Alasan Bareskrim Tak Menahan Mantan Pegawai BPOM Tersangka Gratifikasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Bareskrim Polri tidak menahan mantan pegawai Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Inisial SD yang merupakan tersangka kasus dugaan pemerasan dan gratifikasi terhadap Direktur PT Anugrah Original Bionature Indonesia (AOBI) Fictor Kusumareja senilai Rp3,49 miliar. Keputusan itu berdasarkan pertimbangan penyidik Bareskrim Polri.
"Sementara, berdasarkan pertimbangan penyidik, belum diperlukan (penahanan)," kata Wakil Direktur Tindak Pidana Korupsi (Wadirtipikor) Bareskrim Polri Kombes Arief Adiharsa kepada wartawan, Kamis (15/7/2024).
Namun, Arief belum memerinci terkait pertimbangan apa yang menjadi alasan penyidik tidak melakukan penahanan, meskipun mantan pegawai BPOM itu telah ditetapkan sebagai tersangka. Diketahui sebelumnya, Arief mengungkap bahwa SD telah melakukan tindak pidana pemerasan, dan gratifikasi tersebut dalam kurun waktu 2021 hingga 2023.
"Pemberian uang dari FK ke SD diduga dilakukan karena adanya permintaan dari SD ke FK berulang kali," kata Arief dalam keterangan tertulisnya, Senin (12/8/2024).
Arief menjelaskan, penetapan tersangka SD dilakukan berdasarkan fakta-fakta penyidikan, kecukupan alat bukti, dan hasil gelar perkara pada 24 Juni 2024. "Penyidik telah memeriksa 2 saksi ahli yaitu ahli pidana dan bahasa, 28 saksi yang terdiri dari 17 saksi dari BPOM, swasta 8 saksi, instansi di luar BPOM 3 saksi yaitu KPK dan 2 saksi dari perbankan," katanya.
Penyidik juga telah melakukan penyitaan barang bukti uang sebesar Rp1,3 miliar dan 65 dokumen lainnya. Terkait dugaan pemerasan dan gratifikasi yang dilakukan SD, BPOM telah melakukan pemeriksaan dan menjatuhkan sanksi atas pelanggaran disiplin terhadap SD berupa demosi dari jabatan Kepala Besar POM Bandung menjadi Pelaksana Balai Besar POM di Tarakan.
Adapun pasal yang disangkakan terhadap tersangka yakni Pasal 12 huruf (e) dan atau Pasal 12 B UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
"Sementara, berdasarkan pertimbangan penyidik, belum diperlukan (penahanan)," kata Wakil Direktur Tindak Pidana Korupsi (Wadirtipikor) Bareskrim Polri Kombes Arief Adiharsa kepada wartawan, Kamis (15/7/2024).
Namun, Arief belum memerinci terkait pertimbangan apa yang menjadi alasan penyidik tidak melakukan penahanan, meskipun mantan pegawai BPOM itu telah ditetapkan sebagai tersangka. Diketahui sebelumnya, Arief mengungkap bahwa SD telah melakukan tindak pidana pemerasan, dan gratifikasi tersebut dalam kurun waktu 2021 hingga 2023.
"Pemberian uang dari FK ke SD diduga dilakukan karena adanya permintaan dari SD ke FK berulang kali," kata Arief dalam keterangan tertulisnya, Senin (12/8/2024).
Arief menjelaskan, penetapan tersangka SD dilakukan berdasarkan fakta-fakta penyidikan, kecukupan alat bukti, dan hasil gelar perkara pada 24 Juni 2024. "Penyidik telah memeriksa 2 saksi ahli yaitu ahli pidana dan bahasa, 28 saksi yang terdiri dari 17 saksi dari BPOM, swasta 8 saksi, instansi di luar BPOM 3 saksi yaitu KPK dan 2 saksi dari perbankan," katanya.
Penyidik juga telah melakukan penyitaan barang bukti uang sebesar Rp1,3 miliar dan 65 dokumen lainnya. Terkait dugaan pemerasan dan gratifikasi yang dilakukan SD, BPOM telah melakukan pemeriksaan dan menjatuhkan sanksi atas pelanggaran disiplin terhadap SD berupa demosi dari jabatan Kepala Besar POM Bandung menjadi Pelaksana Balai Besar POM di Tarakan.
Adapun pasal yang disangkakan terhadap tersangka yakni Pasal 12 huruf (e) dan atau Pasal 12 B UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
(rca)