapusan Kekerasan Seksual saat ini berada di pundak dan menjadi tanggung jawab para legislator dari seluruh partai yang ada di parlemen," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (Mewujudkan Kebijakan Berbasis Bukti dalam Proses Legislasi) yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (28/7/2021).
Dalam diskusi yang dimoderatori Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI Arimbi Heroepoetri itu, hadir Wakil Ketua Baleg DPR RI Periode 2019 – 2024 Willy Aditya, Kongres Ulama Perempuan Indonesia Nur Rofiah, Bil, Uzm, danKetua Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia/Pemerhati Isu Gender Endah Triastuti, Hakim Pengadilan Tinggi Bali Ihat Subihat dan LPP Sekar Jepara Khomsanah sebagai narasumber. Selain itu hadir pula Tenaga Ahli Pimpinan MPR/Pegiat Disabilitas Anggiasari Puji Aryatie.
Menurut Lestari, kehadiran UU Penghapusan Kekerasan Seksual (UU PKS) merupakan salah satu cara negara ini memberi tempat yang layak terhadap nilai-nilai kemanusiaan bagi anak bangsa. Mewujudkan UU PKS, jelas Rerie, sapaan akrab Lestari, juga merupakan bagian dari perjuangan bangsa ini untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang paripurna.
Anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem itu berharap, para legislator di gedung parlemen menggunakan semua saluran politik yang ada dalam mengatasi berbagai hambatan dan menghilangkan sekat-sekat golongan, untuk membangun political will yang kuat mewujudkan UU PKS.
Wakil Ketua Badan Legislatif DPR RI, Willy Aditya mengungkapkan, yang terjadi dalam pembahasan RUU PKS saat ini adalah benturan ideologi dan cara pandang dari sejumlah pihak. Pihak- pihak yang berbeda pandangan itu, jelas Willy, sama-sama beralasan ingin memuliakan perempuan dan anak. Namun, jelasnya, masih ada pihak-pihak yang mempersoalkan sejumlah terminologi dan aspek sosial budaya dalam pasal-pasal RUU PKS tersebut.
Willy berharap sejumlah perspektif yang berbeda dalam pembahasan RUU PKS dapat diatasi lewat dialog yang intensif dan fakta-fakta di lapangan terkait maraknya kekerasan seksual secara digital misalnya yang meningkat 300%, diharapkan membuka mata sejumlah pihak yang menentang kehadiran UU PKS ini. "Mudah-mudahan pada 18 Agustus 2021, Baleg bisa mempresentasikan naskah RUU PKS yang telah disusun dan UU PKS bisa menjadi hadiah bagi bangsa ini pada peringatan Hari Ibu tahun ini," ujar Willy.
Anggota Majelis Musyawarah Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Nur Rofiah mengungkapkan, Islam sebagai satu sistem ajaran memiliki landasan moral yang mengacu pada nilai dan prinsip kebajikan universal seperti keadilan, kemanusiaan, kemaslahatan, untuk menyempurnakan akhlak mulia manusia, termasuk pada perempuan. Karena itu, ujarnya, hasil Musyawarah KUPI pertama antara lain menyepakati bahwa hukum melakukan kekerasan seksual, baik di dalam dan di luar perkawinan adalah haram.
Di sisi lain, jelas Nur Rofiah, negara sebagai ulil amri wajib memberikan perlindungan sistemik mulai dari pencegahan, penghukuman, perlindungan hingga pemulihan korban dan rehabilitasi pelaku. Selain itu, tambahnya, tindakan pemimpin kepada rakyat harus berorientasi pada kemaslahatan. Nur Rofiah berpendapat, kehati-hatian dan kejelasan norma perlu dikedepankan agar tidak terbuka pintu multitafsir dan penyalahgunaan dalam implementasi, apabila RUU PKS sudah disahkan.
"KUPI meyakini anggota DPR, dengan kearifan dan kenegarawanannya mampu menghadirkan UU PKS yang adil dan solutif sebagai wujud dari komitmen kebangsaan dan kemanusiaan yang memberi perlindungan kepada segenap warga bangsa dari kekerasan seksual, khususnya kelompok dhuafa (lemah) dan mustadh’afin (terlemahkan secara struktural)," ujar Nur Rofiah.
Ketua Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia/Pemerhati Isu Gender, Endah Triastuti mengungkapkan dalam proses mewujudkan UU PKS diwarnai gerakan penolakan yang masif.
Gerakan penolakan RUU PKS itu, jelas Endah, ditopang adanya framing sejumlah media digital dan gerakan sejumlah institusi yang gencar menyuarakan penolakan RUU PKS. Media digital, menurut Endah, dengan segala proses sosial yang mengikutinya membentuk persepsi banyak orang. Sehingga gerakan-gerakan tersebut, jelasnya, menjadi kontraproduktif terhadap berbagai upaya dalam pengesahan RUU PKS hingga saat ini. Aktivis dari Lembaga Pemberdayaan Perempuan (LPP) Sekar, Jepara, Khomsanah menceritakan pengalamannya dalam mendampingi korban kekerasan seksual di daerahnya.
Menurut Khomsanah, karena keterbatasan jangkauan hukum dari undang-undang yang ada saat ini, aparat di lapangan hanya menangani kasus kekerasan seksual sekadar memenuhi legal formal saja, tanpa mampu menuntaskan kasus tersebut. Kondisi tersebut, jelas Khomsanah, menuntut segera pengesahan UU PKS agar para korban kekerasan seksual mendapatkan hak perlindungan dari tindak kekerasan dan rasa aman sebagai warga negara.
Hakim Pengadilan Tinggi Bali, Ihat Subihat menilai makna frase kekerasan adalah dilakukan sepihak dengan pemaksaan, jadi upaya kriminalisasi terhadap rumusan delik yang diurai dalam definisi RUU tentang kekerasan seksual memudahkan hakim dalam merumuskan fakta persidangan. Karena seringkali terjadi, jelas Ihat, kasus kekerasan seksual bila dianggap tidak dilakukan dengan kekerasan, tidak bisa dijatuhi pidana dan bukan perbuatan melawan hukum.
Menurut Ihat, pada kondisi saat ini sejumlah fakta persidangan perlu diidentifikasi dengan benar seperti antara lain ketidaksetaraan status sosial para pihak yang berperkara, adanya diskriminasi, dampak psikis yang dialami korban, dan relasi kuasa yang menyebabkan korban/saksi tidak berdaya.
Lihat Juga: Prabowo Ajukan RUU Perampasan Aset Masuk Prolegnas, Pengamat: Bukti Serius Lawan Korupsi
(cip)