Perlu Edukasi Saat Mengonsumsi Obat Covid-19
loading...
A
A
A
“Dalam situasi ini, masyarakat atau konsumen yang rentan terhadap bahaya Covid, merasa tidak mendapatkan jaminan perlindungan karena waktu itu memang belum ada. Mereka kemudian tidak ingin pasrah sehingga mencoba percaya terhadap resep obat-obatan termasuk obat tradisional,” katanya.
Dia menambahkan, selama ini edukasi dan literasi yang didapatkan masyarakat justru lebih karena ‘dimanjakan’ oleh dokter. Di sisi lain, dokter kerap tidak menyediakan waktu yang cukup untuk menjelaskan secara mendalam kepada pasien perihal masalah penyakit, penyebab, dan efektivitas maupun alternatif obat-obatan.
“Biasanya akan langsung tanpa menjelaskan, langsung berikan resep. Syukur kalau ketemu dokter bisa 10 menit. Kalau di puskesmas, sudah 10 menit saja, dokter bisa melayani dua pasien. Ini menjadi tidak mendidik,” ucap dia.
Lantaran itu, Rahmat menilai solusi yang paling rasional yaitu masyarakat harus berhati-hati terhadap informasi yang bukti ilmiahnya belum cukup dan tidak memungkinkan untuk membuat klaim bombastis.
Dia pun meminta pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan dan BPOM aktif dan cepat tanggap terhadap informasi yang masih simpang siur.
Sementara itu, pakar kesehatan masyarakat Hermawan Saputra mengatakan, tidak semua obat dapat diuji cobakan sehingga tidak bisa menstandarkan sebuah terapi dengan obat tertentu. Maka, hingga saat ini tidak ada yang berani mengklaim sebuah obat menjadi obat Covid-19 karena perdebatannya panjang.
“Oleh karena itu di rumah sakit walaupun ada clinical previllege tapi ada juga yang disebut dengan clinical pathway. Inilah yang mengendalikan semacam standar pelayanan medik sehingga komite medis di rumah sakit dapat mengevaluasi sekaligus mengendalikan mutu layanan,” katanya.
Dia menyarankan, jangan sampai ada niat untuk terapi tetapi malah menimbulkan persoalan kesehatan baru. Dalam keadaan kedaruratan, kesehatan seperti saat ini ada wilayah clinical previllage tetapi ada juga clinical pathway untuk mengendalikan mutu dan layanan di rumah sakit agar sesuai dengan prosedur medis dan kesehatan.
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) itu menyebut, banyaknya informasi soal obat Covid-19 ini sebarusnya masyarakat jangan mudah percaya dengan informasi yang tidak jelas asal sumbernya.
Dia menambahkan, selama ini edukasi dan literasi yang didapatkan masyarakat justru lebih karena ‘dimanjakan’ oleh dokter. Di sisi lain, dokter kerap tidak menyediakan waktu yang cukup untuk menjelaskan secara mendalam kepada pasien perihal masalah penyakit, penyebab, dan efektivitas maupun alternatif obat-obatan.
“Biasanya akan langsung tanpa menjelaskan, langsung berikan resep. Syukur kalau ketemu dokter bisa 10 menit. Kalau di puskesmas, sudah 10 menit saja, dokter bisa melayani dua pasien. Ini menjadi tidak mendidik,” ucap dia.
Lantaran itu, Rahmat menilai solusi yang paling rasional yaitu masyarakat harus berhati-hati terhadap informasi yang bukti ilmiahnya belum cukup dan tidak memungkinkan untuk membuat klaim bombastis.
Dia pun meminta pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan dan BPOM aktif dan cepat tanggap terhadap informasi yang masih simpang siur.
Sementara itu, pakar kesehatan masyarakat Hermawan Saputra mengatakan, tidak semua obat dapat diuji cobakan sehingga tidak bisa menstandarkan sebuah terapi dengan obat tertentu. Maka, hingga saat ini tidak ada yang berani mengklaim sebuah obat menjadi obat Covid-19 karena perdebatannya panjang.
“Oleh karena itu di rumah sakit walaupun ada clinical previllege tapi ada juga yang disebut dengan clinical pathway. Inilah yang mengendalikan semacam standar pelayanan medik sehingga komite medis di rumah sakit dapat mengevaluasi sekaligus mengendalikan mutu layanan,” katanya.
Dia menyarankan, jangan sampai ada niat untuk terapi tetapi malah menimbulkan persoalan kesehatan baru. Dalam keadaan kedaruratan, kesehatan seperti saat ini ada wilayah clinical previllage tetapi ada juga clinical pathway untuk mengendalikan mutu dan layanan di rumah sakit agar sesuai dengan prosedur medis dan kesehatan.
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) itu menyebut, banyaknya informasi soal obat Covid-19 ini sebarusnya masyarakat jangan mudah percaya dengan informasi yang tidak jelas asal sumbernya.