TePI Minta Pengguna Data Pemilih untuk Kejahatan Harus Dihukum Berat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeirry Sumampow berpendapat persoalan data pemilih di Komisi Pemilihan Umum (KPU) memang dilematis. Hal tersebut dikatakan Jeirry menyikapi informasi dugaan kebocoran data pemilih di Indonesia yang diungkap akun Twitter @underthebreach.
"Jika data itu ditutup karena potensi kejahatan yang bisa saja muncul, maka akan repot juga. Sebab faktanya soal data pemilih kita tak pernah bisa baik sejak pemilu pertama pasca reformasi digelar," ujar Jeirry kepada SINDOnews, Sabtu (23/5/2020). (Baca juga: Data KPU Bocor, Pengamat: Ada Peluang Bagi Kejahatan Siber)
Jadi, kata dia, kalau data pemilih tertutup dan tak bisa dikontrol publik maka potensi semakin banyak orang kehilangan hak pilih akan makin besar. Jadi, lanjut dia, data pemilih yang terbuka itu memberikan ruang bagi publik untuk melakukan kontrol terhadap hak pilihnya dan terhadap kinerja KPU dan pemerintah dalam menyajikan datang yang valid.
"Dalam konteks ini, perbaikan dan peningkatan kinerja pemerintah dalam menyajikan data yang benar dan valid menjadi kunci," katanya.
Sebab, lanjut dia, data awal memang dari pemerintah melalui Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil). Begitu juga, perbaikan dan peningkatan serta profesionalitas kinerja KPU dalam soal pemutahiran data pemilih merupakan kunci kepercayaan publik terhadap data pemilih itu.
Artinya, tutur Jeirry, jika kedua lembaga tersebut mampu memberikan jaminan data yang benar dan valid sehingga pemilih tak khawatir kehilangan hak pilih maka ketertutupan data tak akan dipersoalkan. "Ke depan, memang harus diatur secara tegas bahwa orang yang menggunakan data itu untuk kepentingan kejahatan harus dihukum seberat-beratnya. Supaya ada efek jera," tegasnya.
Di samping itu, dia meminta agar berita atau cerita tentang data dibobol itu jangan jadi alibi untuk KPU bekerja tertutup atau juga jadi alasan pemerintah jadi bekerja tertutup. (Baca juga: Ratusan Data KPU Bocor, Kominfo Lakukan Penyelidikan)
"Jadi soal keamanan data ini, solusinya bukan ketertutupan data. Itu keliru. Solusinya ada di pengelolaan data dan mekanisme keterbukaan. Juga perbaikan dan peningkatan kinerja agar bisa meningkatkan kepercayaan publik," pungkasnya.
"Jika data itu ditutup karena potensi kejahatan yang bisa saja muncul, maka akan repot juga. Sebab faktanya soal data pemilih kita tak pernah bisa baik sejak pemilu pertama pasca reformasi digelar," ujar Jeirry kepada SINDOnews, Sabtu (23/5/2020). (Baca juga: Data KPU Bocor, Pengamat: Ada Peluang Bagi Kejahatan Siber)
Jadi, kata dia, kalau data pemilih tertutup dan tak bisa dikontrol publik maka potensi semakin banyak orang kehilangan hak pilih akan makin besar. Jadi, lanjut dia, data pemilih yang terbuka itu memberikan ruang bagi publik untuk melakukan kontrol terhadap hak pilihnya dan terhadap kinerja KPU dan pemerintah dalam menyajikan datang yang valid.
"Dalam konteks ini, perbaikan dan peningkatan kinerja pemerintah dalam menyajikan data yang benar dan valid menjadi kunci," katanya.
Sebab, lanjut dia, data awal memang dari pemerintah melalui Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil). Begitu juga, perbaikan dan peningkatan serta profesionalitas kinerja KPU dalam soal pemutahiran data pemilih merupakan kunci kepercayaan publik terhadap data pemilih itu.
Artinya, tutur Jeirry, jika kedua lembaga tersebut mampu memberikan jaminan data yang benar dan valid sehingga pemilih tak khawatir kehilangan hak pilih maka ketertutupan data tak akan dipersoalkan. "Ke depan, memang harus diatur secara tegas bahwa orang yang menggunakan data itu untuk kepentingan kejahatan harus dihukum seberat-beratnya. Supaya ada efek jera," tegasnya.
Di samping itu, dia meminta agar berita atau cerita tentang data dibobol itu jangan jadi alibi untuk KPU bekerja tertutup atau juga jadi alasan pemerintah jadi bekerja tertutup. (Baca juga: Ratusan Data KPU Bocor, Kominfo Lakukan Penyelidikan)
"Jadi soal keamanan data ini, solusinya bukan ketertutupan data. Itu keliru. Solusinya ada di pengelolaan data dan mekanisme keterbukaan. Juga perbaikan dan peningkatan kinerja agar bisa meningkatkan kepercayaan publik," pungkasnya.
(kri)