Ngotot Bahas RUU Ciptaker, DPR Dianggap Terlalu Fokus Fungsi Legislasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dianggap terlalu fokus menjalankan fungsilegislasi. Ini terlihat dari ngototnya DPR membahas Omnibus Law Cipta Kerja atau RUU Cipta Kerja (Ciptaker).
Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar menilai anggota dewan tidak sepenuhnya menjalankan fungsi pengawasan dan anggaran. Padahal, itu penting di masa pandemi Covid-19 ini. Apalagi, pemerintah saat ini menyiakan dana Rp405 triliun untuk penanganan pandemi Covid-19 dan segala dampaknya.
Dia mengkritik Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang terus melanjutkan omnibus law yang kontroversi dan diprotes kalangan buruh itu. DPR seharusnya mengawasi wabah yang angka orang terpaparnya dan meninggalnya terus meningkat ini.
"Seharusnya DPR kita bijak dan bisa memberikan skala prioritas atas tiga fungsi yang mereka emban. Fungsi pengawasan dan anggaran seharusnya diutamakan oleh mereka. Khususnya untuk masalah pandemi Covid-19 dan dampak ekonominya," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Senin (20/4/2020).
Menurutnya, ada banyak masalah yang perlu diawasi DPR, antara lain, perbedaan data orang yang meninggal dunia karena Covid-19 antara Pemerintah dan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dan masih terjadinya kekurangan alat pelindung diri (APD). Hal tersebut menyebabkan banyak tenaga medis terpapar dan meninggal dunia karena Covid-19.
"DPR seharusnya melaksanakan fungsi pengawasan dengan mencari tahu dan mencari solus atas perbedaan daya tersebut. Namun, ini tidak lakukan. DPR malah asyik mainkan RUU Cipta Kerja," tutur Timboel. ( ).
Dalam kasus kurangnya APD, DPR bisa mendesak pemerintah untuk mengucurkan insentif bagi perusahaan-perusahaan yang mau memproduksi. Ini akan mendorong percepatan produksi dan harga menjadi terjangkau.
Pengawasan terhadap pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pun tak terlihat dilakukan politikus Senayan. Kondisi PSBB, terutama di Jakarta, tidak jauh berbeda dengan sebelum penerapan. Ada perusahaan yang beroperasi sehingga pergerakan orang masih banyak. Padahal, peraturan presiden (perpres) , peraturan menteri kesehatan (permenkes), dan peraturan gubernur (pergub) DKI Jakarta sudah melarang.
"Perbedaan regulasi antara permenkes dan permenhub soal ojol juga dibiarkan menjadi persoalan tanpa adanya pengawasan dari DPR," pungkasnya.
Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar menilai anggota dewan tidak sepenuhnya menjalankan fungsi pengawasan dan anggaran. Padahal, itu penting di masa pandemi Covid-19 ini. Apalagi, pemerintah saat ini menyiakan dana Rp405 triliun untuk penanganan pandemi Covid-19 dan segala dampaknya.
Dia mengkritik Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang terus melanjutkan omnibus law yang kontroversi dan diprotes kalangan buruh itu. DPR seharusnya mengawasi wabah yang angka orang terpaparnya dan meninggalnya terus meningkat ini.
"Seharusnya DPR kita bijak dan bisa memberikan skala prioritas atas tiga fungsi yang mereka emban. Fungsi pengawasan dan anggaran seharusnya diutamakan oleh mereka. Khususnya untuk masalah pandemi Covid-19 dan dampak ekonominya," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Senin (20/4/2020).
Menurutnya, ada banyak masalah yang perlu diawasi DPR, antara lain, perbedaan data orang yang meninggal dunia karena Covid-19 antara Pemerintah dan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dan masih terjadinya kekurangan alat pelindung diri (APD). Hal tersebut menyebabkan banyak tenaga medis terpapar dan meninggal dunia karena Covid-19.
"DPR seharusnya melaksanakan fungsi pengawasan dengan mencari tahu dan mencari solus atas perbedaan daya tersebut. Namun, ini tidak lakukan. DPR malah asyik mainkan RUU Cipta Kerja," tutur Timboel. ( ).
Dalam kasus kurangnya APD, DPR bisa mendesak pemerintah untuk mengucurkan insentif bagi perusahaan-perusahaan yang mau memproduksi. Ini akan mendorong percepatan produksi dan harga menjadi terjangkau.
Pengawasan terhadap pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pun tak terlihat dilakukan politikus Senayan. Kondisi PSBB, terutama di Jakarta, tidak jauh berbeda dengan sebelum penerapan. Ada perusahaan yang beroperasi sehingga pergerakan orang masih banyak. Padahal, peraturan presiden (perpres) , peraturan menteri kesehatan (permenkes), dan peraturan gubernur (pergub) DKI Jakarta sudah melarang.
"Perbedaan regulasi antara permenkes dan permenhub soal ojol juga dibiarkan menjadi persoalan tanpa adanya pengawasan dari DPR," pungkasnya.
(zik)