Seminar dan Launching kagamakarir.id PP Kagama-UGM, bertajuk Kesiapan Ketenagakerjaan Indonesia Menghadapi Revolusi Industri 4.0, Sabtu 12 Juni 2021. Foto/Istimewa
AAA
JAKARTA - Secanggih apa pun teknologi, jika seseorang bekerja seperti halnya tombol enter dipencet, lantas apa bedanya manusia dengan mesin? Pertanyaan tersebut disampaikan oleh Analisa Widyaningrum, Psikolog & CEO APDC Indonesia dalam Seminar dan Launching kagamakarir.id PP Kagama-UGM.
Menurut Analisa, interaksi antarmanusia dalam sebuah pekerjaan amatlah penting. Sebuah perusahaan, kata Analisa, hendaknya juga mampu memahami baik secara cerdas, emosi, maupun secara psikologis bahwa akan selalu ada perbedaa dari setiap generasi.
"Kita dukung bersama bagaimana digital native yang dikatakan sebagai generasi yang paling dekat dengan digital transformation ini bisa mampu memiliki tim. Pastikan bagaimana setiap organisasi maupun perusahaan kita sudah siap mendukung transformasi digital," ucapnya.
Pasalnya kata Analisa, betapa pun teknologi itu keren, kalau orang dan kulturnya tidak siap, akhirnya yang muncul adalah budaya kerajaan. Perusahaan tersebut bukan lagi menjadi sebuah universitas yang selalu bertumbuh.
"Kalau kerajaan, artinya semua orang menyelamatkan dirinya, tidak mampu mendukung transformasi digital ini. Jadi percuma. Jadi aset terbesarnya adalah analog atau manusia itu sendiri," jelasnya.
"Karena dalam proses digitalisasi, person yang ada di dalamnya yang mampu membantu kontribusi, serta bagaimana dalam sektor kerja kita mampu beradaptasi," tambahnya.
Selain itu, Analisa menilai pentingnya mindset seseorang untuk terus bisa berevolusi menghadapi Revolusi Industri 4.0. Karena, betapa pun teknologi tiu canggih, mindset yang dibutuhkan adalah bagaimana perusahaan menguatkan mental para pekerjanya.
Mental yang dibangun adalah teknologi bukanlah untuk menggantikan peran manusia. Menurut Analisa, Human Touch akan membuat manusia terbantu oleh teknologi.
"Artinya, kita yang harus upgrade kemampuan diri kita untuk mampu agile and inovate mengahadapi apa pun disrupsi ke depan. Aset terbesarnya dari perusahaan itu bukannya teknologi saja. Tapi culture yang dibangun. People yang ada di dalamnya," tegasnya.
Analisa berujar, mental yang sehat bukan melulu tentang halusinasi, atau depresi yang sering kita dengar. Tetapi kondisi mental seseorang yang mampu secara sadar melakukan peran dan tugasnya sehingga mampu berkontribusi.
"Kalau di dalam industri kita masih muncul kultur-kultur yang nggak sehat, tidak mendukung, bagaimana kita memiliki people yang mampu untuk bisa beradaptasi sama perubahan? Bisa agile dengan cepat dan berinovasi? Jadi saya yakin, inilah saatnya kita menyiapkan diri kita," ungkap Analisa.
"Ayo kita sama-sama dukung program apa pun di setiap sektor industri anda hari ini, di lingkungan terkecil kita dimulai dari keluarga, menguatkan mental secara softskill maupun hardskill," pungkasnya.
Acara peluncuran dan seminar tersebut dihadiri oleh Budi Karya Sumadi (Menteri Perhubungan RI); Ida Fauziyah (Menteri Ketenagakerjaan RI) sebagai Keynote Speaker; dan narasumber yakni Anwar Sanusi (Wakil Ketua Umum II/ Sekjen Kemnaker RI); dan Ratri Sryantoro Wakeling (Wakil Dirut PT Hotel Sahid Jaya Tbk/ Anggota DPN Digital Ekonomi APINDO).