Dokter Muda yang Tak Lelah Mengedukasi Masyarakat dan Tangkal Hoaks Covid-19
loading...
A
A
A
Dia menambahkan, pelaku penyebar hoaks, selain pintar membuat hoaks, memancing logika yang membangkitkan keresahan, juga dapat memainkan emosi para pembacanya. "Jadi misalnya kondisi PPKM Darurat yang rumit seperti ini, dia bikin hoaks yang seolah-olah pro-rakyat, padahal maknanya bisa lebih dari itu dampaknya."
Kemudian masyarakat harus kritis dalam menerima sumber informasi yang diterimanya. Ketika dirasa meragukan, masyarakat dapat melakukan kroscek ulang. "Kritis juga, tanya pada diri sendiri kayaknya ini bener nggak ya, sembari mengecek sumber yang kredibel. Karena harus dipahami hoaks ini orang nyari untung, ada pihak-pihak tertentu yang memang secara profesional meningkatkan traffic pembaca," tuturnya.
"Itulah kenapa pentingnya pemahaman. Sekarang kalau misalnya kita percaya hoaks lalu keluarga kita sakit, itu kan ada tuh kemarin korbannya. Rumah sakit lagi penuh, emang orang yang nyebarin hoaks itu akan bantu kita? Nggak juga," jelas dr. Fajri.
Karena itu, dia mengingatkan kepada masyarakat agar tidak mengambil data yang hanya disukai saja, sehingga informasi yang diberikan kepada pembaca menjadi tidak utuh. Kadang kita juga jangan mengambil data yang cuma kita suka aja. Padahal itu tidak mengabarkan fakta yang sesungguhnya yang mana kita hidup dalam fakta kalau kita jatuh kita juga yang kena.
"Jadi intinya cari sumber yang kredibel juga perlu kritis. Jangan cuma sekadar logika, cari sama ahlinya atau sumber-sumber yang lain juga. Terus logikanya dipakai, ini membahayakan tidak, jangan yang aneh-aneh," harapnya.
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dr. Dwita Oktaria, M.Pd.Ked mengatakan, kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap hoaks Covid-19 ini dilatarbelakangi oleh kurangnya literasi digital dan adanya perilaku Fear Of Missing Out (FOMO).
"Memang pendidikan kita itu tidak ada kurikulum literasi digital yang mengajarkan bagaimana kita memilah, memilih sekian banyak informasi yang ada di media digital. Sehingga kita belum melek literasi digital," ucapnya.
Dia pun bercerita saat dirinya mengobati pasien, banyak orang yang mempercayai informasi hoaks seperti jika batuk dan flu tidak boleh tes PCR karena nanti hasilnya akan positif. "Ya mungkin hasilnya memang positif, jadi bukan karena batuk dan pilek terus jadi positif. Tetapi ia memang positif karena terpapar virus Covid-19. Ada juga kok batuk dan pilek tapi tidak positif."
Selanjutnya, mengenai pemberian obat-obatan pada self treatment, pasien saling membanding-bandingkan antara obat pasien yang satu dengan pasien. Pada akhirnya pasien memutuskan obat dirinya sama dengan yang lain. "Padahal kondisinya berbeda antara satu pasien dengan pasien lain. Jadi misalnya kalau mau berobat percayakanlah fasilitas layanan kesehatan, jangan berdasarkan apa kata orang," jelasnya.
Ia juga menyampaikan bahwa masyarakat saat ini masih termakan hoaks mengenai vaksinasi dan pada akhirnya enggan divaksin. "Banyak dari mereka yang masih tidak mau divaksin karena beranggapan setelah vaksin ada yang meninggal, ada ini, ada itu. Padahal jika kita melihat negara lain sudah pada lepas masker karena mereka cepat dan vaksinnya juga tinggi. Ayo sama-sama kita sukseskan kalau ada program vaksin terdekat di rumah kita, ya udah itulah vaksin terbaik untuk diri kita saat ini, jadi kita nggak usah mikir panjang dan lain-lain sih itu."
Kemudian masyarakat harus kritis dalam menerima sumber informasi yang diterimanya. Ketika dirasa meragukan, masyarakat dapat melakukan kroscek ulang. "Kritis juga, tanya pada diri sendiri kayaknya ini bener nggak ya, sembari mengecek sumber yang kredibel. Karena harus dipahami hoaks ini orang nyari untung, ada pihak-pihak tertentu yang memang secara profesional meningkatkan traffic pembaca," tuturnya.
"Itulah kenapa pentingnya pemahaman. Sekarang kalau misalnya kita percaya hoaks lalu keluarga kita sakit, itu kan ada tuh kemarin korbannya. Rumah sakit lagi penuh, emang orang yang nyebarin hoaks itu akan bantu kita? Nggak juga," jelas dr. Fajri.
Karena itu, dia mengingatkan kepada masyarakat agar tidak mengambil data yang hanya disukai saja, sehingga informasi yang diberikan kepada pembaca menjadi tidak utuh. Kadang kita juga jangan mengambil data yang cuma kita suka aja. Padahal itu tidak mengabarkan fakta yang sesungguhnya yang mana kita hidup dalam fakta kalau kita jatuh kita juga yang kena.
"Jadi intinya cari sumber yang kredibel juga perlu kritis. Jangan cuma sekadar logika, cari sama ahlinya atau sumber-sumber yang lain juga. Terus logikanya dipakai, ini membahayakan tidak, jangan yang aneh-aneh," harapnya.
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dr. Dwita Oktaria, M.Pd.Ked mengatakan, kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap hoaks Covid-19 ini dilatarbelakangi oleh kurangnya literasi digital dan adanya perilaku Fear Of Missing Out (FOMO).
"Memang pendidikan kita itu tidak ada kurikulum literasi digital yang mengajarkan bagaimana kita memilah, memilih sekian banyak informasi yang ada di media digital. Sehingga kita belum melek literasi digital," ucapnya.
Dia pun bercerita saat dirinya mengobati pasien, banyak orang yang mempercayai informasi hoaks seperti jika batuk dan flu tidak boleh tes PCR karena nanti hasilnya akan positif. "Ya mungkin hasilnya memang positif, jadi bukan karena batuk dan pilek terus jadi positif. Tetapi ia memang positif karena terpapar virus Covid-19. Ada juga kok batuk dan pilek tapi tidak positif."
Selanjutnya, mengenai pemberian obat-obatan pada self treatment, pasien saling membanding-bandingkan antara obat pasien yang satu dengan pasien. Pada akhirnya pasien memutuskan obat dirinya sama dengan yang lain. "Padahal kondisinya berbeda antara satu pasien dengan pasien lain. Jadi misalnya kalau mau berobat percayakanlah fasilitas layanan kesehatan, jangan berdasarkan apa kata orang," jelasnya.
Ia juga menyampaikan bahwa masyarakat saat ini masih termakan hoaks mengenai vaksinasi dan pada akhirnya enggan divaksin. "Banyak dari mereka yang masih tidak mau divaksin karena beranggapan setelah vaksin ada yang meninggal, ada ini, ada itu. Padahal jika kita melihat negara lain sudah pada lepas masker karena mereka cepat dan vaksinnya juga tinggi. Ayo sama-sama kita sukseskan kalau ada program vaksin terdekat di rumah kita, ya udah itulah vaksin terbaik untuk diri kita saat ini, jadi kita nggak usah mikir panjang dan lain-lain sih itu."