Biarkan Rakyat Mengurus Moralnya Sendiri
loading...
A
A
A
Ichwan Arifin
Alumnus Pascasarjana Undip Semarang
MASALAH moral, masalah akhlak, biar kami cari sendiri. Urus saja moralmu, urus saja akhlakmu. Peraturan yang sehat yang kami mau… (Iwan Fals; Manusia Setengah Dewa).
Spontan teringat lagu yang dinyanyikan Iwan Fals tersebut saat membaca berita razia para pedagang makanan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemerintah Kota (Pemkot) Serang di awal puasa ini. Para pedagang, sebagian besar para ibu atau emak-emak itu, tak kuasa menghadapi ketegasan petugas.
Penolakan dan tangis iba para pedagang diabaikan. Warung dipaksa tutup. Bahkan, sebagian makanan dan alat masak juga ikut disita.
Pemkot Serang nampaknya sedang sibuk menata moralitas. Sayangnya, bukan moralitas aparatur birokrasi pemeritahan yang ditata, namun justru rakyat yang jadi korbannya.
Razia dilakukan dengan alasan menciptakan kekhusyukan bulan Ramadhan, sekaligus melaksanakan Perda No 10/2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat (Pekat). Operasionalisasinya merujuk pada Perwalkot No 41/2017 tentang Peraturan Pelaksanaan Perda No 2/2010.
Disebutkan, razia dapat dilakukan pada kegiatan yang dilarang pada bulan Ramadhan. Namun tidak disebutkan jenis kegiatan apa yang dilarang. Apakah membuka warung makan merupakan kegiatan yang dilarang atau tidak, sebenarnya juga tidak jelas.
Saat jadi viral, Pemkot Serang berdalih kebijakan itu hanya imbauan. Faktanya, aparat memaknainya sebagai instruksi. Mungkin ditingkat aparat pelaksana dapat dimaklumi, mereka hanya menjalankan perintah atasan. Namun, sulit dipahami adalah pola pikir para pejabat Kota Serang (eksekutif dan legislatif) saat menerbitkan peraturan tersebut.
Apa outcome yang didapat dari kebijakan publik tersebut? Belum lagi implementasi kebijakan di lapangan yang berpotensi menimbulkan keresahan dan menyusahkan kehidupan masyarakat.
Sebenarnya, negara melalui pemerintah pusat sudah memberikan contoh dengan membubarkan organisasi masyarakat yang dulu sering melakukan hal serupa. Maka sangat disayangkan, jika saat ini justru aparat negara yang melakukannya. Hasilnya, bukan Ramadhan yang penuh kekhusyukan, tapi justru kegaduhan sosial.
Alumnus Pascasarjana Undip Semarang
MASALAH moral, masalah akhlak, biar kami cari sendiri. Urus saja moralmu, urus saja akhlakmu. Peraturan yang sehat yang kami mau… (Iwan Fals; Manusia Setengah Dewa).
Spontan teringat lagu yang dinyanyikan Iwan Fals tersebut saat membaca berita razia para pedagang makanan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemerintah Kota (Pemkot) Serang di awal puasa ini. Para pedagang, sebagian besar para ibu atau emak-emak itu, tak kuasa menghadapi ketegasan petugas.
Penolakan dan tangis iba para pedagang diabaikan. Warung dipaksa tutup. Bahkan, sebagian makanan dan alat masak juga ikut disita.
Pemkot Serang nampaknya sedang sibuk menata moralitas. Sayangnya, bukan moralitas aparatur birokrasi pemeritahan yang ditata, namun justru rakyat yang jadi korbannya.
Razia dilakukan dengan alasan menciptakan kekhusyukan bulan Ramadhan, sekaligus melaksanakan Perda No 10/2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat (Pekat). Operasionalisasinya merujuk pada Perwalkot No 41/2017 tentang Peraturan Pelaksanaan Perda No 2/2010.
Disebutkan, razia dapat dilakukan pada kegiatan yang dilarang pada bulan Ramadhan. Namun tidak disebutkan jenis kegiatan apa yang dilarang. Apakah membuka warung makan merupakan kegiatan yang dilarang atau tidak, sebenarnya juga tidak jelas.
Saat jadi viral, Pemkot Serang berdalih kebijakan itu hanya imbauan. Faktanya, aparat memaknainya sebagai instruksi. Mungkin ditingkat aparat pelaksana dapat dimaklumi, mereka hanya menjalankan perintah atasan. Namun, sulit dipahami adalah pola pikir para pejabat Kota Serang (eksekutif dan legislatif) saat menerbitkan peraturan tersebut.
Apa outcome yang didapat dari kebijakan publik tersebut? Belum lagi implementasi kebijakan di lapangan yang berpotensi menimbulkan keresahan dan menyusahkan kehidupan masyarakat.
Sebenarnya, negara melalui pemerintah pusat sudah memberikan contoh dengan membubarkan organisasi masyarakat yang dulu sering melakukan hal serupa. Maka sangat disayangkan, jika saat ini justru aparat negara yang melakukannya. Hasilnya, bukan Ramadhan yang penuh kekhusyukan, tapi justru kegaduhan sosial.