Mantan Direksi Tiga Pilar Diduga Lakukan Tindak Pidana Pasar Modal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dua mantan Direksi PT Tiga Pilar Sejahtera Tbk (AISA), yaitu Joko Mogoginta dan Budhi Istanto diduga melakukan tindak pidana pasar modal. Hal itu dikuatkan dari pemaparan saksi ahli Chairul Huda, dosen Hukum Pidana Universitas Muhamadiyah Jakarta dalam sidang lanjutan perkara manipulasi laporan keuangan perseroan pada 2017, Kamis (20/5/2021) di Pengadilan Negara Jakarta Selatan.
“Manipulasi laporan keuangan merupakan tindak pidana dalam UU Pasar Modal,” ujar Chaerul menjawab pertanyaan majelis hakim terkait manipulasi Laporan Keuangan yang didakwakan terhadap dua mantan direksi AISA.
Seperti diketahui, mantan Direktur Utama Joko Mogoginta dan mantan Direktur Budhi Istanto merupakan orang yang menandatangani Laporan Keuangan perseroan pada 2017. Dalam laporan keuangan tersebut terdapat penggelembungan (overstatement) piutang enam distributor dari yang sebenarnya Rp200 miliar menjadi ditulis Rp1,6 triliun. Oleh karenanya, Joko dan Budhi dinilai menjadi pihak yang bertanggung jawab atas manipulasi laporan tersebut. Baca Juga: Bos Tiga Pilar Jelaskan Kasus Beras Oplosan
Adapun keenam distributor yang sejatinya merupakan afiliasi perseroan justru dicatat sebagai pihak ketiga. Hal tersebut dilakukan untuk mendongkrak harga saham Tiga Pilar. Selain karena menjadi pihak yang membubuhkan tanda tangan pada Laporan Keuangan Tiga Pilar 2017, Joko dan Budhi bisa dianggap bertanggung jawab lantaran dalam hukum perseroan, seseorang bisa bertanggung jawab atas perbuatan orang lain. “Ada batasan saat tanggung jawab beralih dari korporasi ke pribadi. Misalnya saat seseorang bertindak di luar kewenangannya. Seseorang bisa bertanggung jawab atas perbuatan orang lain,” sambung Chaerul.
Pada sidang-sidang sebelumnya turut terungkap bahwa Koordinator Keuangan Tiga Pilar Sjambiri Lioe mengaku mendapat instruksi dari Joko untuk melakukan overstatement piutang dalam laporan keuangan perseroan. Instruksi itu bahkan telah dilakukan sejak 2014.
Chaerul juga turut menjelaskan adanya aspek penyertaan dalam suatu tindak pidana, dimana aktor intelektual bakal tetap dihukum pidana meski tindakan pidananya sendiri dilakukan oleh orang lain. “Ada dua bentuk pertama suruhan, dan anjuran. Jika yang terjadi suruhan maka yang dipidana hanya yang menyuruh. Sementara kalau anjuran, baik yang melakukan tindak pidana maupun yang menganjurkan bisa dipidana,” sambungnya.
Sementara untuk Budhi, secara khusus dinilai telah memenuhi unsur penipuan sesuai pasal 378 KUHP. Alasannya ia merupakan direksi yang membawahi fungsi personalia perseroan, sehingga seharusnya tidak dapat menandatangani laporan keuangan. Sesuai aturan OJK, hanya direktur utama, dan direktur yang membawahi fungsi akuntansi dan keuangan yang dapat menandatangani laporan. “Jika yang tandatangan merupakan direktur HRD, artinya tindakannya itu di luar kewenangannya. Ini merupakan penggunaan martabat palsu,” ungkap Chaerul.
Dalam proses sidang, Chaerul sangat lugas dalam memberikan pendapat ahlinya. Ia bahkan sempat beberapa kali menolak memberikan jawaban dari kuasa hukum Joko dan Budhi yang berkali-kali pertanyaannya mengarah pada fakta persidangan. Alhasil Ketua Majelis Hakim Ahmad Sayuti pun sempat memberikan teguran kepada kuasa hukum terdakwa. "Tolong saudara jangan bertanya terkait fakta persidangan. Karena fakta persidangan juga belum tentu benar. Tanyakan terkait keahlian saksi," kata Ketua Majelis Hakim.
Sebelumnya, pakar hukum bisnis Yudho Taruno Muryanto yang pernah dihadirkan sebagai saksi ahli juga menyebut bahwa manipulasi Laporan Keuangan AISA 2017 merupakan tindak penipuan pasar modal. Ini sesuai dengan pasal 90, dan 93 UU 8/1995 tentang Pasar Modal. Tindakan manipulasi tersebut dinilai Yudho memberikan kerugian pada investor dan pelaku pasar. “Karena dapat membuat kondisi perusahaan terlihat baik yang kemudian berakibat pada keputusan para investor untuk melakukan transaksi (saham),” katanya.
Apalagi sejak gagal membayar obligasi pada tahun 2018, saham Tiga Pilar juga disuspensi. Pada saat periode suspensi perdagangan dilakukan, investor tidak bisa menjual atau membeli saham. Oleh karenanya, para investor retail yang tergabung dalam Forum Investor Retail AISA (Forsa) menggugat Joko dan Budhi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Atas perbuatannya itu, Jaksa Penuntut Umum mendakwa Joko dan Budhi dengan UU 8/1995 tentang Pasar Modal. Jika terbukti bersalah, keduanya bisa dihukum penjara maksimum 10 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar.
“Manipulasi laporan keuangan merupakan tindak pidana dalam UU Pasar Modal,” ujar Chaerul menjawab pertanyaan majelis hakim terkait manipulasi Laporan Keuangan yang didakwakan terhadap dua mantan direksi AISA.
Seperti diketahui, mantan Direktur Utama Joko Mogoginta dan mantan Direktur Budhi Istanto merupakan orang yang menandatangani Laporan Keuangan perseroan pada 2017. Dalam laporan keuangan tersebut terdapat penggelembungan (overstatement) piutang enam distributor dari yang sebenarnya Rp200 miliar menjadi ditulis Rp1,6 triliun. Oleh karenanya, Joko dan Budhi dinilai menjadi pihak yang bertanggung jawab atas manipulasi laporan tersebut. Baca Juga: Bos Tiga Pilar Jelaskan Kasus Beras Oplosan
Adapun keenam distributor yang sejatinya merupakan afiliasi perseroan justru dicatat sebagai pihak ketiga. Hal tersebut dilakukan untuk mendongkrak harga saham Tiga Pilar. Selain karena menjadi pihak yang membubuhkan tanda tangan pada Laporan Keuangan Tiga Pilar 2017, Joko dan Budhi bisa dianggap bertanggung jawab lantaran dalam hukum perseroan, seseorang bisa bertanggung jawab atas perbuatan orang lain. “Ada batasan saat tanggung jawab beralih dari korporasi ke pribadi. Misalnya saat seseorang bertindak di luar kewenangannya. Seseorang bisa bertanggung jawab atas perbuatan orang lain,” sambung Chaerul.
Pada sidang-sidang sebelumnya turut terungkap bahwa Koordinator Keuangan Tiga Pilar Sjambiri Lioe mengaku mendapat instruksi dari Joko untuk melakukan overstatement piutang dalam laporan keuangan perseroan. Instruksi itu bahkan telah dilakukan sejak 2014.
Chaerul juga turut menjelaskan adanya aspek penyertaan dalam suatu tindak pidana, dimana aktor intelektual bakal tetap dihukum pidana meski tindakan pidananya sendiri dilakukan oleh orang lain. “Ada dua bentuk pertama suruhan, dan anjuran. Jika yang terjadi suruhan maka yang dipidana hanya yang menyuruh. Sementara kalau anjuran, baik yang melakukan tindak pidana maupun yang menganjurkan bisa dipidana,” sambungnya.
Sementara untuk Budhi, secara khusus dinilai telah memenuhi unsur penipuan sesuai pasal 378 KUHP. Alasannya ia merupakan direksi yang membawahi fungsi personalia perseroan, sehingga seharusnya tidak dapat menandatangani laporan keuangan. Sesuai aturan OJK, hanya direktur utama, dan direktur yang membawahi fungsi akuntansi dan keuangan yang dapat menandatangani laporan. “Jika yang tandatangan merupakan direktur HRD, artinya tindakannya itu di luar kewenangannya. Ini merupakan penggunaan martabat palsu,” ungkap Chaerul.
Dalam proses sidang, Chaerul sangat lugas dalam memberikan pendapat ahlinya. Ia bahkan sempat beberapa kali menolak memberikan jawaban dari kuasa hukum Joko dan Budhi yang berkali-kali pertanyaannya mengarah pada fakta persidangan. Alhasil Ketua Majelis Hakim Ahmad Sayuti pun sempat memberikan teguran kepada kuasa hukum terdakwa. "Tolong saudara jangan bertanya terkait fakta persidangan. Karena fakta persidangan juga belum tentu benar. Tanyakan terkait keahlian saksi," kata Ketua Majelis Hakim.
Sebelumnya, pakar hukum bisnis Yudho Taruno Muryanto yang pernah dihadirkan sebagai saksi ahli juga menyebut bahwa manipulasi Laporan Keuangan AISA 2017 merupakan tindak penipuan pasar modal. Ini sesuai dengan pasal 90, dan 93 UU 8/1995 tentang Pasar Modal. Tindakan manipulasi tersebut dinilai Yudho memberikan kerugian pada investor dan pelaku pasar. “Karena dapat membuat kondisi perusahaan terlihat baik yang kemudian berakibat pada keputusan para investor untuk melakukan transaksi (saham),” katanya.
Apalagi sejak gagal membayar obligasi pada tahun 2018, saham Tiga Pilar juga disuspensi. Pada saat periode suspensi perdagangan dilakukan, investor tidak bisa menjual atau membeli saham. Oleh karenanya, para investor retail yang tergabung dalam Forum Investor Retail AISA (Forsa) menggugat Joko dan Budhi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Atas perbuatannya itu, Jaksa Penuntut Umum mendakwa Joko dan Budhi dengan UU 8/1995 tentang Pasar Modal. Jika terbukti bersalah, keduanya bisa dihukum penjara maksimum 10 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar.
(cip)