Asimetris Desentralisasi di Indonesia

Senin, 24 Mei 2021 - 05:33 WIB
loading...
Asimetris Desentralisasi di Indonesia
Asimetris Desentralisasi di Indonesia
A A A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Kementerian Keuangan RI

Lebih dari dua dekade desentralisasi telah berjalan di Indonesia. Tak dapat dipungkiri bahwa desentralisasi merupakan sebuah trend global yang dipercaya mampu mengatasi berbagai persoalan negara modern. Melalui otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, diharapkan dapat mempercepat pemerataan pembangunan di berbagai wilayah Indonesia sesuai dengan keunggulan dan potensi masing-masing daerah. Meski demikian, dalam pelaksanaannya hingga kini masih terdapat banyak permasalahan, termasuk ketimpangan pembangunan dan fiskal yang masih tinggi antar wilayah di Indonesia.

Ketimpangan ekonomi masih menjadi tantangan besar bagi Indonesia. Struktur perekonomian Indonesia secara spasial masih menghadapi ketimpangan ekonomi antar wilayah, baik ketimpangan antarpulau, antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTl), serta antara daerah tertinggal dan daerah maju. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, sekitar 80,32% kontribusi wilayah terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional masih berasal dari kawasan Barat khususnya Pulau Jawa dan Sumatera. Pulau Jawa – yang mencakup provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur – masih mendominasi denyut ekonomi Indonesia dengan kontribusi sebesar 59% terhadap PDB nasional. Angka tersebut kontras dengan Maluku dan Papua yang mencatatkan kontribusi terendah terhadap PDB nasional yakni hanya sebesar 2,24%, dengan pertumbuhan mengalami kontraksi atau minus 7,4%. Selain itu, ketimpangan yang ditandai dengan Rasio Gini menunjukkan adanya peningkatan dari 0.350 di tahun 1965 menjadi 0.381 di tahun 2020. Oleh sebab itu, kini saatnya pemerintah perlu berupaya keras dan memberikan perhatian serius dalam menangani kasus ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia.

Di sisi lain, meski kondisi ketimpangan pembangunan masih tinggi, namun sejatinya kesenjangan kemampuan keuangan antar daerah menunjukkan tren semakin berkurang dari 0,72 pada tahun 2015 menjadi 0,558 pada tahun 2019. Selain itu, penerimaan pajak daerah terhadap produk domestik regional bruto dari tahun 2015-2019 juga mengalami peningkatan sebesar 47,22%. Perbaikan kondisi keuangan daerah tersebut sejalan dengan perkembangan TKDD sebagai sumber pendanaan pembangunan daerah yang terus mengalami peningkatan secara signifikan dari hanya Rp33.1 T di tahun 2000 menjadi Rp795.5 T di tahun 2021. Alokasi Transfer ke Daerah telah mencapai kurang lebih 1/3 APBN dalam rangka mendukung pelaksanaan pembangunan daerah oleh entitas yang lebih dekat dan lebih memahami kebutuhan masyarakatnya.

Hubungan tak searah antara perkembangan ketimpangan pembangunan yang masih tinggi dan ketimpangan fiskal yang kian berkurang menunjukkan bahwa penyebab kesenjangan pembangunan adalah adanya korelasi input (pendanaan) & output/outcome yang lemah. Hal ini mengingat bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menjadi tanggung jawab langsung masing-masing kepala daerah dan pemerintah pusat mengalami kesulitan untuk melakukan kontrol terhadap penggunaan dana APBD. Pembangunan daerah memiliki dampak yang berbeda di setiap wilayah. Tidak heran jika pembangunan di tiap daerah tidak merata karena tergantung kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) didalamnya, khususnya kepemimpinan kepala daerahnya.

Asimetris Desentralisasi

Salah satu tantangan serius yang menyertai perjalanan desentralisasi dan otonomi daerah hari ini terletak pada keragaman budaya dan luas wilayah di Indonesia menuntut kebijakan desentralisasi yang mampu meng-capture dinamika daerah. Artinya, one policy fits for all, tampaknya tak tepat untuk di terapkan di Indonesia. Masing-masing daerah memiliki karakteristik berbeda-beda yang dalam derajat tertentu tidak bisa digeneralisasi. Hal tersebut berdampak terhadap format desentralisasi yang dibangun suatu negara. Format desentralisasi yang terlalu mengeneralisasikan (Desentralisasi Homogen/Simetris) sering menjadi pilihan suatu negara dalam menjalankan manajemen pemerintahan daerah karena mempermudah kontrol pemerintah pusat, namun yang sering terjadi adalah inefisiensi karena kebijakan yang diterapkan tidak sesuai kebutuhan.

Sistem kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang uniform atau simetris (symmetrical decentralization) di Indonesia akan menyebabkan ketidakseimbangan fiskal secara horizontal (horizontal fiscal imbalances), terutama Indonesia bagian barat dan timur, Jawa dan luar Jawa, kota dan pedesaan. Oleh sebab itu indonesia menerapkan assymetric decentralization, berupa otonomi khusus yang memang memperkuat akselerasi untuk mengejar ketertinggalan. Desentralisasi asimetris adalah otonomi yang diterapkan di sebuah negara dengan prinsip tak sama dan tak sebangun. Format desentralisasi heterogen (asimetris) dijadikan alternatif kebijakan dalam mengatasi tantangan keberagaman di Indonesia. Pelaksanaan desentralisasi asimetris merupakan sebuah konsekuensi logis dalam praktek demokrasi di Indonesia. Bentuk daerah istimewa dalam desentralisasi memberikan kewenangan bagi daerah sebagai apresiasi nilai historis sebuah daerah. Selain itu, bentuk otonomi khusus merupakan jawaban atas ketertinggalan ekonomi dan kesenjangan pembangunan manusia.

Penghujung UU Otonomi Khusus

Otonomi khusus (Otsus) Papua akan berakhir pada 2021. Otsus Papua diatur dalam UU No 21/2001 dan perubahan dalam UU Nomor 35/2008. UU Otsus berlaku di Papua dan Papua Barat. Otsus Papua lahir dari ketidakpuasan masyarakat Papua atas situasi sipil politik, ekonomi, sosial, dan budaya di Papua. Era reformasi ikut membawa pengaruh pada kebijakan Indonesia di Papua. Pemerintah pun menetapkan otsus. Melalui kebijakan ini, negara memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada rakyat Papua mengatur diri sendiri, namun tetap dalam kerangka Republik Indonesia.

Selama dua dekade otsus Papua berjalan, kekecewaan masyarakat adat atas masalah hutan dan lahan masih belum usai. Konflik antara masyarakat dengan perusahaan dan pemerintah terjadi di banyak tempat di Papua. Tidak jarang berakhir kekerasan. Data Forest Watch Indonesia juga menunjukkan, laju deforestasi di Papua. Pada periode 2000-2009, laju deforestasi di bioregion Papua seluas 60.300 hektar pertahun. Meningkat tiga kali lipat pada periode 2009-2013 seluas 171.900 hektar pertahun. Periode selanjutnya, 2013- 2017, laju deforestasi pun makin meningkat jadi 189.300 hekatr pertahun.

Pada penerapan UU Otsus Papua memang terdapat berbagai kendala sehingga belum berjalan optimal. Meski demikian, mengingat keunikan serta keberagaman wilayah Indonesia yang tidak bisa disamaratakan hanya dengan satu kebijakan terpusat dapat menjadi pertimbangan penting bagi pemerintah untuk melanjutkan UU Otsus dengan mengevaluasi dan memperbaiki berbagai kelemahan yang ditemukan oleh pihak pemerintah, khususnya di aspek pembangunan daerah yang berjalan sangat lamban. Selain itu dalam proses evaluasi UU Otsus pemerintah perlu melibatkan seluruh komponen baik pemerintah pusat dan DPR, Gubernur setempat beserta DPRD dan MRP dan seluruh masyarakat adat untuk membicarakan RUU sehingga tercapai kesejahteraan masyarakat yang lebih baik ke depan. Semoga.
(war)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1196 seconds (0.1#10.140)