Jam Kerja Panjang Membahayakan
loading...
A
A
A
Widyawati lantas memaparkan, kebijakan yang sudah dikeluarkan oleh Kemenkes tertuang dalam atau sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 328 Tahun 2020. Dia pun meminta semua kantor pemerintahan dan dunia usaha menerapkan tersebut maupun revisi keputusan tersebut yang sedang dalam proses penyusunan.
"Akan dilakukan perubahan atas KMK ini mengikuti update perkembangan pencegahan dan pengendalian Covid-19," ucap Widyawati.
Guru besar kesehatan masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Arif Sumantri menyatakan, riset WHO yang menyebutkan bahwa orang yang bekerja lebih dari 55 jam per pekan terdapat risiko tinggi tingkat kematian haruslah menjadi perhatian serius bagi semua pihak, baik pemerintah, kalangan dunia usaha, maupun para pekerja. Apalagi WHO menyebutkan 35% tingkat kematian karena stroke dan 17 persen karena jantung.
Menurut Arif, normalnya rata-rata seorang pekerja bekerja antara 35 hingga 40 jam dalam satu pekan. Selain riset WHO, kata dia, ada riset yang pernah dilakukan di Taiwan yang hasil risetnya menyebutkan bahwa jika pekerja laki-laki memiliki rata-rata jam kerja lebih 60 jam per pekan, maka potensi risiko terkena penyakit jantung koroner tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja yang memiliki 40-48 jam per pekan.
"Jadi dari penelitian-penelitian ini, bekerja dari rata-rata jam kerja ditambah rata-rata mereka yang bekerja minim olahraga serta nutrisi yang tidak mendapatkan perhatian, maka potensi terkena penyakit dan juga gangguan kondisi kesehatan itu lebih tinggi," tegas Arif saat dihubungi KORAN SINDO, di Jakarta.
Dia berpandangan, dari sisi regulasi sebenarnya Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) pada Pasal 77 telah mengatur bahwa pengusaha wajib menjalankan ketentuan waktu kerja. Masing-masing yakni 7 jam dalam satu hari dan 40 jam untuk 6 hari kerja per pekan serta 8 jam satu hari dan 40 jam untuk 5 hari kerja dalam satu pekan.
Ketentuan ini, menurut Arif, tidak berlaku bagi sektor tertentu yakni pekerjaan di lapangan yang membutuhkan gerak motorik dan energik. Ketentuan pekerjaan di lapangan ini diatur oleh perusahaan dengan kesepakatan atau kontrak dengan pegawai.
"Kebanyakan pekerjaan yang statis dan tidak terjadi dinamik motorik bekerja, itu cenderung statik baik dari segi mekanisme aliran darah maupun efek dari pada otot. Dan, itulah mengakibatkan para pekerja yang statik itu beragam keluhan. Ada yang punya keluhan pada leher, pada pinggang, akibat dari kondisi pekerjaan yang tidak sebanding dengan pola 24 jam di mana 8 jam bekerja," paparnya.
Arif menggariskan, pemerintah, perusahaan, dan masyarakat pekerja untuk mencegah terjadinya jam kerja yang panjang sehingga berpotensi bisa membahayakan kesehatan. Bagi pemerintah, regulasi baik UU maupun peraturan turunannya harus dijalankan dan diawasi pelaksanaan. Pemerintah juga seharusnya melakukan sosialisasi secara masif kepada para pengusaha dan para pekerja tentang ketentuan jam kerja bagi para pekerja.