Imbal Hasil Obligasi
loading...
A
A
A
Candra Fajri Ananda Ph.D
Staf Khusus Kementerian Keuangan RI
Pembangunan secara sederhana bisa difahami sebagai suatu proses perubahan yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Guna merealisasikan tujuan tersebut maka diperlukan pembiayaan dan anggaran yang cukup. Penerimaan negara tentu menjadi sumber utama pembiayaan pembangunan, dimana pajak masih menjadi sumber penerimaan yang dominan dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Di Indonesia sendiri lebih dari 80% penerimaan Negara Republik Indonesia berasal dari pajak.
Dalam masa pandemi, tahun 2020, penerimaan pajak Indonesia mengalami penurunan yang signifikan, dikarenakan melemahnya kegiatan perekonomian di berbagai sektor. Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa penerimaan pajak mengalami penurunan hingga 19,7% dari tahun 2019 sebesar Rp1,332,7 triliun menjadi Rp1.070 triliun pada 2020. Penurunan penerimaan negara di masa pandemi ini, memang terjadi dimana-mana di dunia. Diluar sektor kesehatan dan teknologi informasi, seluruh sektor ekonomi mengalami kontraksi yang sangat dalam.
Di sisi lain, pandemi memaksa pemerintah mengambil alih hampir sebagian besar perlindungan dan mendorong sektor-sektor ekonomi tetap bertahan dan tumbuh walaupun berat. Dalam situasi yang seperti itu, pemerintah harus menaikkan belanja pemerintah, mengingat pemerintah perlu menjaga penurunan sektor ekonomi tidak boleh terlalu dalam, termasuk menjaga kondisi sosial ekonomi masyarakat untuk tetap memiliki pendapatan dan mampu berbelanja. Dari berbagai simulasi yang dilakukan oleh lembaga independent, diperkirakan pandemi ini akan berlangsung 2 – 4 tahun, bahkan ada yang menyatakan lebih lama. Hal yang pasti sama adalah penemuan vaksin atas covid-19 ini adalah kunci percepatan pemulihan. Untuk yang ini, bisa dikatakan berbagai Lembaga tersebut sepakat sama.
Secara umum, pemerintah mengambil kebiajakan fiskal yang contra cyclical, di mana pemerintah melalui belanja yang lebih besar berusaha “menahan” penurunan tren perekonomian. Risiko ini menjadi sebuah keniscayaan yang harus diambil pemerintah mengingat sektor swasta maupun investasi terhenti karena pandemi. Pemerintah membuka ruang fiskal yang lebih besar untuk membiayai berbagai program penanggulangan pandemi Covid 19 serta dampak sistemiknya. Program penanggulangan efek pandemi Covid 19 mengakibatkan pos belanja negara membengkak dari kondisi normal. Defisit APBN pada tahun 2020 melambung menjadi Rp1.039,2 triliun atau sama dengan 6,34% dari PDB. Hal yang sama juga terjadi pada tahun 2021. Meskipun tidak setinggi defisit pada tahun 2020, pada tahun 2021 defisit APBN mencapai 5,70% terhadap PDB atau sebesar Rp 1.006,4 triliun. Oleh sebab itu, menjadi hal yang sangat dapat dipahami jika pemerintah mengambil opsi penambahan utang untuk menutupi defisit APBN karena disaat yang sama penerimaan pajak mengalami tekanan.
Obligasi sebagai Alternatif Pembiayaan
Kebutuhan pembiayaan APBN mendorong pemerintah mengembangkan berbagai alternatif sumber pembiayaan. Sebagai upaya mengurangi ketergantungan terhadap pinjaman asing, pemerintah menerbitkan Surat Berharga Negara dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk. Penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dan Sukuk menjadi salah satu penopang pembiayaan negara dan kini difokuskan untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional. Pembiayaan APBN melalui SBN merupakan upaya pemerintah untuk tetap menjalankan kebijakan fiskal yang kredibel, disiplin, sustainable, dan independen di tengah situasi perekonomian global yang masih volatile.
Pada perkembangannya, prospek surat utang RI hingga kini masih potensial dan menarik minat investor. Tingginya imbal hasil yang ditawarkan oleh surat utang RI tak dipungkiri menjadi daya tarik dibanding dengan negara lain di kawasan dengan peringkat layak investasi, yakni BBB. Data asianbondsonline pada awal 2020 menunjukkan bahwa surat utang denominasi rupiah tenor 10 tahun menawarkan imbal hasil tertinggi, yakni sebesar 6,93%. Kemudian, disusul Filipina dengan imbal hasil 4,68%; Malaysia 3,28%; Vietnam 3,11 dan China 3,08%. Sementara itu, data indeks obligasi pemerintah tiga negara di Asia (A3GBI) yang tercatat PT Penilai Harga Efek Indonesia pada 2020 menawarkan return sebesar 0,87% yang ditopang oleh obligasi denominasi rupiah dengan return tertinggi yakni 1,32%. Kemudian, diikuti obligasi denominasi ringgit sebesar 0,67% dan obligasi denominasi Baht sebesar 0,61%.
Posisi imbal hasil obligasi Indonesia yang terlalu tinggi tersebut perlu terus didorong untuk dapat menuju level yang lebih ideal. Imbal hasil obligasi Indonesia yang terlalu tinggi di masa mendatang dapat meningkatkan biaya di APBN serta menurunkan fungsi intermediasi perbankan terhadap sektor riil dan menyebabkan ekonomi biaya tinggi di pasar obligasi korporasi. Perusahaan-perusahaan yang akan menerbitkan obligasi harus mematok imbal hasil tinggi agar diserap pasar. Fakta menunjukkan bahwa saat ini terdapat kecenderungan berbagai bank di Tanah Air lebih memilih menempatkan dananya di SBN daripada menyalurkannya sebagai kredit kepada sektor riil dan masyarakat. Dana yang ditempatkan perbankan di SBN per 18 September 2020 melonjak 97% menjadi Rp 1.224,60 triliun dibanding pada 2 Januari 2020 sebesar Rp 622,20 triliun.
Penyesuaian Tingkat Bunga Obligasi
Tingginya imbal hasil SUN Indonesia sejatinya tak lantas memberi arti bahwa risiko atas surat utang RI lebih tinggi dari berbagai negara lainnya. Survei Bloomberg sebelum pandemi menempatkan Indonesia sebagai tujuan investasi paling terpercaya pada 2020. Di pasar saham, Indonesia berada di peringkat ke-1, mengalahkan Tiongkok, India, dan Brazil. Di pasar surat utang, Indonesia juga berada di urutan pertama, mengalahkan Rusia, Meksiko, dan Brazil. Minat investor asing tetap tinggi karena mereka percaya Indonesia memiliki fundamental ekonomi yang kuat. Oleh sebab itu pula, lembaga pemeringkat utang, Fitch Ratings mempertahankan peringkat utang (rating) Indonesia pada posisi BBB, dengan prospek stabil. Fitch menganggap Indonesia memiliki prospek pertumbuhan jangka menengah yang baik dengan rasio utang terhadap produk domestic bruto (PDB) yang rendah. Fitch juga mengapresiasi respons pemerintah terhadap krisis akibat Covid.
Di sisi lain, sejatinya pemerintah RI melalui Kementerian Keuangan telah membuktikan bahwa dalam penerbitan salah satu produk surat utang RI, yakni Sukuk, juga masih banyak diminati investor meski tanpa imbal hasil yang tinggi. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan menerbitkan Sukuk Global senilai US$ 3 miliar atau setara Rp 43,5 triliun (kurs 14.500) dengan tingkat imbal hasil terendah. Adapun Sukuk senilai US$ 1,25 miliar untuk tenor 5 tahun dengan imbal hasil 1,5%. Untuk tenor 10 tahun senilai US$ 1 miliar dengan imbal hasil sebesar 2,55%, dan US$ 750 juta untuk tenor 30 tahun dengan imbal hasil sebesar 3,55%. Imbal hasil untuk penerbitan ini pun lebih rendah dibandingkan penerbitan sebelumnya. Dilansir dari Reuters, jumlah pesanan untuk penerbitan ini oversubscribe hingga US$ 10,3 miliar. Hal tersebut menjadi bukti bahwa kepercayaan investor terhadap produk surat utang RI sejatinya masih besar meski tanpa diiringi angka persentase imbal hasil yang terlampau tinggi.
Saat ini tren penurunan suku bunga global berlanjut, imbal hasil SUN dianggap masih atraktif, apalagi negara- negara maju tengah memasuki era suku bunga 0%. Oleh sebab itu, kita perlu terus mendorong imbal hasil SUN ke level yang lebih ideal, turun namun tetap menarik bagi investor. Terlebih kondisi ekonomi domestik ke depan sangat mendukung penurunan imbal hasil SUN ke level yang lebih ideal bagi pemulihan ekonomi nasional. Meski kini berada di masa pandemi, kestabilan ekonomi nasional yang ditunjukkan dengan masih terjaganya angka inflasi serta rupiah yang relatif stabil. Selanjutnya, keberadaan imbal hasil pada level ideal dapat meringankan beban APBN di masa mendatang. Semoga.
Staf Khusus Kementerian Keuangan RI
Pembangunan secara sederhana bisa difahami sebagai suatu proses perubahan yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Guna merealisasikan tujuan tersebut maka diperlukan pembiayaan dan anggaran yang cukup. Penerimaan negara tentu menjadi sumber utama pembiayaan pembangunan, dimana pajak masih menjadi sumber penerimaan yang dominan dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Di Indonesia sendiri lebih dari 80% penerimaan Negara Republik Indonesia berasal dari pajak.
Dalam masa pandemi, tahun 2020, penerimaan pajak Indonesia mengalami penurunan yang signifikan, dikarenakan melemahnya kegiatan perekonomian di berbagai sektor. Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa penerimaan pajak mengalami penurunan hingga 19,7% dari tahun 2019 sebesar Rp1,332,7 triliun menjadi Rp1.070 triliun pada 2020. Penurunan penerimaan negara di masa pandemi ini, memang terjadi dimana-mana di dunia. Diluar sektor kesehatan dan teknologi informasi, seluruh sektor ekonomi mengalami kontraksi yang sangat dalam.
Di sisi lain, pandemi memaksa pemerintah mengambil alih hampir sebagian besar perlindungan dan mendorong sektor-sektor ekonomi tetap bertahan dan tumbuh walaupun berat. Dalam situasi yang seperti itu, pemerintah harus menaikkan belanja pemerintah, mengingat pemerintah perlu menjaga penurunan sektor ekonomi tidak boleh terlalu dalam, termasuk menjaga kondisi sosial ekonomi masyarakat untuk tetap memiliki pendapatan dan mampu berbelanja. Dari berbagai simulasi yang dilakukan oleh lembaga independent, diperkirakan pandemi ini akan berlangsung 2 – 4 tahun, bahkan ada yang menyatakan lebih lama. Hal yang pasti sama adalah penemuan vaksin atas covid-19 ini adalah kunci percepatan pemulihan. Untuk yang ini, bisa dikatakan berbagai Lembaga tersebut sepakat sama.
Secara umum, pemerintah mengambil kebiajakan fiskal yang contra cyclical, di mana pemerintah melalui belanja yang lebih besar berusaha “menahan” penurunan tren perekonomian. Risiko ini menjadi sebuah keniscayaan yang harus diambil pemerintah mengingat sektor swasta maupun investasi terhenti karena pandemi. Pemerintah membuka ruang fiskal yang lebih besar untuk membiayai berbagai program penanggulangan pandemi Covid 19 serta dampak sistemiknya. Program penanggulangan efek pandemi Covid 19 mengakibatkan pos belanja negara membengkak dari kondisi normal. Defisit APBN pada tahun 2020 melambung menjadi Rp1.039,2 triliun atau sama dengan 6,34% dari PDB. Hal yang sama juga terjadi pada tahun 2021. Meskipun tidak setinggi defisit pada tahun 2020, pada tahun 2021 defisit APBN mencapai 5,70% terhadap PDB atau sebesar Rp 1.006,4 triliun. Oleh sebab itu, menjadi hal yang sangat dapat dipahami jika pemerintah mengambil opsi penambahan utang untuk menutupi defisit APBN karena disaat yang sama penerimaan pajak mengalami tekanan.
Obligasi sebagai Alternatif Pembiayaan
Kebutuhan pembiayaan APBN mendorong pemerintah mengembangkan berbagai alternatif sumber pembiayaan. Sebagai upaya mengurangi ketergantungan terhadap pinjaman asing, pemerintah menerbitkan Surat Berharga Negara dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk. Penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dan Sukuk menjadi salah satu penopang pembiayaan negara dan kini difokuskan untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional. Pembiayaan APBN melalui SBN merupakan upaya pemerintah untuk tetap menjalankan kebijakan fiskal yang kredibel, disiplin, sustainable, dan independen di tengah situasi perekonomian global yang masih volatile.
Pada perkembangannya, prospek surat utang RI hingga kini masih potensial dan menarik minat investor. Tingginya imbal hasil yang ditawarkan oleh surat utang RI tak dipungkiri menjadi daya tarik dibanding dengan negara lain di kawasan dengan peringkat layak investasi, yakni BBB. Data asianbondsonline pada awal 2020 menunjukkan bahwa surat utang denominasi rupiah tenor 10 tahun menawarkan imbal hasil tertinggi, yakni sebesar 6,93%. Kemudian, disusul Filipina dengan imbal hasil 4,68%; Malaysia 3,28%; Vietnam 3,11 dan China 3,08%. Sementara itu, data indeks obligasi pemerintah tiga negara di Asia (A3GBI) yang tercatat PT Penilai Harga Efek Indonesia pada 2020 menawarkan return sebesar 0,87% yang ditopang oleh obligasi denominasi rupiah dengan return tertinggi yakni 1,32%. Kemudian, diikuti obligasi denominasi ringgit sebesar 0,67% dan obligasi denominasi Baht sebesar 0,61%.
Posisi imbal hasil obligasi Indonesia yang terlalu tinggi tersebut perlu terus didorong untuk dapat menuju level yang lebih ideal. Imbal hasil obligasi Indonesia yang terlalu tinggi di masa mendatang dapat meningkatkan biaya di APBN serta menurunkan fungsi intermediasi perbankan terhadap sektor riil dan menyebabkan ekonomi biaya tinggi di pasar obligasi korporasi. Perusahaan-perusahaan yang akan menerbitkan obligasi harus mematok imbal hasil tinggi agar diserap pasar. Fakta menunjukkan bahwa saat ini terdapat kecenderungan berbagai bank di Tanah Air lebih memilih menempatkan dananya di SBN daripada menyalurkannya sebagai kredit kepada sektor riil dan masyarakat. Dana yang ditempatkan perbankan di SBN per 18 September 2020 melonjak 97% menjadi Rp 1.224,60 triliun dibanding pada 2 Januari 2020 sebesar Rp 622,20 triliun.
Penyesuaian Tingkat Bunga Obligasi
Tingginya imbal hasil SUN Indonesia sejatinya tak lantas memberi arti bahwa risiko atas surat utang RI lebih tinggi dari berbagai negara lainnya. Survei Bloomberg sebelum pandemi menempatkan Indonesia sebagai tujuan investasi paling terpercaya pada 2020. Di pasar saham, Indonesia berada di peringkat ke-1, mengalahkan Tiongkok, India, dan Brazil. Di pasar surat utang, Indonesia juga berada di urutan pertama, mengalahkan Rusia, Meksiko, dan Brazil. Minat investor asing tetap tinggi karena mereka percaya Indonesia memiliki fundamental ekonomi yang kuat. Oleh sebab itu pula, lembaga pemeringkat utang, Fitch Ratings mempertahankan peringkat utang (rating) Indonesia pada posisi BBB, dengan prospek stabil. Fitch menganggap Indonesia memiliki prospek pertumbuhan jangka menengah yang baik dengan rasio utang terhadap produk domestic bruto (PDB) yang rendah. Fitch juga mengapresiasi respons pemerintah terhadap krisis akibat Covid.
Di sisi lain, sejatinya pemerintah RI melalui Kementerian Keuangan telah membuktikan bahwa dalam penerbitan salah satu produk surat utang RI, yakni Sukuk, juga masih banyak diminati investor meski tanpa imbal hasil yang tinggi. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan menerbitkan Sukuk Global senilai US$ 3 miliar atau setara Rp 43,5 triliun (kurs 14.500) dengan tingkat imbal hasil terendah. Adapun Sukuk senilai US$ 1,25 miliar untuk tenor 5 tahun dengan imbal hasil 1,5%. Untuk tenor 10 tahun senilai US$ 1 miliar dengan imbal hasil sebesar 2,55%, dan US$ 750 juta untuk tenor 30 tahun dengan imbal hasil sebesar 3,55%. Imbal hasil untuk penerbitan ini pun lebih rendah dibandingkan penerbitan sebelumnya. Dilansir dari Reuters, jumlah pesanan untuk penerbitan ini oversubscribe hingga US$ 10,3 miliar. Hal tersebut menjadi bukti bahwa kepercayaan investor terhadap produk surat utang RI sejatinya masih besar meski tanpa diiringi angka persentase imbal hasil yang terlampau tinggi.
Saat ini tren penurunan suku bunga global berlanjut, imbal hasil SUN dianggap masih atraktif, apalagi negara- negara maju tengah memasuki era suku bunga 0%. Oleh sebab itu, kita perlu terus mendorong imbal hasil SUN ke level yang lebih ideal, turun namun tetap menarik bagi investor. Terlebih kondisi ekonomi domestik ke depan sangat mendukung penurunan imbal hasil SUN ke level yang lebih ideal bagi pemulihan ekonomi nasional. Meski kini berada di masa pandemi, kestabilan ekonomi nasional yang ditunjukkan dengan masih terjaganya angka inflasi serta rupiah yang relatif stabil. Selanjutnya, keberadaan imbal hasil pada level ideal dapat meringankan beban APBN di masa mendatang. Semoga.
(war)