Dokter Muda yang Tak Lelah Mengedukasi Masyarakat dan Tangkal Hoaks Covid-19

Rabu, 21 Juli 2021 - 13:21 WIB
loading...
Dokter Muda yang Tak...
Hoaks tentang Covid-19 begitu mudah tersebar. Masyarakat diingatkan jangan sampai termakan hoaks. Ilustrasi/Dok SINDOnews
A A A
JAKARTA - Sejumlah dokter muda tak kenal lelah memberikan edukasi kepada masyarakat tentang Covid-19 dan juga menangkal hoaks Covid-19 . Mereka sangat aktif di media sosial (medsos) dan bahkan kerap diundang tampil di berbagai media.

Di antara para dokter muda tersebut, ada nama dr. Tirta . Dokter nyentrik ini kerap mendapat sorotan warganet. Ia sangat aktif mengedukasi bahaya Covid-19 dan pentingnya menerapkan protokol kesehatan di akun media sosialnya. Tak hanya melalui media sosial, Tirta bahkan juga melakukan edukasi langsung ke masyarakat sejak awal. Tirta selalu menggaungkan optimisme bahwa Indonesia bisa melawan Covid-19 .

Selain Tirta, ada dr. Gia Pratama. Dia merupakan dokter yang juga berprofesi sebagai penulis, tak pernah absen untuk mengedukasi masyarakat luas tentang Covid-19. Pria kelahiran Jakarta, 31 Agustus 1985 ini aktif memberikan wejangan di akun Instagram dan Twitter pribadinya. Sedari awal kemunculan virus ini di Indonesia, Gia sudah mengingatkan pentingnya mencuci tangan dan mengonsumsi makanan bergizi.

Berikutnya adalah dr. Jaka Pradipta. Dokter spesialis paru ini juga aktif memberikan penjelasan sebagai edukasi Covid-19. Di laman Twitter pribadinya, dokter yang memiliki 51 ribu pengikut Twitter ini pernah membuat utas dan menjelaskan mengenai seseorang yang positif Covid-19 namun dinyatakan sembuh tanpa swab ulang.



Menurutnya, memang benar apabila saat ini pasien Covid-19 dapat dikatakan sembuh jika telah menyelesaikan isolasi selama 10 hari dan bebas gejala selama 3 hari. Kebijakan ini juga sudah dikeluarkan WHO sejak Mei tahun lalu. Jaka kemudian menggambarkan sebuah hasil penelitian yang menunjukkan penularan virus antar manusia terjadi ketika memasuki hari ke-5 pada pasien dengan gejala. Setelah hari ke-7, virus terdeteksi sudah tidak aktif lagi. Tak lupa, ia mengingatkan bahwa evaluasi hasil kesembuhan setelah selesai isolasi harus dilakukan oleh dokter dan dibuatkan surat pernyataan sehat.

Kemudian, ada nama dr. Andi Khomeini Takdir. Aktif di media sosial Twitter, Andi Khomeini Takdir juga rutin memberikan informasi terkait Covid-19. Salah satunya, ia memberikan manfaat berjemur demi menghalau infeksi virus ini. Kegiatan berjemur baiknya dilakukan selama 30–60 menit dengan manfaat mampu mengaktifkan vitamin D. Masyarakat juga harus mengonsumsi makanan dan minuman bergizi seperti ikan, telur, susu, dan yoghurt.

Menyoroti angka pertambahan pasien Covid-19 yang mencapai 40.000 orang per hari, Andi tegas mengatakan bahwa upaya pencegahan harus terus digenjot. Jika tindak pencegahan tidak maksimal, maka fasilitas kesehatan yang ada juga akan kelabakan dan akhirnya ambrol.

Berikutnya, dr. Andri. Memiliki sekitar 80 ribu pengikut di Twitter, dokter muda yang juga psikiater ini kerap mengedukasi followers-nya tentang Covid-19. Termasuk, tips saat seorang pasien positif Covid-19 dengan gejala ringan yang melakukan isolasi mandiri.

Ia memaparkan, pasien yang sedang isoman membutuhkan vitamin C, vitamin D, vitamin E, obat penurun demam, obat batuk dan meminum air jahe merah. Dirinya menggarisbawahi, mengonsumsi makanan dengaan protein tinggi juga amat dibutuhkan.

Untuk pasien yang hilang penciuman, pemilik akun Twitter @mbahndi ini memberikan saran untuk menggunakan jahe merah atau minyak kayu putih untuk melatih penciuman agar kembali normal. Makanan tinggi protein seperti telur dan ikan lebih baik, dibanding dengan makanan tinggi kalori. Tak lupa, ia mengingatkan untuk berjemur di bawah sinar matahari.

Jangan Gampang Termakan Hoaks
Saat berbincang dengan MPI, Dokter Tirta juga bersuara tentang pernyataan Lois Owien yang berlatar belakang dokter, yang menyebut pasien Covid-19 yang meninggal dunia bukan dikarenakan serangan virus SARS-CoV2, melainkan interaksi antar-obat. Lois menilai pemberian obat oleh dokter ke pasien Covid-19 dapat memperparah kondisi kesehatan mereka hingga akhirnya meninggal dunia.

"Pernyataan Lois akhirnya buat orang-orang takut sama rumah sakit (RS), itu sebenarnya nggak bisa dibenarkan statementnya itu. Hoaks lainya berupa vitamin C yang diminum 1 gram tiap 3 jam, susu menyembuhkan Covid, air kelapa menyembuhkan Covid, uap panas menyembuhkan Covid, vaksin memiliki microchip, vaksin itu menyebabkan mutasi, wah itu ngawur semua itu," ujar Tirta Mandira Hudhi yang akrab disapa dr Tirta saat dihubungi MPI, Senin (19/7/2021).



Menurut Tirta, cara menangkal hoaks Covid-19 sebenarnya adalah pekerjaan rumah dari tiga pihak yaitu pemerintah, masyarakat, dan tenaga kesehatan (nakes) di Indonesia. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus lebih tegas untuk membasmi hoaks dan memberikan efek jera.

"Hoaks seperti ini terakhir Lois Owien. Kelak akan muncul Lois-Lois yang lain. Jadi alangkah lebih baik pemerintah juga harus tegas membasmi hoaks. Di Indonesia ini Covid-19 nggak selesai karena ada penyebaran hoaks. Hoaks ini kayak gulma, potong satu tumbuh seribu, karena ketidaktegasan dari regulator," urai influencer kesehatan ini.

Tirta juga meminta agar masyarakat hanya mempercayai informasi yang diterbitkan dari Kementerian atau institusi resmi di Indonesia. "Jangan termakan provokasi karena banyak orang yang ingin memanfaatkan situasi apalagi lewat broadcast-an grup yang akhirnya tidak bisa didipastikan. Walaupun itu sebenarnya mencatut nama saya, itu tetap tidak boleh, harus dipastikan dulu lihat dari medsos yang terkait," ujarnya.

Dia juga mengajak agar para tenaga kesehatan (nakes) untuk terus menyosialisasikan informasi berdasarkan fakta melalui informasi yang dikemas seatraktif dan semenarik mungkin untuk dibaca masyarakat. "Nakes dapat terus menggunakan komunikasi yang atraktif dan menarik sehingga bisa dipercaya oleh masyarakat dengan baik," jelasnya.

Sementara itu, dokter sekaligus influencer kesehatan, dr. Muhamad Fajri AddaI mengatakan, serangan hoaks mengenai Covid-19 dapat dicegah bila masyarakat melakukan cek sumber, berpikir kritis, dan bertanya kepada ahlinya. "Nomor satu baca dulu sumbernya, misalnya dari sumber yang kredibel, itu dulu. Sumber ini menjadi penentu. Kalau sumbernya udah nggak jelas, cuma forward WhatsApp, susah nanti," ucapnya.



Dia menambahkan, pelaku penyebar hoaks, selain pintar membuat hoaks, memancing logika yang membangkitkan keresahan, juga dapat memainkan emosi para pembacanya. "Jadi misalnya kondisi PPKM Darurat yang rumit seperti ini, dia bikin hoaks yang seolah-olah pro-rakyat, padahal maknanya bisa lebih dari itu dampaknya."

Kemudian masyarakat harus kritis dalam menerima sumber informasi yang diterimanya. Ketika dirasa meragukan, masyarakat dapat melakukan kroscek ulang. "Kritis juga, tanya pada diri sendiri kayaknya ini bener nggak ya, sembari mengecek sumber yang kredibel. Karena harus dipahami hoaks ini orang nyari untung, ada pihak-pihak tertentu yang memang secara profesional meningkatkan traffic pembaca," tuturnya.

"Itulah kenapa pentingnya pemahaman. Sekarang kalau misalnya kita percaya hoaks lalu keluarga kita sakit, itu kan ada tuh kemarin korbannya. Rumah sakit lagi penuh, emang orang yang nyebarin hoaks itu akan bantu kita? Nggak juga," jelas dr. Fajri.

Karena itu, dia mengingatkan kepada masyarakat agar tidak mengambil data yang hanya disukai saja, sehingga informasi yang diberikan kepada pembaca menjadi tidak utuh. Kadang kita juga jangan mengambil data yang cuma kita suka aja. Padahal itu tidak mengabarkan fakta yang sesungguhnya yang mana kita hidup dalam fakta kalau kita jatuh kita juga yang kena.

"Jadi intinya cari sumber yang kredibel juga perlu kritis. Jangan cuma sekadar logika, cari sama ahlinya atau sumber-sumber yang lain juga. Terus logikanya dipakai, ini membahayakan tidak, jangan yang aneh-aneh," harapnya.

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dr. Dwita Oktaria, M.Pd.Ked mengatakan, kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap hoaks Covid-19 ini dilatarbelakangi oleh kurangnya literasi digital dan adanya perilaku Fear Of Missing Out (FOMO).

"Memang pendidikan kita itu tidak ada kurikulum literasi digital yang mengajarkan bagaimana kita memilah, memilih sekian banyak informasi yang ada di media digital. Sehingga kita belum melek literasi digital," ucapnya.

Dia pun bercerita saat dirinya mengobati pasien, banyak orang yang mempercayai informasi hoaks seperti jika batuk dan flu tidak boleh tes PCR karena nanti hasilnya akan positif. "Ya mungkin hasilnya memang positif, jadi bukan karena batuk dan pilek terus jadi positif. Tetapi ia memang positif karena terpapar virus Covid-19. Ada juga kok batuk dan pilek tapi tidak positif."

Selanjutnya, mengenai pemberian obat-obatan pada self treatment, pasien saling membanding-bandingkan antara obat pasien yang satu dengan pasien. Pada akhirnya pasien memutuskan obat dirinya sama dengan yang lain. "Padahal kondisinya berbeda antara satu pasien dengan pasien lain. Jadi misalnya kalau mau berobat percayakanlah fasilitas layanan kesehatan, jangan berdasarkan apa kata orang," jelasnya.

Ia juga menyampaikan bahwa masyarakat saat ini masih termakan hoaks mengenai vaksinasi dan pada akhirnya enggan divaksin. "Banyak dari mereka yang masih tidak mau divaksin karena beranggapan setelah vaksin ada yang meninggal, ada ini, ada itu. Padahal jika kita melihat negara lain sudah pada lepas masker karena mereka cepat dan vaksinnya juga tinggi. Ayo sama-sama kita sukseskan kalau ada program vaksin terdekat di rumah kita, ya udah itulah vaksin terbaik untuk diri kita saat ini, jadi kita nggak usah mikir panjang dan lain-lain sih itu."

Permasalahannya, masyarakat Indonesia khususnya para milenial juga mengidap perilaku FOMO, yaitu adanya kekhawatiran berlebihan jika tertinggal dengan tren yang ada. Hal ini menyebabkan tingginya penyebaran informasi hoaks tanpa diketahui kebenarannya terlebih dahulu.

"Saat ini banyak sekali orang yang memiliki smartphone, ada euforia FOMO, jadi misalnya kalau mereka men-share sesuatu terus dianggap tahu segalanya, dia merasa dirinya penting untuk perannya. Perasaan ini membawa dirinya merasa eksis dengan mengetahui informasi-informasi, padahal belum tahu itu benar atau salah," urai Dwita.

Dwita melihat masyarakat Indonesia lebih senang untuk mendengar apa yang dikatakan orang lain daripada membaca, mencari tahu sendiri serta berpikir karena keduanya merupakan hal yang berbeda. Menurutnya, ketika seseorang menyaring informasi dan akhirnya berpikir bahwa hal tersebut benar atau tidak, akan membutuhkan tingkat pemikiran yang lebih tinggi dibandingkan hanya membaca kemudian dan langsung share tanpa berpikir dua kali.

"Jadi kemampuan untuk berpikir lebih dalam dan lebih lanjut ini tampaknya belum ada di masyarakat. Gampang sekali terpengaruh informasi yang belum benar karena banyaknya informasi yang belum benar beredar jadinya seolah-olah itu Jadi benar," jelasnya.

Karena itu, menurut Dwita, setidaknya ada tiga hal guna menghindari berita hoaks. Pertama, apakah dari sumber yang jelas termasuk dari penulis yang memiliki kompetensi untuk berbicara hal tersebut. Lalu, alamat website harus merupakan media arus utama yaitu media-media yang memang tepercaya dan informasinya kredibel selama ini.

"Apakah berita itu benar atau tidak, kita bisa kroscek dulu jika memang beberapa media yang utama, sudah memiliki nama untuk memberitakan hal tersebut itu bisa jadi suatu informasi yang kita percaya. Tapi kalau misalnya itu dari blog-blog nggak jelas, patut dicurigai ini kira-kira informasi belum tepat kebenarannya," urainya.



Kedua, berpikir terlebih dahulu sebelum membagikan informasi. Alangkah lebih baik jika informasi yang dibagikan dapat bermanfaat bagi orang lain. Ketiga, setelah melihat sumber dan website-nya benar namun masih ragu terhadap informasi yang diberikan, ada baiknya dapat ditanyakan langsung kepada ahlinya misalnya bertanya ke dokter untuk info terkait Covid-19.

"Atau misalnya tidak ada kenalan dokter, ada banyak layanan telemedicine yang sudah disediakan pemerintah atau media-media sosial dari Kemenkes, WHO dan lain-lain. Sebenarnya banyak sekali informasi dari sumber yang tepercaya dan merupakan portal resmi dari suatu lembaga tertentu," tambahnya.

Pada proses edukasi menangkal hoaks Covid-19, lanjutnya, memang harus dilakukan oleh para dokter dan dilakukan secara terus-menerus karena membutuhkan waktu dalam proses mengonstruksi sekelompok masyarakat.

"Memang tugas kita (dokter) orang-orang inilah yang meluruskan, jadi harapannya dengan banyaknya informasi yang membanjiri masyarakat sesuai fakta dan akhirnya akan ter-brainwash lagi dengan informasi yang benar. Untuk menghilangkan informasi yang salah itu memang harus terus-menerus, karena perilaku tidak bisa (diubah) sehari-dua hari, jadi ini memang PR banget buat bangsa kita yang gampang kemakan hoaks."

Ajeng Wirachmi/Litbang MPI/Widya Michella Nur Syahida
(zik)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1547 seconds (0.1#10.140)