Melawan Industri untuk Menyembuhkan Sungai
loading...
A
A
A
GRESIK - Lebih dari 25 tahun Prigi Arisandi mengedukasi masyarakat tentang bahaya pencemaran sungai di Pulau Jawa, terutama Brantas. Kenyang dengan ancaman karena berhadapan dengan industri besar.
Sejak duduk di bangku kuliah di Jurusan Biologi Universitas Airlangga (Unair), hidup Prigi sudah berkutat dengan upaya penyelamatan ekosistem sungai di Surabaya dan daerah lain di Indonesia. Selepas berkubang dengan kotornya air sungai, Prigi dan teman-teman membawa sampel air ke laboratorium untuk mengetahui seberapa parah pencemaran yang terjadi.
Selesai sampai di situ? Tidak. Prigi bersama lembaga Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) kemudian menjelaskan temuannya itu kepada masyarakat dan pemerintah. Bahkan, Prigi dan Ecoton tak segan melakukan demonstrasi untuk mengecam pemerintah pusat, daerah (pemda), dan industri yang abai dan mencemari air sungai.
“Arah pembangunan kita tidak banyak berpihak pada lingkungan. Regulasi dibuat untuk melindungi investasi. Kebijakan dibuat untuk privilege pada upaya-upaya perusakan sungai. Sebuah hal yang ironi. Kita di Surabaya itu 98 persen mengonsumsi air (Sungai) Brantas,” ujarnya saat dihubungi Koran SINDO, Selasa (20/4) malam.
Ecoton menilai pemerintah tidak melakukan upaya perlindungan yang maksimal terhadap sungai. Padahal, keberadaannya sangat vital bagi kehidupan masyarakat. Ada dua temuan sederhana yang saling berkebalikan dan menunjukkan belum terbangunnya kesadaran masyarakat. Satu sisi, air sungai itu digunakan untuk minum. Di sisi lain, masyarakat membuat 1,5 juta popok per hari.
Banyak industri melakukan pelanggaran tapi minim penegakan hukum. Rentetan permasalahan dan pengalaman ini, yang membawa Prigi berjuang mengajak masyarakat untuk peduli terhadap lingkungan. Sebab, ini terkait dengan masa depan kehidupan manusia.
“Saya ini sangat tergantung dengan Sungai Brantas. Saya tidak ingin anak-anak tidak merasa apa yang dulu saya rasakan. Saya harus bersuara. Saya harus melakukan upaya-upaya pembelaan terhadap sungai,” tuturnya.
Pria kelahiran 1976 itu tentu sadar tak bisa sendirian melakukan kerja besar ini. Dia berusaha keras mengajak masyarakat ikut berpartisipasi untuk menjaga sungai. Caranya, menumbuhkan rasa memiliki terhadap sungai. Dengan begitu, masyarakat akan melindungi sungai.
Hari ini, kita kerap dipertontonkan orang-orang yang membuang sampah ke sungai. Kala melintasi sungai, kita menyaksikan tumpukan aneka sampah yang tersangkut di pinggir sungai. Bahkan, ada yang membentuk gundukan di tengah aliran sungai. Sungai menjadi tempat sampah besar. Tanpa disadari itu merusak ekosistemnya.
Untuk membuat masyarakat percaya tentang pencemaran dan bahayanya, Prigi dan Ecoton selalu memulai dengan penelitian terhadap kandungan mikroplastik dan logam berat. Juga menginvestigasi keberadaan dan pengolahan sampah-sampah impor. Setelah data dan fakta terkumpul, dibentuk kelompok-kelompok masyarakat yang kritis terhadap masalah ini.
Sejak duduk di bangku kuliah di Jurusan Biologi Universitas Airlangga (Unair), hidup Prigi sudah berkutat dengan upaya penyelamatan ekosistem sungai di Surabaya dan daerah lain di Indonesia. Selepas berkubang dengan kotornya air sungai, Prigi dan teman-teman membawa sampel air ke laboratorium untuk mengetahui seberapa parah pencemaran yang terjadi.
Selesai sampai di situ? Tidak. Prigi bersama lembaga Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) kemudian menjelaskan temuannya itu kepada masyarakat dan pemerintah. Bahkan, Prigi dan Ecoton tak segan melakukan demonstrasi untuk mengecam pemerintah pusat, daerah (pemda), dan industri yang abai dan mencemari air sungai.
“Arah pembangunan kita tidak banyak berpihak pada lingkungan. Regulasi dibuat untuk melindungi investasi. Kebijakan dibuat untuk privilege pada upaya-upaya perusakan sungai. Sebuah hal yang ironi. Kita di Surabaya itu 98 persen mengonsumsi air (Sungai) Brantas,” ujarnya saat dihubungi Koran SINDO, Selasa (20/4) malam.
Ecoton menilai pemerintah tidak melakukan upaya perlindungan yang maksimal terhadap sungai. Padahal, keberadaannya sangat vital bagi kehidupan masyarakat. Ada dua temuan sederhana yang saling berkebalikan dan menunjukkan belum terbangunnya kesadaran masyarakat. Satu sisi, air sungai itu digunakan untuk minum. Di sisi lain, masyarakat membuat 1,5 juta popok per hari.
Banyak industri melakukan pelanggaran tapi minim penegakan hukum. Rentetan permasalahan dan pengalaman ini, yang membawa Prigi berjuang mengajak masyarakat untuk peduli terhadap lingkungan. Sebab, ini terkait dengan masa depan kehidupan manusia.
“Saya ini sangat tergantung dengan Sungai Brantas. Saya tidak ingin anak-anak tidak merasa apa yang dulu saya rasakan. Saya harus bersuara. Saya harus melakukan upaya-upaya pembelaan terhadap sungai,” tuturnya.
Pria kelahiran 1976 itu tentu sadar tak bisa sendirian melakukan kerja besar ini. Dia berusaha keras mengajak masyarakat ikut berpartisipasi untuk menjaga sungai. Caranya, menumbuhkan rasa memiliki terhadap sungai. Dengan begitu, masyarakat akan melindungi sungai.
Hari ini, kita kerap dipertontonkan orang-orang yang membuang sampah ke sungai. Kala melintasi sungai, kita menyaksikan tumpukan aneka sampah yang tersangkut di pinggir sungai. Bahkan, ada yang membentuk gundukan di tengah aliran sungai. Sungai menjadi tempat sampah besar. Tanpa disadari itu merusak ekosistemnya.
Untuk membuat masyarakat percaya tentang pencemaran dan bahayanya, Prigi dan Ecoton selalu memulai dengan penelitian terhadap kandungan mikroplastik dan logam berat. Juga menginvestigasi keberadaan dan pengolahan sampah-sampah impor. Setelah data dan fakta terkumpul, dibentuk kelompok-kelompok masyarakat yang kritis terhadap masalah ini.