Keterkejutan Sosial

Senin, 19 Juli 2021 - 11:55 WIB
loading...
Keterkejutan Sosial
Foto/Istimewa
A A A
Shamsi Ali
Putra Kajang/Penduduk New York

Manusia itu lemah dan terbatas. Lemah dan terbatas dalam fisiknya, akalnya, imajinasinya. Bahkan terbatas dalam ajalnya, bukan? Yang benar dan baik terkadang dilihat salah dan buruk. Dan terkadang juga sebaliknya.

Salah satu kelemahan dahsyat manusia adalah terombang-ombing oleh tiupan angin keadaan sekitarnya. Jika angin meniup sepoi-sepoi dia pun hanyut dalam kesenangan yang sangat. Tapi jika angin bertiup kencang. dia pun goncang segoncang-goncangnya. Seolah langit segera roboh. Dunia bagaikan segera hancur berkeping.

Manusia yang ditentukan dan terhanyut oleh keadaan sesaat itu biasanya dikenal dalam dunia ilmu jiwa dengan manusia yang mengalami keterkejutan sosial. Bahasa kampung saya menyebutnya dengan "social sock".

Jika keterkejutan itu ada kaitannya dengan budaya disebut “cultural shock”. Tapi Jika itu kaitannya dengan mentalitas atau suasana kejiawaan disebut “psychological shock”. Tapi keduanya jatuh di bawah kategori “social shock” atau keterkejutan sosial tadi.

Baik cultural shock maupun mental shock merupakan “undetected sickness” (penyakit tak terdeteksi) atau penyakit yang tidak disadari yang kerap menimpa manusia. Penyakit ini membawa konsekwensi yang tidak kecil dalam kehidupan manusia. Baik pada tataran individu. Lebih-lebih lagi pada tatanan komunal (Komunitas atau publik).

Dalam situasi dunia yang serba kompetitif, disadari atau tidak, semua pasti "merasa sedang berkompetisi" dengan alam sekitarnya. Berkompetisi dengan sodara, teman, bahkan sesama Muslim dan se-komunitas.

Perasaan kompetisi ini sebenarnya dalam pandangan Al-Qur'an bukan sesuatu yang asing, apalagi aneh. Karena sejatinya dalam hidup seorang Mukmin, semangat kompetisi harus selalu terbangun. Itulah yang dibahasakan oleh Al-Qur'an dengan "fastabiqul khaerat". Atau "falyatanaafisul mutanaafisuun".

Dilemanya memang ada pada:
Satu, situasi batin atau mentalitas seseorang. Kalau bisikan batinnya penuh polusi, penuh kotoran hati yang tidak perlu saya rincikan, hilang integritas karakternya. Hal itu karena kompetisi itu dianggap ancaman. Dan karenanya dia akan melakukan segala hal untuk "menang dan mengalahkan" siapa pun yang dianggap pesaingnya.

Akibatnya tumbuh rasa "insecurity". Merasa tidak aman dengan kemajuan atau prestasi, bahkan apa yang diasumsikan keberhasilan orang lain. Keberhasilan orang lain tidak akan pernah positif di matanya. Sebaliknya justeru dilihat sebagai ancaman yang mengintainya setiap saat.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1685 seconds (0.1#10.140)