DPR Nilai Harmonisasi Regulasi BRIN Mendesak Dieksekusi

Rabu, 07 Juli 2021 - 22:38 WIB
loading...
DPR Nilai Harmonisasi Regulasi BRIN Mendesak Dieksekusi
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PKS Mulyanto menilai harmonisasi regulasi BRIN mendesak dieksekusi. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Rencana peleburan empat lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK), yakni LIPI, BPPT, BATAN, dan LAPAN di bawah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) akan banyak meninggalkan pekerjaan rumah. Satu yang paling disorot adalah posisi BRIN sebagai lembaga otonom yang tidak dipimpin pejabat setingkat menteri. Padahal, posisi BRIN sangat strategis untuk membawa Indonesia dalam posisi terdepan pada bidang riset dan inovasi. Sekaligus akan meningkatkan pengetahuan, pasar, dan komunikasi.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang juga anggota Komisi VII DPR-RI Mulyanto menyesalkan hilangnya "menteri" sebagai penanggung jawab dan pimpinan tertinggi dalam UU Nomor 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek). Padahal, pada umumnya kata menteri harus ada untuk menjalankan tugas sebuah undang-undang. Akibatnya hal itu, kata dia, saat ini ada "matahari kembar" di pemerintahan yang bergerak di iptek. Yaitu BRIN dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).

"Bedanya, Ristek (Kemendikbudristek) berada di Komisi X DPR, sehingga mereka bisa hadir di sidang kabinet dan turut serta dalam pembentukan regulasi. Sedangkan BRIN di Komisi VII DPR yang tentu tidak dapat turut serta dalam sidang kabinet," tutur Mulyanto dalam Alinea Forum bertajuk "Harmonisasi Regulasi BRIN" yang digelar secara virtual, Rabu (7/7/2021).

Agar "matahari kembar" tidak terjadi, dia mendorong adanya harmonisasi regulasi tentang BRIN. Harmonisasi mendesak dilakukan agar muncul kepastian dunia iptek di masa depan.

Hal senada dikatakan Direktur Adovakasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi. Menurut dia, jika urusan anggaran semua berada di BRIN, malah berpotensi menyebabkan penggunaan anggaran menjadi tidak terkontrol.

“Ketika ada prioritas anggaran dan sudah dianggarkan di awal, tetapi karena tidak terkawal dengan baik, sehingga hilang untuk riset. Saya pikir masalahnya bukan tata kelola kelembagaan, tetapi politik anggaran untuk riset di Indonesia sangat lemah,” papar dia dalam acara yang sama.

Karena itu, kata dia, ekosistem yang membagi tiga bagian, yakni BRIN, pemerintah, dan berbagai unit lembaga ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di UU Sisnas Iptek sudah sangat ideal. Sebab, tiga kelompok tersebut memiliki fungsi terpisah satu sama lain.

Pemerintah berwenang membentuk regulasi dan kebijakan terkait dengan Sisnas Iptek dan bertindak sebagai wasit dalam mengawasi pelksanaan Sisnas Iptek. Terutama untuk menegakkan regulasi dan kebijakan yang sudah dibentuk.

Kemudian BRIN mengelola anggaran riset dan teknologi agar terarah dalam merealisaiskan Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) sekaligus mensinergikan penggunaan SDM riset yang terdapat pada berbagai lembaga iptek untuk menjalankan program riset nasional.

Sementara organisasi pelaksana (OP) penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan atau litbangjirap dijalankan oleh badan hukum publik. Agar bersifat mandiri, mampu menjalankan debirokratisasi dan berwenang mendapatkan pendanaan atau kerja sama dengan pihak ketiga. Juga melaksanakan litbangjirap serga mengembangkan tekologi, SDM, dan Sisnas Iptek.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1276 seconds (0.1#10.140)