Sejumlah Negara Mulai Berdamai dengan Corona
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pandemi Covid-19 yang berkepanjangan membuat masyarakat dunia kini hidup berdampingan dengan corona. Beberapa negara yang kasus penularannya sudah mulai menurun bahkan kini telah berdamai dengan virus yang bermula dari Wuhan, China , itu.
Fakta terkini bisa terlihat dari meriahnya pergelaran Piala Eropa yang baru saja berlalu. Di saat situasi dai dalam negeri sedang tinggi-tingginya kasus penyebaran Covid-19, masyarakat Eropa begitu leluasa dan bisa asyik bersama-sama menyaksikan langsung laga demi laga ajang sepakbola terakbar di Benua Biru itu.
Namun demikian, untuk hidup berdampingan dengan korona tentu saja Itu tidak bisa semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan kerja keras dan dana besar untuk mewujudkannya.
Di Inggris, perdana menteri (PM) Boris Johnson akan memberlakukan aturan pencabutan pemakaian masker, kontak sosial dan bekerja dari rumah pada 19 Juli mendatang. Johnson menyarankan warganya untuk hidup berdampingan dengan virus korona dengan tetap mengutamakan pencegahan.
Dia juga meminta warganya untuk tetap berhati-hati dan melatih diri membuat keputusan mengenai kehidupan. Kebijakan itu diambil setelah Inggris telah melakukan vaksinasi 86% penduduk dewasa.
Singapura juga mulai mewacanakan pandemi corona bisa dianggap seperti influenza dan penyakit lainnya sehingga akan membebaskan warganya beraktivitas dan mencabut aturan lockdown. Pemimpin gugus tugas Covid-19 Singapura menyiapkan negara itu untuk hidup normal dengan virus corona yang masih terus ada. Pemerintah juga direncanakan akan menghentikan penghitungan kasus positif corona.
Berbeda dengan Inggris, Menteri Kesehatan Singapura Ong Ye Kung, menyakinkan bahwa masker akan tetap menjadi hal utama dalam kehidupan normal di negara tersebut. Dia juga menyebutkan vaksinasi akan tetap menjadi kewajiban bagi setiap warga. Singapura menyatakan seluruh warga negara sudah berstatus mendapatkan vaksin per 9 Agustus mendatang.
Di Amerika Serikat (AS), masyarakat di sana pun merayakan pesta hari kemerdekaan 4 Juli lalu dengan penuh kemeriahan. Banyak warga hadir dalam pesta tanpa mengenakan masker saat pesta di beberapa kota besar, termasuk New York hingga Los Angeles.
Presiden AS Joe Biden pun sudah meminta warga untuk melepas masker karena Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) tidak lagi merekomendasikan penggunaan masker bagi warga yang sudah mendapatkan dua dosis vaksin korona.
Diketahui, sebanyak 47,9% penduduk AS sudah mendapatkan vaksin. Biden menyebut AS telah meraih kemenangan besar dalam perang melawan Covid-19. Dia pun meminta sebagian warganya untuk melakukan vaksinasi. AS menjadi juara pertama dalam kategori reopening progress versi Covid Resilience Ranking oleh Bloomberg dengan nilai ketahanan menjadi 76 dan prosentase warga yang sudah divaksin menapai 50,3%.
Di China, negara yang menjadi awal mula berkembangnya virus corona ternyata kini sudah menyatakan bebas dari pandemi. Negara tersebut telah menghapus lockdown dan mengizinkan warganya beraktivitas dengan normal di wilayah yang dinilai sudah aman dari pandemi. Konser musik juga sudah mulai digelar.
Wisuda di kampus juga sudah digelar dengan penuh kemeriahan. Namun, di beberapa wilayah yang masih mengalami peningkatan kasus, tetap melaksanakan lockdown secara parsial dan mewajibkan peduduk memiliki sertifikat vaksin. Dalam Covid Resilience Raking versi Bloomberg, China menempati urutan kedelapan dengan nilai 69,9 dengan tingkat vaksinasi mencapai 40,8%.
Bagaimana dengan Indonesia? Bloomberg Covid Resilience Ranking menyebutkan, Indonesia berada pada posisi ke-49 dengan nilai 48,2. Indonesia berada pada posisi buncit dari 53 negara bersama dengan Pakistan, Kolombia, India, Malaysia, Filipina, dan Argentina, yang dianalisis dalam kajian pada 27 Juni lalu. Bloomberg mencatat orang yang sudah divaksin mencapai 7,4% dengan tingkat ketegasan lockdown tercatat 69. Tingkat kapasitas penerbangan -35,5% dan tingkat mobilitas komunitas -10,8%.
Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Tjandra Yoga Aditama menyatakan, banyak negara termasuk Indonesia telah banyak belajar setelah sekitar 1,5 tahun pandemi Covid-19 berlangsung. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan pengalaman berbagai negara, pada dasarnya yang berperan penting yang menurunkan situasi epidemiologi di suatu negara ada tiga indikator.
Pertama, pembatasan kegiatan sosial atau yang disebut WHO public health and social measure (PHSM). Kedua, test, trace, and treat (3T). Ketiga, vaksinasi bagi warga negara.
Tiga indikator inilah juga sangat menentukan sebuah negara nanti bisa dan mampu berdamai dan hidup berdampingan dengan Covid-19.
"Tiga itu yang dilakukan maksimal di manapun juga di dunia ini, sehingga menghasilkan hasil yang bagus untuk negara itu. Cuman memang, kita harus mengerjakan semuanya secara bersamaan. Tidak bisa hanya PHSM saja, tidak bisa hanya dengan vaksinasi saja, tidak bisa dengan test, trace, and treat saja," ucap Tjandra saat dihubungi KORAN SINDO.
Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara yang berkedudukan di New Delhi, India ini membeberkan, tiga indikator tersebut harus dijalankan semaksimal mungkin menyikapi dan menyesuaikan keadaan yang ada agar Indonesia bisa benar-benar berhasil perang melawan pandemi Covid-19.
Tjandra menjelaskan, untuk PHSM pada dasarnya bertujuan untuk mencegah penularan Covid-19 dari orang ke orang di lingkungan sekitar. Sehingga, kemudian kampanye dan tindakan yang mulai diambil paling awal dan fundamental untuk mewujudkan PHSM adalah memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan menggunakan sabun, menghindari kerumunan, dan membatasi mobilitas.
Mantan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan ini mengungkapkan, dari sisi pelaksanan 3T memang Indonesia masih cukup lemah dan kurang maksimal.
Dia mencontohkan, misalnya ada sekitar 100 orang yang terkonfirmasi positif Covid-19 dengan sebagian ditangani atau masuk rumah sakit dan sebagian melakukan isolasi mandiri (isoman). Seharusnya yang diingat juga oleh pemerintah dan stakeholder terkait adalah selain 100 orang itu pasti ada orang yang masih berada di luar yang memiliki gejala atau tidak memiliki gejala atau tidak sempat dites.
Lantas kira-kira kapan Indonesia bisa berdamai dengan Covid-19? Tjandra menegaskan, sebelum menjawab itu maka perlu dilihat situasi di beberapa negara dan kejadian di masa awal pandemi Covid-19 di Indonesia pada Maret 2020. Di Eropa sudah tampak banyak warganya yang sudah bisa menonton Piala Eropa 2020 secara langsung di stadion. Di sisi lain, masih ada banyak negara yang juga masih menghadapi masalah seperti Indonesia.
Tjandra mengatakan, pada Maret 2020 saat suspect pertama terkonfirmasi di Indonesia kemudian ada banyak pihak baik dalam negeri maupun luar negeri yang membuat perkiraan dengan sistem yang canggih dan big data. Para pihak itu menyebutkan bahwa Indonesia akan mampu mengendalikan dan keluar dari pandemi Covid-19 pada sekitar September atau Oktober 2020. Tapi prediksi itu kemudian dievaluasi dan bergeser perkiraan menjadi November 2020. Belakangan para pihak itu tidak berani lagi melakukan evaluasi dan menyampaikan perkiraan.
"Apa yang mau saya katakan? Bahwa sangat tidak mudah untuk memperkirakan situasi Covid-19 ini di suatu negara dan juga di dunia kapan akan berhenti. Sangat tidak mudah karena ada banyak aspek yang tidak bisa diprediksi," imbuhnya.
Wakil Ketua Komisi IX DPR dari Fraksi PKB Nihayatul Wafiroh menilai, saat ini yang paling penting bagi Indonesia adalah melakukan penanganan dan penanggulangan pandemi Covid-19 di dalam negeri secara maksimal karena jumlah pasien Covid-19 terus mengalami peningkatan.
Untuk itu, Komisi IX mendesak pemerintah termasuk dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memperkuat sistem kesehatan nasional untuk meningkatkan respon kedaruratan pandemi Covid-19. Penguatan sistem itu, kata perempuan yang karib disapa Ninik ini yakni baik bagi pasien Covid-19 yang sedang ditangani atau warga yang belum dites dan ditelusuri.
"Komisi IX DPR mendesak pemerintah memperkuat sistem kesehatan nasional di tengah kedaruratan pandemi Covid-19," ujar Ninik.
Penguatan sistem kesehatan nasional itu, tutur Ninik, melalui empat tindakan. Pertama, memastikan kecukupan tempat tidur sakit, tempat tidur isolasi dan tempat tidur intensif (ICU), ventilator, oksigen, metode terapi oksigen aliran tinggi (HFNC), obat, dan alat kesehatan yang dibutuhkan, termasuk penyediaan rumah sakit lapangan/darurat.
Kedua, meningkatkan perlindungan terhadap seluruh tenaga kesehatan dan non-kesehatan yang memberikan pelayanan kepada pasien Covid-19 termasuk melalui tes PCR berkala, nutrisi, APD, jam kerja, insentif tepat waktu, dan lain-lain.
Ketiga, mempersiapkan sarana dan prasarana kesehatan di luar Pulau Jawa dan Bali menghadapi potensi lonjakan kasus Covid-19. "Mengoptimalkan tatalaksana penangan pasien Covid-19 untuk meningkatkan angka kesembuhan," ujarnya.
Koordinator Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat Jawa-Bali Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan, penanganan dan pengendalian Covid-19 di Tanah Air butuh kekompakan dan kerja sama berbagai pihak. Dia menjelaskan, selama pelaksanaan PPKM Darurat ada peningkatan kasus Covid-19 sekitar 44,51% dan kasus harian per Kamis (15/7) terdapat 56.757 kasus.
Di masa PPKM Darurat, kasus didominasi oleh varian delta yang hampir semuanya terjadi di Jawa. Berdasarkan data yang ada, varian delta ini lebih sekitar 6x lebih cepat pada PPKM Darurat. Tapi yang harus diingat, kata Luhut, bukan hanya Indonesia yang mengalami peningkatan varian delta tapi juga negara lain.
"Peningkatan kasus varian delta per 13 juli, jadi jangan kita lihat Indonesia saja. Kita bisa lihat contoh ini dari Inggris juga kena, Belanda kena, Perdana Menteri Belanda minta maaf karena dia menyetujui lepas masker beberapa waktu lalu dan sekarang naik seperti ini, eksponensial. Dan, Malaysia juga sampai saat ini. Amerika sendiri juga kenaikan luar biasa," ujar Luhut saat konferensi pers secara virtual melalui channel YouTube Kemenko Marves, Kamis (15/7).
Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) itu mengatakan, pemerintah secara serius dan maksimal melakukan berbagai upaya guna mengendalikan dan mencegah penyebaran Covid-19 di tengah masyarakat termasuk di masa penerapan PPKM Darurat. Luhut menuturkan, semua pihak harus memahami bahwa varian Delta merupakan varian Covid-19 yang tidak mudah dikendalikan.
Fakta terkini bisa terlihat dari meriahnya pergelaran Piala Eropa yang baru saja berlalu. Di saat situasi dai dalam negeri sedang tinggi-tingginya kasus penyebaran Covid-19, masyarakat Eropa begitu leluasa dan bisa asyik bersama-sama menyaksikan langsung laga demi laga ajang sepakbola terakbar di Benua Biru itu.
Namun demikian, untuk hidup berdampingan dengan korona tentu saja Itu tidak bisa semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan kerja keras dan dana besar untuk mewujudkannya.
Di Inggris, perdana menteri (PM) Boris Johnson akan memberlakukan aturan pencabutan pemakaian masker, kontak sosial dan bekerja dari rumah pada 19 Juli mendatang. Johnson menyarankan warganya untuk hidup berdampingan dengan virus korona dengan tetap mengutamakan pencegahan.
Dia juga meminta warganya untuk tetap berhati-hati dan melatih diri membuat keputusan mengenai kehidupan. Kebijakan itu diambil setelah Inggris telah melakukan vaksinasi 86% penduduk dewasa.
Singapura juga mulai mewacanakan pandemi corona bisa dianggap seperti influenza dan penyakit lainnya sehingga akan membebaskan warganya beraktivitas dan mencabut aturan lockdown. Pemimpin gugus tugas Covid-19 Singapura menyiapkan negara itu untuk hidup normal dengan virus corona yang masih terus ada. Pemerintah juga direncanakan akan menghentikan penghitungan kasus positif corona.
Berbeda dengan Inggris, Menteri Kesehatan Singapura Ong Ye Kung, menyakinkan bahwa masker akan tetap menjadi hal utama dalam kehidupan normal di negara tersebut. Dia juga menyebutkan vaksinasi akan tetap menjadi kewajiban bagi setiap warga. Singapura menyatakan seluruh warga negara sudah berstatus mendapatkan vaksin per 9 Agustus mendatang.
Di Amerika Serikat (AS), masyarakat di sana pun merayakan pesta hari kemerdekaan 4 Juli lalu dengan penuh kemeriahan. Banyak warga hadir dalam pesta tanpa mengenakan masker saat pesta di beberapa kota besar, termasuk New York hingga Los Angeles.
Presiden AS Joe Biden pun sudah meminta warga untuk melepas masker karena Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) tidak lagi merekomendasikan penggunaan masker bagi warga yang sudah mendapatkan dua dosis vaksin korona.
Diketahui, sebanyak 47,9% penduduk AS sudah mendapatkan vaksin. Biden menyebut AS telah meraih kemenangan besar dalam perang melawan Covid-19. Dia pun meminta sebagian warganya untuk melakukan vaksinasi. AS menjadi juara pertama dalam kategori reopening progress versi Covid Resilience Ranking oleh Bloomberg dengan nilai ketahanan menjadi 76 dan prosentase warga yang sudah divaksin menapai 50,3%.
Di China, negara yang menjadi awal mula berkembangnya virus corona ternyata kini sudah menyatakan bebas dari pandemi. Negara tersebut telah menghapus lockdown dan mengizinkan warganya beraktivitas dengan normal di wilayah yang dinilai sudah aman dari pandemi. Konser musik juga sudah mulai digelar.
Wisuda di kampus juga sudah digelar dengan penuh kemeriahan. Namun, di beberapa wilayah yang masih mengalami peningkatan kasus, tetap melaksanakan lockdown secara parsial dan mewajibkan peduduk memiliki sertifikat vaksin. Dalam Covid Resilience Raking versi Bloomberg, China menempati urutan kedelapan dengan nilai 69,9 dengan tingkat vaksinasi mencapai 40,8%.
Bagaimana dengan Indonesia? Bloomberg Covid Resilience Ranking menyebutkan, Indonesia berada pada posisi ke-49 dengan nilai 48,2. Indonesia berada pada posisi buncit dari 53 negara bersama dengan Pakistan, Kolombia, India, Malaysia, Filipina, dan Argentina, yang dianalisis dalam kajian pada 27 Juni lalu. Bloomberg mencatat orang yang sudah divaksin mencapai 7,4% dengan tingkat ketegasan lockdown tercatat 69. Tingkat kapasitas penerbangan -35,5% dan tingkat mobilitas komunitas -10,8%.
Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Tjandra Yoga Aditama menyatakan, banyak negara termasuk Indonesia telah banyak belajar setelah sekitar 1,5 tahun pandemi Covid-19 berlangsung. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan pengalaman berbagai negara, pada dasarnya yang berperan penting yang menurunkan situasi epidemiologi di suatu negara ada tiga indikator.
Pertama, pembatasan kegiatan sosial atau yang disebut WHO public health and social measure (PHSM). Kedua, test, trace, and treat (3T). Ketiga, vaksinasi bagi warga negara.
Tiga indikator inilah juga sangat menentukan sebuah negara nanti bisa dan mampu berdamai dan hidup berdampingan dengan Covid-19.
"Tiga itu yang dilakukan maksimal di manapun juga di dunia ini, sehingga menghasilkan hasil yang bagus untuk negara itu. Cuman memang, kita harus mengerjakan semuanya secara bersamaan. Tidak bisa hanya PHSM saja, tidak bisa hanya dengan vaksinasi saja, tidak bisa dengan test, trace, and treat saja," ucap Tjandra saat dihubungi KORAN SINDO.
Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara yang berkedudukan di New Delhi, India ini membeberkan, tiga indikator tersebut harus dijalankan semaksimal mungkin menyikapi dan menyesuaikan keadaan yang ada agar Indonesia bisa benar-benar berhasil perang melawan pandemi Covid-19.
Tjandra menjelaskan, untuk PHSM pada dasarnya bertujuan untuk mencegah penularan Covid-19 dari orang ke orang di lingkungan sekitar. Sehingga, kemudian kampanye dan tindakan yang mulai diambil paling awal dan fundamental untuk mewujudkan PHSM adalah memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan menggunakan sabun, menghindari kerumunan, dan membatasi mobilitas.
Mantan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan ini mengungkapkan, dari sisi pelaksanan 3T memang Indonesia masih cukup lemah dan kurang maksimal.
Dia mencontohkan, misalnya ada sekitar 100 orang yang terkonfirmasi positif Covid-19 dengan sebagian ditangani atau masuk rumah sakit dan sebagian melakukan isolasi mandiri (isoman). Seharusnya yang diingat juga oleh pemerintah dan stakeholder terkait adalah selain 100 orang itu pasti ada orang yang masih berada di luar yang memiliki gejala atau tidak memiliki gejala atau tidak sempat dites.
Lantas kira-kira kapan Indonesia bisa berdamai dengan Covid-19? Tjandra menegaskan, sebelum menjawab itu maka perlu dilihat situasi di beberapa negara dan kejadian di masa awal pandemi Covid-19 di Indonesia pada Maret 2020. Di Eropa sudah tampak banyak warganya yang sudah bisa menonton Piala Eropa 2020 secara langsung di stadion. Di sisi lain, masih ada banyak negara yang juga masih menghadapi masalah seperti Indonesia.
Tjandra mengatakan, pada Maret 2020 saat suspect pertama terkonfirmasi di Indonesia kemudian ada banyak pihak baik dalam negeri maupun luar negeri yang membuat perkiraan dengan sistem yang canggih dan big data. Para pihak itu menyebutkan bahwa Indonesia akan mampu mengendalikan dan keluar dari pandemi Covid-19 pada sekitar September atau Oktober 2020. Tapi prediksi itu kemudian dievaluasi dan bergeser perkiraan menjadi November 2020. Belakangan para pihak itu tidak berani lagi melakukan evaluasi dan menyampaikan perkiraan.
"Apa yang mau saya katakan? Bahwa sangat tidak mudah untuk memperkirakan situasi Covid-19 ini di suatu negara dan juga di dunia kapan akan berhenti. Sangat tidak mudah karena ada banyak aspek yang tidak bisa diprediksi," imbuhnya.
Wakil Ketua Komisi IX DPR dari Fraksi PKB Nihayatul Wafiroh menilai, saat ini yang paling penting bagi Indonesia adalah melakukan penanganan dan penanggulangan pandemi Covid-19 di dalam negeri secara maksimal karena jumlah pasien Covid-19 terus mengalami peningkatan.
Untuk itu, Komisi IX mendesak pemerintah termasuk dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memperkuat sistem kesehatan nasional untuk meningkatkan respon kedaruratan pandemi Covid-19. Penguatan sistem itu, kata perempuan yang karib disapa Ninik ini yakni baik bagi pasien Covid-19 yang sedang ditangani atau warga yang belum dites dan ditelusuri.
"Komisi IX DPR mendesak pemerintah memperkuat sistem kesehatan nasional di tengah kedaruratan pandemi Covid-19," ujar Ninik.
Penguatan sistem kesehatan nasional itu, tutur Ninik, melalui empat tindakan. Pertama, memastikan kecukupan tempat tidur sakit, tempat tidur isolasi dan tempat tidur intensif (ICU), ventilator, oksigen, metode terapi oksigen aliran tinggi (HFNC), obat, dan alat kesehatan yang dibutuhkan, termasuk penyediaan rumah sakit lapangan/darurat.
Kedua, meningkatkan perlindungan terhadap seluruh tenaga kesehatan dan non-kesehatan yang memberikan pelayanan kepada pasien Covid-19 termasuk melalui tes PCR berkala, nutrisi, APD, jam kerja, insentif tepat waktu, dan lain-lain.
Ketiga, mempersiapkan sarana dan prasarana kesehatan di luar Pulau Jawa dan Bali menghadapi potensi lonjakan kasus Covid-19. "Mengoptimalkan tatalaksana penangan pasien Covid-19 untuk meningkatkan angka kesembuhan," ujarnya.
Koordinator Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat Jawa-Bali Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan, penanganan dan pengendalian Covid-19 di Tanah Air butuh kekompakan dan kerja sama berbagai pihak. Dia menjelaskan, selama pelaksanaan PPKM Darurat ada peningkatan kasus Covid-19 sekitar 44,51% dan kasus harian per Kamis (15/7) terdapat 56.757 kasus.
Di masa PPKM Darurat, kasus didominasi oleh varian delta yang hampir semuanya terjadi di Jawa. Berdasarkan data yang ada, varian delta ini lebih sekitar 6x lebih cepat pada PPKM Darurat. Tapi yang harus diingat, kata Luhut, bukan hanya Indonesia yang mengalami peningkatan varian delta tapi juga negara lain.
"Peningkatan kasus varian delta per 13 juli, jadi jangan kita lihat Indonesia saja. Kita bisa lihat contoh ini dari Inggris juga kena, Belanda kena, Perdana Menteri Belanda minta maaf karena dia menyetujui lepas masker beberapa waktu lalu dan sekarang naik seperti ini, eksponensial. Dan, Malaysia juga sampai saat ini. Amerika sendiri juga kenaikan luar biasa," ujar Luhut saat konferensi pers secara virtual melalui channel YouTube Kemenko Marves, Kamis (15/7).
Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) itu mengatakan, pemerintah secara serius dan maksimal melakukan berbagai upaya guna mengendalikan dan mencegah penyebaran Covid-19 di tengah masyarakat termasuk di masa penerapan PPKM Darurat. Luhut menuturkan, semua pihak harus memahami bahwa varian Delta merupakan varian Covid-19 yang tidak mudah dikendalikan.
(ynt)