Waspadai Turbulensi Politik Kabinet Jokowi Tahun 2022
loading...
A
A
A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta untuk mewaspadai terjadinya turbulensi politik pada tahun 2022. Turbulensi dinilai bisa muncul seiring mendekatnya masuknya tahun politik dan krisis ekonomi.
"Ada hal yang harus benar-benar diwaspadai Jokowi agar di tahun 2022 tidak terjadi turbulensi politik akibat perbauran mulai masuknya tahun politik dan terjadinya krisis ekonomi," kata Mochtar Mohammad, kader PDIP yang juga mantan Wali Kota Bekasi, Mochtar Mohamad dalam keterangan tertulisnya, Kamis (22/4/2021).
Mochtar yang mengaku kenal Jokowi sejak tahun 2008 saat sama-sama menjadi wali kota yakin Jokowi akan berhasil menata pemerintah. Kendati demikian, turbulensi politik bisa terjadi jika krisis ekonomi dan situasi politik tidak diimbangi dengan kecakapan kinerja kabinet.
"Ini akan menjadi masalah serius mana kala kabinet Jokowi tidak seirama dan tidak serius dalam mengenali masalahdan menangani masalah," tandas Ketua Deklarasi Capres dan Cawapres 2009 Megawati-Prabowo ini.
Menurut dia, ada beberapa indikator perlu mewaspadai turbuilensi politik pada 2022. Salah satunya kabinet yang didominasi unsur menteri dari partai politik.
Sementara sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tantang Pemilihan Umum, tahapan pencoblosan Pilpres 2024 dan tahapan Pemilu Legislatif 2024 bulan Maret 2024. Sedangkan tahapannya dimulai 20 bulan sebelum pencoblosan.
Itu artinya, kata dia, Juli 2022 sudah masuk tahapan pemilu, baik pilpres maupun pileg. "Menteri dari partai yang berniat menjadi capres, dan berniat untuk menjadi anggota legislatif, pikirannya akan bercabangdi dalam tugasnya sebagai menteridan misi politik dirinya menjelang pileg dan pilpres," tandasnya.
Menurut dia, pada 2022 juga rawan terjadinya penggalangan dana oleh anggota kabinet yang terindikasi punya misi politik di Pilpres 2024. "Mereka rawan melakukan upaya penggelangan dana melaluikewenangan yang melekat pada dirinya untuk kepentingan pribadi," tandasnya.
Krisis ekonomi juga hal yang harus diwaspadai kabinet Jokowi. Sejak 2020 APBN dan APBD terkoreksi ataupun tidak mencapai target, terjadai perubahan parsial ke arah negatif.Di
APBN terjadi pengurangan dana perimbangan (bagi hasil pajak /bagi hasil bukan pajak, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana transfer daerah berkurang).
Bahkan di Jawa Barat beberapa kali perubahan ke arah negatif, dan untuk memenuhi APBD itu harus berutang. Tercatat, Jawa Barat melakukan pinjaman Rp 1,53 triliun (Sumber: LKPJ 2020).
Contoh lain,di beberapa daerah di Jawa Barat pada triwulan pertama tahun 2021 ini sudah melakukan perubahan parsial. "Ini gejala negatif bahwa ancaman krisis itu nyata," ujarnya.
Indikator lainnya, kata dia, tahun 2022 adalah tahun ketiga untuk periode kedua pemerintahan Jokowi, artinya sudah masuk kurva turun kepercayaan publik terhadap pemerintahan yang akan selesai masa pemerintahannya. Ditambah dengan beberapa kebijakan tidak populis seperti larangan mudik Lebaran 2021.
Dia juga mempertanyakan kemampuan kabinet yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dalam hal pangan seperti Kementerian Pertanian dan Kementerian BUMN. Padahal ketahanan dan kedaulatan pangan sebagai penopang utama dalam menghadapi krisis.
"Dengan indikator itu bisa dikatakan kondisi saat ini dan menjelang masuknya tahun politik tahun 2022 adalah kondisi yang menurut istilah Bung Karno adalah Tahun Vivere Pericoloso untuk menggambarkan bahwa Indonesia sedang mengalami masa genting," tuturnya.
Dalam kondisi seperti itu, sambung dia, Presiden Jokowi harus cakap dalam mengidentifikasi masalah, harus lebih tajam dalam mengidentifikasi masalah.
Mochtar menjelaskan ada beberapa cara yang bisa dilakukan Presiden Jokowi. Pertama, battomup planning (musrembang), yang biasanya dilakukan setahun sekali. Minimal harus dua kali dilakukan musrembang, dimana yang kedua difokuskan untuk identifikasi masalah.
Kedua, cara modern, yaitu survei dengan multystagerandom, bisa dipotret per tiga bulan untuk mengidentifikasi persoalan yang dihadapi masyarakat, terutama kebutuhan dasar. "Hasil riset menjadi dasar untuk memperbaiki kebijakan di tahun berjalan guna memperkecil risiko efek negatifdari situasi ekonomi yang melemah," katanya.
Ketiga, TNI/Polri diharapkan mampu melakukan langkah preentif dan preventif terhadap situasi yang mengarah ke gejala social atas situasi yang ada.
Keempat, refocusing APBN untuk kemandirian ekonomi keluarga. Sekadar informasi saat ini menurut Disdukcapil, penduduk Indonesia 271 juta jiwa dengan 86 juta kepala keluarga (KK).
Dari jumlah KK tersebut, jika diasumsikan 50 persen harus dimandirikan ekonominya, maka jumlahnya sekitar 43 juta KK.
"Kalau di tahun 2021 ini bisa ditangani 20 juta KK, maka secara tahap tahun 2022 bisa selesai. Dengan program KUR misalnya Rp10 juta tiap KK maka yang dibutuhkan adalah Rp 200 triliun. Sumber dananya bisa dari APBN, APBD Provinsi, dan APBD Kabupaten/Kota yang disalurkan lewat perbankan nasional," tuturnya.
Kelima, kata dia, di era 4.0 seharusnya menteri memberikan menu progres capaian rencana strategis (renstra) yang bisa dimonitoring oleh Presiden setiap saat.
"Ada hal yang harus benar-benar diwaspadai Jokowi agar di tahun 2022 tidak terjadi turbulensi politik akibat perbauran mulai masuknya tahun politik dan terjadinya krisis ekonomi," kata Mochtar Mohammad, kader PDIP yang juga mantan Wali Kota Bekasi, Mochtar Mohamad dalam keterangan tertulisnya, Kamis (22/4/2021).
Mochtar yang mengaku kenal Jokowi sejak tahun 2008 saat sama-sama menjadi wali kota yakin Jokowi akan berhasil menata pemerintah. Kendati demikian, turbulensi politik bisa terjadi jika krisis ekonomi dan situasi politik tidak diimbangi dengan kecakapan kinerja kabinet.
"Ini akan menjadi masalah serius mana kala kabinet Jokowi tidak seirama dan tidak serius dalam mengenali masalahdan menangani masalah," tandas Ketua Deklarasi Capres dan Cawapres 2009 Megawati-Prabowo ini.
Menurut dia, ada beberapa indikator perlu mewaspadai turbuilensi politik pada 2022. Salah satunya kabinet yang didominasi unsur menteri dari partai politik.
Sementara sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tantang Pemilihan Umum, tahapan pencoblosan Pilpres 2024 dan tahapan Pemilu Legislatif 2024 bulan Maret 2024. Sedangkan tahapannya dimulai 20 bulan sebelum pencoblosan.
Itu artinya, kata dia, Juli 2022 sudah masuk tahapan pemilu, baik pilpres maupun pileg. "Menteri dari partai yang berniat menjadi capres, dan berniat untuk menjadi anggota legislatif, pikirannya akan bercabangdi dalam tugasnya sebagai menteridan misi politik dirinya menjelang pileg dan pilpres," tandasnya.
Menurut dia, pada 2022 juga rawan terjadinya penggalangan dana oleh anggota kabinet yang terindikasi punya misi politik di Pilpres 2024. "Mereka rawan melakukan upaya penggelangan dana melaluikewenangan yang melekat pada dirinya untuk kepentingan pribadi," tandasnya.
Krisis ekonomi juga hal yang harus diwaspadai kabinet Jokowi. Sejak 2020 APBN dan APBD terkoreksi ataupun tidak mencapai target, terjadai perubahan parsial ke arah negatif.Di
APBN terjadi pengurangan dana perimbangan (bagi hasil pajak /bagi hasil bukan pajak, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana transfer daerah berkurang).
Bahkan di Jawa Barat beberapa kali perubahan ke arah negatif, dan untuk memenuhi APBD itu harus berutang. Tercatat, Jawa Barat melakukan pinjaman Rp 1,53 triliun (Sumber: LKPJ 2020).
Contoh lain,di beberapa daerah di Jawa Barat pada triwulan pertama tahun 2021 ini sudah melakukan perubahan parsial. "Ini gejala negatif bahwa ancaman krisis itu nyata," ujarnya.
Indikator lainnya, kata dia, tahun 2022 adalah tahun ketiga untuk periode kedua pemerintahan Jokowi, artinya sudah masuk kurva turun kepercayaan publik terhadap pemerintahan yang akan selesai masa pemerintahannya. Ditambah dengan beberapa kebijakan tidak populis seperti larangan mudik Lebaran 2021.
Dia juga mempertanyakan kemampuan kabinet yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dalam hal pangan seperti Kementerian Pertanian dan Kementerian BUMN. Padahal ketahanan dan kedaulatan pangan sebagai penopang utama dalam menghadapi krisis.
"Dengan indikator itu bisa dikatakan kondisi saat ini dan menjelang masuknya tahun politik tahun 2022 adalah kondisi yang menurut istilah Bung Karno adalah Tahun Vivere Pericoloso untuk menggambarkan bahwa Indonesia sedang mengalami masa genting," tuturnya.
Dalam kondisi seperti itu, sambung dia, Presiden Jokowi harus cakap dalam mengidentifikasi masalah, harus lebih tajam dalam mengidentifikasi masalah.
Mochtar menjelaskan ada beberapa cara yang bisa dilakukan Presiden Jokowi. Pertama, battomup planning (musrembang), yang biasanya dilakukan setahun sekali. Minimal harus dua kali dilakukan musrembang, dimana yang kedua difokuskan untuk identifikasi masalah.
Kedua, cara modern, yaitu survei dengan multystagerandom, bisa dipotret per tiga bulan untuk mengidentifikasi persoalan yang dihadapi masyarakat, terutama kebutuhan dasar. "Hasil riset menjadi dasar untuk memperbaiki kebijakan di tahun berjalan guna memperkecil risiko efek negatifdari situasi ekonomi yang melemah," katanya.
Ketiga, TNI/Polri diharapkan mampu melakukan langkah preentif dan preventif terhadap situasi yang mengarah ke gejala social atas situasi yang ada.
Keempat, refocusing APBN untuk kemandirian ekonomi keluarga. Sekadar informasi saat ini menurut Disdukcapil, penduduk Indonesia 271 juta jiwa dengan 86 juta kepala keluarga (KK).
Dari jumlah KK tersebut, jika diasumsikan 50 persen harus dimandirikan ekonominya, maka jumlahnya sekitar 43 juta KK.
"Kalau di tahun 2021 ini bisa ditangani 20 juta KK, maka secara tahap tahun 2022 bisa selesai. Dengan program KUR misalnya Rp10 juta tiap KK maka yang dibutuhkan adalah Rp 200 triliun. Sumber dananya bisa dari APBN, APBD Provinsi, dan APBD Kabupaten/Kota yang disalurkan lewat perbankan nasional," tuturnya.
Kelima, kata dia, di era 4.0 seharusnya menteri memberikan menu progres capaian rencana strategis (renstra) yang bisa dimonitoring oleh Presiden setiap saat.
(dam)