Pengamat Sebut Persoalan TWK KPK Dibawa ke MK Politis dan Janggal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Peralihan status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi aparatur sipil negara (ASN) merupakan urusan tata usaha negara. Sehingga, jika mereka mengadukan permasalahan tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK) tidak tepat.
"Kalau kasusnya ini adalah urusan tata usaha negara. Jadi kalau udah urusan tata usaha negara, di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ngapain harus ke mana-mana?" kata Pengamat kebijakan publik Lisman Manurung kepada wartawan, Senin (7/6/2021).
Kendati demikian, Lisman menyebut sah-sah saja jika seseorang melakukan uji materi (judicial review) tekait undang-undang ke MK. Namun dalam hal ini, Lisman mengatakan seharusnya mereka mengadu ke PTUN.
"Nah sekarang kalau dibawa ke MK, janggal. Jadi maksudnya begini, MK itu kan menilai apakah UU sudah tepat atau tidak. Kalau mau lebih jujur lagi, sebenarnya MK itu fungsinya mengevaluasi UU. Apakah UU itu bertentangan dengan UUD," ujarnya.
Dia juga menyarankan agar polemik yang ada di masyarakat terkait KPK hanya persoalan yang esensial. Menurutnya, para eks pegawai yang tidak lolos seharusnya tutup buku ihwal TWK KPK menjadi ASN.
"Jadi polemik di masyarakat ya yang esensial, jangan ke mana-mana. Kalau perkembangan terakhir kan sudah disahkan jadi ASN, yasudah itu sudah sah itu. Karena birokrasi negara itu harus jelas," tandasnya.
Lebih lanjut, Lisman menanggap manuver mengadu nasib ke beberapa instansi adalah politis. Namun begitu, Lisman menyebut siapa saja boleh berpolitik. "Ya itu udah politik sebenarnya. Dan itu hak rakyat berpolitik," tuturnya.
Sebelumnya, KPK mengumumkan hasil tes alih status pegawai KPK menjadi ASN yang diikuti 1.351 pegawai. Kemudian, 75 orang pegawai dinyatakan tidak memenuhi syarat.
Mereka yang tak lolos TWK pun dinonaktifkan. Selanjutnya, pimpinan KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) menyatakan 51 dari 75 orang itu tak bisa bekerja kembali, sedangkan 24 di antaranya akan dibina.
Para pegawai KPK yang tak lolos menjadi ASN itu pun telah mengadu nasib ke Dewan Pengawas KPK, Ombudsman, Komnas HAM hingga Mahkamah Konstitusi (MK). Belakangan, mereka juga menyebut hendak ke PTUN.
"Kalau kasusnya ini adalah urusan tata usaha negara. Jadi kalau udah urusan tata usaha negara, di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ngapain harus ke mana-mana?" kata Pengamat kebijakan publik Lisman Manurung kepada wartawan, Senin (7/6/2021).
Kendati demikian, Lisman menyebut sah-sah saja jika seseorang melakukan uji materi (judicial review) tekait undang-undang ke MK. Namun dalam hal ini, Lisman mengatakan seharusnya mereka mengadu ke PTUN.
"Nah sekarang kalau dibawa ke MK, janggal. Jadi maksudnya begini, MK itu kan menilai apakah UU sudah tepat atau tidak. Kalau mau lebih jujur lagi, sebenarnya MK itu fungsinya mengevaluasi UU. Apakah UU itu bertentangan dengan UUD," ujarnya.
Dia juga menyarankan agar polemik yang ada di masyarakat terkait KPK hanya persoalan yang esensial. Menurutnya, para eks pegawai yang tidak lolos seharusnya tutup buku ihwal TWK KPK menjadi ASN.
"Jadi polemik di masyarakat ya yang esensial, jangan ke mana-mana. Kalau perkembangan terakhir kan sudah disahkan jadi ASN, yasudah itu sudah sah itu. Karena birokrasi negara itu harus jelas," tandasnya.
Lebih lanjut, Lisman menanggap manuver mengadu nasib ke beberapa instansi adalah politis. Namun begitu, Lisman menyebut siapa saja boleh berpolitik. "Ya itu udah politik sebenarnya. Dan itu hak rakyat berpolitik," tuturnya.
Sebelumnya, KPK mengumumkan hasil tes alih status pegawai KPK menjadi ASN yang diikuti 1.351 pegawai. Kemudian, 75 orang pegawai dinyatakan tidak memenuhi syarat.
Mereka yang tak lolos TWK pun dinonaktifkan. Selanjutnya, pimpinan KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) menyatakan 51 dari 75 orang itu tak bisa bekerja kembali, sedangkan 24 di antaranya akan dibina.
Para pegawai KPK yang tak lolos menjadi ASN itu pun telah mengadu nasib ke Dewan Pengawas KPK, Ombudsman, Komnas HAM hingga Mahkamah Konstitusi (MK). Belakangan, mereka juga menyebut hendak ke PTUN.
(poe)