Dicecar Pasal Penghinaan Presiden, Menkumham: Kebebasan Sebebas-bebasnya Itu Anarki

Rabu, 09 Juni 2021 - 14:33 WIB
loading...
Dicecar Pasal Penghinaan Presiden, Menkumham: Kebebasan Sebebas-bebasnya Itu Anarki
Menkumham, Yasonna H Laoly menjawab soal kritikan sejumlah Anggota Komisi III DPR mengenai pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP dalam Raker Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (9/6/2021). Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) , Yasonna H Laoly menjawab soal kritikan sejumlah Anggota Komisi III DPR mengenai pasal penghinaan presiden dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum PIdana (RUU KUHP) dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (9/6/2021).

Menurutnya, kalau penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden (wapres) ini dibiarkan maka Indonesia akan menjadi sangat liberal. Apalagi di sejumlah negara penghinaan itu dianggap lumrah.

"Soal penghinaan presiden saya kira sudah dalam pembicaraan Pak Arsul sudah menjawab itu, berbeda apa yang diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK). Saya kira kita menjadi sangat liberal kalau kita membiarkan, seperti dikatakan Pak Arsul di beberapa negara, di Thailand lebih parah pak. Kita coba menghindar aja, itu urusannya berat, bahkan di Jepang sendiri, di beberapa negara hal yang lumrah," jawabnya.

Namun, Yasonna menjelaskan dalam ketentuan yang sekarang diubah menjadi delik aduan. Hal ini untuk melindungi harkat dan martabat orang itu dan bukan sebagai pejabat publik. Dia pun mencontohkan kalau dirinya dikritik sebagai Menkumham yang tidak becus mengatasi lapas atau Imigrasi baginya itu tidak apa-apa.

"Tapi kalau sekali menyerang harkat bartabat saya, saya dikatakan anak haram jadah, wah itu di kampung saya enggak bisa lah, anak PKI lah, kau tunjukkan sama saya bahwa saya anak PKI. Kalau enggak bisa gua jorokin luh. Enggak bisa, kebebasan yang sebebas-bebasnya bukan sebuah kebebasn, itu anarki pak," ujarnya.

Dia menegaskan bahwa pasal penghinaan itu bukan untuk orang yang mengkritisi kinerja presiden, wapres dan pejabat negara. Tapi untuk menghindari Indonesia menjadi negara demokrasi liberal yang terlalu bebas.

"Memberikan orang, saya kira kita tidak harus (menyasar) sampai pada banyak mengkritik orang. Wah demokrasi liberal, memang arah kita mau ke sana? Free for all, all for free," sambung Yasonna.

Oleh karena itu, Politikus PDIP ini menegaskan harus ada batas-batas yang harus dijaga sebagai masyarakat Indonesia yang beradab, keadaban itu harus menjadi level Indonesia. Mengkritik presiden sah, bagaimanapun kritiknya terhadap kebijakannya. Tapi, bukan menyerang pribadi presiden, wapres dan pejabat negara itu.

"Sehebat-hebatnya kritik. Enggak apa-apa, tidak puas, bila perlu mekanisme konstitusional juga ada kok," imbuhnya.

"Tadi Pak Benny mengatakan mekanisme-mekanisme untuk kebijakan pemerintah tapi what u get in personal? Soal yang personal yang kadang-kadang dimunculkan, Pak Benny (Benny K Harman) tahu kan presiden kita dituduh secara personal dengan berbagai macam isu, beliau (Jokowi) tenang-tenang aja, beliau mengatakan saya tidak masalah dengan pasal ini, tapi apakah kita biarkan presiden yang akan datang digitu?" sambungnya.
(kri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1532 seconds (0.1#10.140)