Tata Kelola Bencana dan Penguatan BNPB
loading...
A
A
A
Perlu dipahami bahwa keberhasilan kita dalam meminimalkan risiko, dampak, bencana akan memberikan rasa aman bagi investor dalam berinvestasi. Untuk itu, penting dan sangat mendesak melakukan penguatan kelembagaan BNPB, bukan mengerdilkannya. Penulis berpandangan seharusnya kelembagaan BNPB harus dinaikkan setingkat menteri, bukan melalui perpres.
Afirmasi Kebijakan
Masa kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo seharusnya dimanfaatkan untuk meyakinkan masyarakat bahwa ekonomi Indonesia akan tumbuh apabila risiko dan dampak bencana bisa diminimalkan. Meminimalisasi risiko dan dampak bencana harus dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi. Kegagalan deteksi tsunami Palu dan Selat Sunda adalah bagian dari pembelajaran yang tidak boleh lagi terjadi. Setiap lembaga atau badan merasa benar dengan data dan mekanisme serta gaya kerja masing-masing.
Untuk itu, penulis yakin hal penting yang diperlukan adalah pertama, perlu sistem satu komando dari semua badan, dan lembaga terkait kebencanaan, termasuk badan penanggulangan bencana daerah (BPBD) dalam manajemen data kebencanaan. Kedua, perlu kebijakan pengembangan sains dan teknologi berbasis bencana. Ketiga, perlu kebijakan keuangan dan tata kelola manajemen kebencanaan.
Pertama, mengapa penting menempatkan sistem data sebagai ruh manajemen kebencanaan? Sebagai sektor basis yang diperlukan untuk mendukung sektor ekonomi, maka data kebencanaan harus dalam satu komando dan satu ruang kendali. Informasi iklim, oseanografi, geologi bekerja serentak dalam satu sistem data terintegrasi (Big Data). Perubahan iklim dalam ruang spasial dinamik, termasuk darat dan laut menjadi data realtime dari pusat data. Begitu juga informasi curah hujan yang berpotensi menyebabkan longsor, banjir, dan angin kencang. Kemudian juga peta rawan kering dan bencana kebakaran. Satu komando dalam perencanaan, mitigasi, tindakan penanggulangan dan perbaikan menjadi penting dalam manajemen bencana.
Kedua, afirmasi kebijakan pengembangan sains, ilmu pengetahuan dan teknologi kebencanaan. Sains kebencanaan adalah sebuah berkah sebagai sumber ilmu pengetahuan yang dapat diandalkan Indonesia. Keberadaan gunung api, palung dan lempeng laut, sungai, posisi di dua lintang, struktur batuan, sejarah dan budaya menjadi laboratorium alam bagi ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) kebencanaan.
Afirmasi ketiga adalah keuangan dalam manajemen kebencanaan. Alokasi dana dalam skema pooling fund sebesar Rp1 triliun dan usulan Rp15 triliun untuk Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) harus dirancang sesuai kebutuhan dan kemanfaatan. Kelembagaan yang terlibat dan aktif dalam riset kebencanaan dan penanggulangan bencana sangat banyak. Dengan keberadaan satu ruang manajemen kebencanaan, maka secara otomatis akan memperkuat sistem kerja kebencanaan dengan dana tersebut.
Dalam konteks rencana perubahan koordinasi fungsi lembaga BNPB, penulis melihat ada upaya untuk melemahkan dan mengecilkan peran dan fungsi lembaga kebencanaan karena akan muncul dualisme. Peran BNPB seharusnya tidak hanya ke dalam ruang tanggap darurat, tetapi juga jaminan keselamatan dari risiko dan kejadian bencana.
Trandisiplin manajemen kata kuncinya adalah sistem manajemen yang kuat, dari mitigasi, aksi cepat tanggap dan rehab rekonstruksi. Ini harus diemban lembaga setingkat menteri. Penunjukan Letjen Doni Monardo menjadi Kepala BNPB akan sangat tepat dengan kualitas dan kapasitasnya jika yang bersangkutan menjalankan kelembagaan setingkat meteri daripada lembaga teknis di bawah kementerian koordinator. Investor juga akan merasa aman berinvestasi jika kelembagaan urusan kebencanaan setingkat meteri.
Tata ulang pengelolaan bencana memerlukan penguatan BNPB, bukan justru mengerdilkannya.
Afirmasi Kebijakan
Masa kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo seharusnya dimanfaatkan untuk meyakinkan masyarakat bahwa ekonomi Indonesia akan tumbuh apabila risiko dan dampak bencana bisa diminimalkan. Meminimalisasi risiko dan dampak bencana harus dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi. Kegagalan deteksi tsunami Palu dan Selat Sunda adalah bagian dari pembelajaran yang tidak boleh lagi terjadi. Setiap lembaga atau badan merasa benar dengan data dan mekanisme serta gaya kerja masing-masing.
Untuk itu, penulis yakin hal penting yang diperlukan adalah pertama, perlu sistem satu komando dari semua badan, dan lembaga terkait kebencanaan, termasuk badan penanggulangan bencana daerah (BPBD) dalam manajemen data kebencanaan. Kedua, perlu kebijakan pengembangan sains dan teknologi berbasis bencana. Ketiga, perlu kebijakan keuangan dan tata kelola manajemen kebencanaan.
Pertama, mengapa penting menempatkan sistem data sebagai ruh manajemen kebencanaan? Sebagai sektor basis yang diperlukan untuk mendukung sektor ekonomi, maka data kebencanaan harus dalam satu komando dan satu ruang kendali. Informasi iklim, oseanografi, geologi bekerja serentak dalam satu sistem data terintegrasi (Big Data). Perubahan iklim dalam ruang spasial dinamik, termasuk darat dan laut menjadi data realtime dari pusat data. Begitu juga informasi curah hujan yang berpotensi menyebabkan longsor, banjir, dan angin kencang. Kemudian juga peta rawan kering dan bencana kebakaran. Satu komando dalam perencanaan, mitigasi, tindakan penanggulangan dan perbaikan menjadi penting dalam manajemen bencana.
Kedua, afirmasi kebijakan pengembangan sains, ilmu pengetahuan dan teknologi kebencanaan. Sains kebencanaan adalah sebuah berkah sebagai sumber ilmu pengetahuan yang dapat diandalkan Indonesia. Keberadaan gunung api, palung dan lempeng laut, sungai, posisi di dua lintang, struktur batuan, sejarah dan budaya menjadi laboratorium alam bagi ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) kebencanaan.
Afirmasi ketiga adalah keuangan dalam manajemen kebencanaan. Alokasi dana dalam skema pooling fund sebesar Rp1 triliun dan usulan Rp15 triliun untuk Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) harus dirancang sesuai kebutuhan dan kemanfaatan. Kelembagaan yang terlibat dan aktif dalam riset kebencanaan dan penanggulangan bencana sangat banyak. Dengan keberadaan satu ruang manajemen kebencanaan, maka secara otomatis akan memperkuat sistem kerja kebencanaan dengan dana tersebut.
Dalam konteks rencana perubahan koordinasi fungsi lembaga BNPB, penulis melihat ada upaya untuk melemahkan dan mengecilkan peran dan fungsi lembaga kebencanaan karena akan muncul dualisme. Peran BNPB seharusnya tidak hanya ke dalam ruang tanggap darurat, tetapi juga jaminan keselamatan dari risiko dan kejadian bencana.
Trandisiplin manajemen kata kuncinya adalah sistem manajemen yang kuat, dari mitigasi, aksi cepat tanggap dan rehab rekonstruksi. Ini harus diemban lembaga setingkat menteri. Penunjukan Letjen Doni Monardo menjadi Kepala BNPB akan sangat tepat dengan kualitas dan kapasitasnya jika yang bersangkutan menjalankan kelembagaan setingkat meteri daripada lembaga teknis di bawah kementerian koordinator. Investor juga akan merasa aman berinvestasi jika kelembagaan urusan kebencanaan setingkat meteri.
Tata ulang pengelolaan bencana memerlukan penguatan BNPB, bukan justru mengerdilkannya.
(bmm)