Pengamat Sebut Pasal Penghinaan Lembaga Negara Lahir dari Rezim Antikritik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pasal penghinaan terhadap lembaga negara dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang beredar, dinilai lahir dari rezim yang antikritik. Maka itu, peneliti senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengkritisinya.
"Saya kira pasal penghinaan ini sudah seringkali didiskusikan dan diperdebatkan," ujar Lucius Karus kepada SINDOnews, Selasa (8/6/2021).
Lucius menambahkan, banyak pihak yang merasa ketentuan terkait penghinaan kekuasaan umum dan lembaga negara ini adalah cara negara menertibkan oposisi yang memang akan selalu mengkritik kekuasaan dan lembaga negara. Menurut dia, mengkritik kekuasaan dan lembaga negara sesungguhnya adalah bagian dari tanggung jawab warga negara untuk mengontrol kekuasaan dan lembaga negara agar tak sewenang-wenang dan sesuka hati menggunaan kekuasaan.
Dia melanjutkan, sistem demokrasi menempatkan kebebasan berpendapat itu sebagai hak setiap orang karena kekuasaan dan lembaga negara hanyalah alat untuk mengatur tata kelola bernegara. "Jadi kritik terhadap kekuasaan dan lembaga negara malah menjadi sebuah tuntutan agar kebijakan yang dihasilkan teruji sejak proses pembuatannya oleh penguasa dan lembaga negara," ujarnya.
Menurut dia, kritik terhadap kekuasaan dan lembaga dalam praktiknya bisa jadi dengan mudah dianggap sebagai penghinaan manakala disampaikan dengan kata-kata yang menyinggung perasaan. "Di situlah poin kritik terhadap ketentuan KUHP soal penghinaan tersebut. Ketika kritik yang disampaikan dengan mudah berubah menjadi bentuk penghinaan maka kebebasan berbicara pun menjadi semakin terancam," katanya.
Dia berpendapat, penguasa yang ingin menikmati kekuasaan akan dengan mudah menggunaan pasal penghinaan ini untuk mengkriminalkan para pengkritik. Apalagi, kata dia, yang juga bisa melakukan gugatan terkait penghinaan adalah lembaga negara. "Ini saya kira sangat tidak perlu dan tak pantas. Tak ada yang bisa mengklaim sebuah lembaga sebagai miliknya sehingga kritikan kepada lembaga akan membuat orang tersinggung," imbuhnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, dengan pasal penghinaan terhadap lembaga negara ini tak akan ada yang dengan bebas melakukan kontrol terhadap kinerja lembaga yang buruk. Karena, lanjut dia, penilaian buruk pun mungkin saja dianggap sebagai penghinaan bagi mereka yang tak merasa bersalah ketika tak melakukan tugasnya saat menjabat.
"Saya yang misalnya dengan kata-kata yang keras mengkritik kinerja DPR bisa dengan mudah dilaporkan menggunakan pasal penghinaan lembaga tersebut hanya karena pilihan kata yang jujur walaupun terdengar kasar," ungkapnya.
Sehingga, hal tersebut dinilai akan memberikan imunitas bagi penguasa dan lembaga untuk melakukan apa saja dan bebas mengkriminalkan orang-orang yang melakukan kritikan keras terhadap mereka. "Pasal ini lahir dari rezim yang sewenang-wenang dan antikritik," pungkasnya.
"Saya kira pasal penghinaan ini sudah seringkali didiskusikan dan diperdebatkan," ujar Lucius Karus kepada SINDOnews, Selasa (8/6/2021).
Lucius menambahkan, banyak pihak yang merasa ketentuan terkait penghinaan kekuasaan umum dan lembaga negara ini adalah cara negara menertibkan oposisi yang memang akan selalu mengkritik kekuasaan dan lembaga negara. Menurut dia, mengkritik kekuasaan dan lembaga negara sesungguhnya adalah bagian dari tanggung jawab warga negara untuk mengontrol kekuasaan dan lembaga negara agar tak sewenang-wenang dan sesuka hati menggunaan kekuasaan.
Dia melanjutkan, sistem demokrasi menempatkan kebebasan berpendapat itu sebagai hak setiap orang karena kekuasaan dan lembaga negara hanyalah alat untuk mengatur tata kelola bernegara. "Jadi kritik terhadap kekuasaan dan lembaga negara malah menjadi sebuah tuntutan agar kebijakan yang dihasilkan teruji sejak proses pembuatannya oleh penguasa dan lembaga negara," ujarnya.
Menurut dia, kritik terhadap kekuasaan dan lembaga dalam praktiknya bisa jadi dengan mudah dianggap sebagai penghinaan manakala disampaikan dengan kata-kata yang menyinggung perasaan. "Di situlah poin kritik terhadap ketentuan KUHP soal penghinaan tersebut. Ketika kritik yang disampaikan dengan mudah berubah menjadi bentuk penghinaan maka kebebasan berbicara pun menjadi semakin terancam," katanya.
Dia berpendapat, penguasa yang ingin menikmati kekuasaan akan dengan mudah menggunaan pasal penghinaan ini untuk mengkriminalkan para pengkritik. Apalagi, kata dia, yang juga bisa melakukan gugatan terkait penghinaan adalah lembaga negara. "Ini saya kira sangat tidak perlu dan tak pantas. Tak ada yang bisa mengklaim sebuah lembaga sebagai miliknya sehingga kritikan kepada lembaga akan membuat orang tersinggung," imbuhnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, dengan pasal penghinaan terhadap lembaga negara ini tak akan ada yang dengan bebas melakukan kontrol terhadap kinerja lembaga yang buruk. Karena, lanjut dia, penilaian buruk pun mungkin saja dianggap sebagai penghinaan bagi mereka yang tak merasa bersalah ketika tak melakukan tugasnya saat menjabat.
"Saya yang misalnya dengan kata-kata yang keras mengkritik kinerja DPR bisa dengan mudah dilaporkan menggunakan pasal penghinaan lembaga tersebut hanya karena pilihan kata yang jujur walaupun terdengar kasar," ungkapnya.
Sehingga, hal tersebut dinilai akan memberikan imunitas bagi penguasa dan lembaga untuk melakukan apa saja dan bebas mengkriminalkan orang-orang yang melakukan kritikan keras terhadap mereka. "Pasal ini lahir dari rezim yang sewenang-wenang dan antikritik," pungkasnya.