Jam Kerja Panjang Membahayakan

Jum'at, 18 Juni 2021 - 06:14 WIB
loading...
Jam Kerja Panjang Membahayakan
Jam kerja yang panjang bisa mengakibatkan gangguan kesehatan pada tubuh. FOTO/WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Aktitivitas kerja yang panjang ternyata sangat membahayakan kesehatan . Namun, fakta ini ternyata tidak banyak disadari oleh para pekerja. Bahkan banyak negara masih memberlakukan jam kerja yang terbilang panjang.

Bahaya akan jam kerja panjang berdasar penelitian terbaru yang dilakukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) . Penelitian menemukan orang yang bekerja lebih dari 55 jam dalam satu pekan berisiko besar meninggal.

Bekerja terlalu keras disebut membunuh tiga perempat juta atau 745.000 orang pada 2016. Angka ini menunjuk kan kenaikan 29% dibandingkan dengan tahun 2000. WHO juga mencatat 39.000 orang meninggal karena stroke dan 347.000 karena sakit jantung akibat bekerja terlalu lama tersebut.

Penelitian WHO menyimpulkan, terlalu banyak bekerja adalah satu-satunya faktor risiko terbesar untuk penyakit akibat kerja, terhitung kira-kira sepertiga dari beban penyakit yang terkait dengan pekerjaan.



Kondisi ini pun disebut sebagai krisis kesehatan global yang menuntut perhatian dari setiap orang, perusahaan dan pemerintah. Jika tidak menghentikannya, persoalan dimaksud bukan hanya terus berlanjut, tapi juga dapat menjadi lebih buruk.

Indonesia dan kebanyakan negara di Asia Tenggara harus memberi perhatian pada masalah, karena tercatat banyak orang bekerja dalam durasi terpanjang di dunia. Celakanya, sebagian besar yang mengalami kondisi tersebut adalah mereka yang bekerja di sektor informal dan berpenghasilan rendah.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menyebutkan, Indonesia merupakan negara dengan 14,3% para pekerjanya memiliki jam kerja lebih dari 60 jam per minggu. Adapun di Filipina, delapan juta penduduknya harus bekerja atau meningkat 41,2% dibandingkan pada 1995 dalam laporan Otoritas Statistik Filipinas pada 2015.



Sedangkan Thailand menduduki peringkat kelima jam kerja yang panjang pada 2016 di mana para pekerja di sektor industri bisa bekerja 17-19 jam per hari pada musim puncak. Hal itu sangat kontras dengan di Eropa di mana banyak orang menikmati budaya kerja yang merayakan liburan panjang dan waktu istirahat yang cukup. Itu dikenakan ada aturan yang melarang pegawai bekerja lebih dari 48 jam seminggu.

Sementara survei yang dilakukan AIA Vitality dalam tajuk The Healthiest Workplace menyebutkan, negara-negara Asia seperti Hong Kong, Singapura, dan Malaysia memiliki jam kerja yang panjang dengan rata-rata 12 jam di atas jam kerja yang dicatat dalam kontrak kerja.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Widyawati membenarkan adanya korelasi antara jam kerja panjang dan ancaman kesehatan yang fatal. Salah satunya, bekerja yang terlalu panjang berdampak pada berkurangnya waktu istirahat berakibat naiknya tekanan darah.

Di sisi lain, bekerja terlalu panjang akan diikuti perubahan perilaku seperti kurang tidur, jarang berolahraga, makan makanan yang tidak sehat, dan merokok yang merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit jantung dan stroke.

"Ini adalah krisis kesehatan global yang menuntut perhatian dari setiap orang, perusahaan dan pemerintah. Dan jika tidak diselesaikan, persoalan ini mungkin tidak hanya terus berlanjut, tapi juga dapat menjadi lebih buruk dan dapat menyebabkan benan kesehatan yang meningkat. Sehingga perlu diperkuat dalam upaya preventif dan promotif yang lebih masif salah satunya melalui GERMAS (gerakan masyarakat hidup sehat)," tegas Widyawati kepada KORAN SINDO, di Jakarta.

Dia menjelaskan, pelaksanaan jam kerja di masa pandemi saat ini seharusnya berpedoman pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 328 Tahun 2020 tentang Panduan Pencegahan Dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Tempat Kerja Perkantoran Dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha Pada Situasi Pandemi.

Bagi Kemenkes, pengaturan bekerja dari rumah (work from home/WFH) merupakan salah satu upaya untuk penerapan jaga jarak di tempat kerja dan fasilitas umum.

"Namun bagi pekerja essensial yang tidak memungkinkan untuk dilakukan WFH, maka penerapan prokes yang baik di tempat kerja sangat diperlukan," ujarnya.

Lebih jauh Widyawati mengatakan, dari sisi peraturan atau regulasi di Indonesia maka jam kerja bagi PNS/ASN diatur oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) dan pekerja lainnya oleh Kementerian Ketenagakerjaan.

Bahkan dia mengungkapkan, dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 pada Pasal 77 dan Pasal 78 telah mengatur dengan jelas para pengusaha wajib menjalankan ketentuan lamanya waktu kerja yang memperkerjakan pekerja atau buruh termasuk waktu lembur.

Kebijakan Kemenkes bagi pekerja di masa pandemi berkaitan dengan jam kerja juga merujuk pada ketentuan yang ditetapkan dalam Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mikro yang telah diatur dengan jelas. Menurut Widyawati, bagi para pekerja tentunya para pekerja harus dapat mengatur dengan baik pemanfaatan jam kerja.



Widyawati lantas memaparkan, kebijakan yang sudah dikeluarkan oleh Kemenkes tertuang dalam atau sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 328 Tahun 2020. Dia pun meminta semua kantor pemerintahan dan dunia usaha menerapkan tersebut maupun revisi keputusan tersebut yang sedang dalam proses penyusunan.

"Akan dilakukan perubahan atas KMK ini mengikuti update perkembangan pencegahan dan pengendalian Covid-19," ucap Widyawati.

Guru besar kesehatan masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Arif Sumantri menyatakan, riset WHO yang menyebutkan bahwa orang yang bekerja lebih dari 55 jam per pekan terdapat risiko tinggi tingkat kematian haruslah menjadi perhatian serius bagi semua pihak, baik pemerintah, kalangan dunia usaha, maupun para pekerja. Apalagi WHO menyebutkan 35% tingkat kematian karena stroke dan 17 persen karena jantung.

Menurut Arif, normalnya rata-rata seorang pekerja bekerja antara 35 hingga 40 jam dalam satu pekan. Selain riset WHO, kata dia, ada riset yang pernah dilakukan di Taiwan yang hasil risetnya menyebutkan bahwa jika pekerja laki-laki memiliki rata-rata jam kerja lebih 60 jam per pekan, maka potensi risiko terkena penyakit jantung koroner tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja yang memiliki 40-48 jam per pekan.

"Jadi dari penelitian-penelitian ini, bekerja dari rata-rata jam kerja ditambah rata-rata mereka yang bekerja minim olahraga serta nutrisi yang tidak mendapatkan perhatian, maka potensi terkena penyakit dan juga gangguan kondisi kesehatan itu lebih tinggi," tegas Arif saat dihubungi KORAN SINDO, di Jakarta.

Dia berpandangan, dari sisi regulasi sebenarnya Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) pada Pasal 77 telah mengatur bahwa pengusaha wajib menjalankan ketentuan waktu kerja. Masing-masing yakni 7 jam dalam satu hari dan 40 jam untuk 6 hari kerja per pekan serta 8 jam satu hari dan 40 jam untuk 5 hari kerja dalam satu pekan.

Ketentuan ini, menurut Arif, tidak berlaku bagi sektor tertentu yakni pekerjaan di lapangan yang membutuhkan gerak motorik dan energik. Ketentuan pekerjaan di lapangan ini diatur oleh perusahaan dengan kesepakatan atau kontrak dengan pegawai.

"Kebanyakan pekerjaan yang statis dan tidak terjadi dinamik motorik bekerja, itu cenderung statik baik dari segi mekanisme aliran darah maupun efek dari pada otot. Dan, itulah mengakibatkan para pekerja yang statik itu beragam keluhan. Ada yang punya keluhan pada leher, pada pinggang, akibat dari kondisi pekerjaan yang tidak sebanding dengan pola 24 jam di mana 8 jam bekerja," paparnya.

Arif menggariskan, pemerintah, perusahaan, dan masyarakat pekerja untuk mencegah terjadinya jam kerja yang panjang sehingga berpotensi bisa membahayakan kesehatan. Bagi pemerintah, regulasi baik UU maupun peraturan turunannya harus dijalankan dan diawasi pelaksanaan. Pemerintah juga seharusnya melakukan sosialisasi secara masif kepada para pengusaha dan para pekerja tentang ketentuan jam kerja bagi para pekerja.

Dalam konteks pelaksanaan UU maupun peraturan turunannya, pemerintah harus tegas agar para pekerja tidak bekerja melebihi ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada.

"Selain itu, pemerintah juga perlu menjadi bahan pertimbangan untuk mendorong bagaimana bekerja dengan hidup yang sehat dan aman. Berikutnya juga mendorong kualitas para pekerja dengan kecukupan olahraga dan waktu istirahat," ujar Arif.

Dari sisi perusahaan, tutur Arif, perusahaan harus menentukan beban kerja bagi setiap pekerjanya, melihat kesesuaian sertifikasi kompetensi dengan kemampuan dan keterampilan pekerja, analisis jabatan, dan analisis uraian kerja agar tidak melebihi kapasitas jam kerja pegawai.

Selain itu perusahaan harus melakukan monitoring secara utuh dan berkala bukan sekadar untuk melihat pekerja sudah absen atau tidak maupun lembur atau tidak. Perusahaan harus melihat apakah kuantitas jam kerja bisa memberikan efektivitas kualitas.

"Sehingga, ini juga meminimalisasi potensi dari risiko pekerja terkena penyakit stroke dan jantung. Perusahaan juga secara berkala baik itu tiga bulan atau enam bulan ataupun setahun memberikan pemeriksaan kesehatan secara berkala bagi pegawainya. Misalnya pemeriksaan kesehatan di klinik perusahaan," ungkapnya.

Arif melanjutkan, dari sisi masyarakat pekerja maka harus memperhatikan dan menjalankan GERMAS. Karenanya selain bekerja, masyarakat pekerja juga perlu memberikan perhatian dan menjalankan gaya hidup sehat dengan nutrisi yang baik, tidur yang seimbang, dan olahraga yang teratur.

Berikutnya, ketika seorang pekerja masuk dalam dunia kerja harus benar-benar melihat dan memperhatikan seperti apa akad atau kontrak kerjanya, tugas yang akan dijalankan, beban kerja, dan lain.

"Sehingga bisa bekerja secara aktif bukan hanya mengkalkulasi hitungan, tapi dia pekerja bisa merencanakan dari beban kerja, uraian kerja, dan hasil kerja sesuai dengan akad yang disepakati. Jadi dengan begitu mereka bisa mengatur waktu untuk diri sendiri, menjaga kesehatan, bukan hanya menjadi armada kerja," ucap Arif.

WHF Tambah Beban
Dalam penelitiannya, WHO juga menyoroti dampak pandemi Covid-19, di mana para pekerja bekerja dalam waktu yang lebih lama akibat konsep WFH. Banyaknya pemutusan kerja akibat pandemi juga membuat sumber daya manusia di sebuah perusahaan menjadi semakin sedikit, sehingga beban kerja yang bertambah.

"WFH telah menjadi sesuatu yang wajar di banyak industri, namun sering kali mengaburkan batasan antara rumah dan pekerjaan. Selain itu, banyak bisnis terpaksa mengurangi atau menghentikan sumber daya manusianya untuk menghemat pengeluaran. Hal itu membuat orang-orang yang masih bekerja akan mendapatkan beban kerja yang lebih besar," jar Sekjen WHO Tedros Adhanon Ghebreyesus.

WHO pun menyarankan pemerintah, pengusaha, dan para pekerja bekerja sama untuk membuat batasan demi melindungi keselamatan pekerja.

Sebenarnya, para ahli kesehatan masyarakat telah menyuarakan risiko dari jam kerja yang terlalu lama. Kelelahan, misalnya, dikaitkan dengan risiko infeksi serta berbagai masalah kronis lainnya. Kelelahan juga dapat menyebabkan masalah mental yang serius seperti depresi.

"Bekerja 55 jam atau lebih per minggu adalah bahaya kesehatan yang serius. Sudah waktunya kita semua, pemerintah, pengusaha, dan karyawan menyadari fakta mengenai jam kerja yang panjang dapat menyebabkan kematian dini," tulis Direktur Departemen Lingkungan, Perubahan Iklim, dan Kesehatan WHO, Maria Neira.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1904 seconds (0.1#10.140)