Klaim China di LCS Harus Dicegah Timbulkan Keretakan di ASEAN
loading...
A
A
A
China sebagai sebuah kekuatan di kawasan seyogyanya tampil menyelesaikan perselisihan-perselisihan dengan damai, sesuai dengan hukum internasional, termasuk UNCLOS. Dengan demikian China akan dihormati sebagai sebuah kekuatan yang dapat dihandalkan mendukung kawasan stabil dan damai.
Lingkungan yang stabil dan damai di wilayah sebagaimana yang diharapkan negara-negara anggota ASEAN merupakan sebuah keniscayaan.
Situasi LCS lima tahun setelah putusan Pengadilan Arbitrase Permanen PBB (Permanent Court of Arbitration/PCA) di Den Haag, Belanda, belum menunjukkan tanda-tanda ke arah para pihak yang berselisih menemukan jalan keluar yang damai.
Sebaliknya kerumitan akibat perubahan status quo telah menghadang di depan. Kerumitan itu terjadi setelah kegiatan-kegiatan China untuk mendukung klaim "sembilan garis putus-putus" yang ekspansif telah secara fundamental mengubah status quo di kawasan ini.
China sebagai salah satu pihak yang mengklaim masih melakukan aktivitas-aktivitas, terutama militerisasi kepulauan buatan yang Vietnam katakan telah menduduki wilayahnya di kepulauan Spratly secara ilegal. Pihak-pihak lain yang turut mengklaim sebagian wilayah LCS ialah Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam dan Taiwan.
Para pengamat mengatakan peningkatan aktivitas dan kehadiran militer China di LCS berpotensi mengancam stabilitas, kebebasan maritim internasional dan keamanan kawasan.
Setelah proses tiga tahun pengajuan kasus oleh Filipina, PCA memutuskan pada 12 Juli 2016 mengabulkan gugatan Filipina atas wilayah di LCS yang dklaimnya dan tidak mengakui sembilan garis putus-putus, atau dikenal juga sebagai garis-garis berbentuk U dari China.
Dalam amar putusan setebal 497 halaman, Mahkamah menyatakan klaim China tersebut tidak memiliki dasar hukum, dan menolak hak sejarah dari China di LCS.
Keputusan itu juga menjelaskan bahwa pulau buatan China di atas terumbu karang di kawasan itu tidak dapat dianggap sebagai zona ekonomi eksklusif (EEZ) 200 mil dan wilayah perairan 12 mil karena ketakmampuan menyangga kehidupan manusia di pulau buatan dan tak memenuhi syarat-syarat sebagai EEZ dan landasan kontinen sesuai dengan hukum internasional.
Selain itu, putusan Mahkamah juga menekankan kekuatan patroli China bisa berbahaya bila ditabrak kapal nelayan. Pembangunan dan pengoperasian China menyebabkan kerusakan yang idak dapat dipulihkan pada terumbu karang di LCS.
Lingkungan yang stabil dan damai di wilayah sebagaimana yang diharapkan negara-negara anggota ASEAN merupakan sebuah keniscayaan.
Situasi LCS lima tahun setelah putusan Pengadilan Arbitrase Permanen PBB (Permanent Court of Arbitration/PCA) di Den Haag, Belanda, belum menunjukkan tanda-tanda ke arah para pihak yang berselisih menemukan jalan keluar yang damai.
Sebaliknya kerumitan akibat perubahan status quo telah menghadang di depan. Kerumitan itu terjadi setelah kegiatan-kegiatan China untuk mendukung klaim "sembilan garis putus-putus" yang ekspansif telah secara fundamental mengubah status quo di kawasan ini.
China sebagai salah satu pihak yang mengklaim masih melakukan aktivitas-aktivitas, terutama militerisasi kepulauan buatan yang Vietnam katakan telah menduduki wilayahnya di kepulauan Spratly secara ilegal. Pihak-pihak lain yang turut mengklaim sebagian wilayah LCS ialah Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam dan Taiwan.
Para pengamat mengatakan peningkatan aktivitas dan kehadiran militer China di LCS berpotensi mengancam stabilitas, kebebasan maritim internasional dan keamanan kawasan.
Setelah proses tiga tahun pengajuan kasus oleh Filipina, PCA memutuskan pada 12 Juli 2016 mengabulkan gugatan Filipina atas wilayah di LCS yang dklaimnya dan tidak mengakui sembilan garis putus-putus, atau dikenal juga sebagai garis-garis berbentuk U dari China.
Dalam amar putusan setebal 497 halaman, Mahkamah menyatakan klaim China tersebut tidak memiliki dasar hukum, dan menolak hak sejarah dari China di LCS.
Keputusan itu juga menjelaskan bahwa pulau buatan China di atas terumbu karang di kawasan itu tidak dapat dianggap sebagai zona ekonomi eksklusif (EEZ) 200 mil dan wilayah perairan 12 mil karena ketakmampuan menyangga kehidupan manusia di pulau buatan dan tak memenuhi syarat-syarat sebagai EEZ dan landasan kontinen sesuai dengan hukum internasional.
Selain itu, putusan Mahkamah juga menekankan kekuatan patroli China bisa berbahaya bila ditabrak kapal nelayan. Pembangunan dan pengoperasian China menyebabkan kerusakan yang idak dapat dipulihkan pada terumbu karang di LCS.