Spirit Filantropi Bulan Ramadan
loading...
A
A
A
Subhan Setowara
Dosen FISIP UMM, Lulusan University of Nottingham
RAMADAN tahun ini kita berada di tengah krisis multidimensi yang lebih hebat dari sebelumnya. Selain pandemi Covid-19 yang tak kunjung berakhir, Indonesia juga diuji fenomena ekstremisme-kekerasan hingga bencana alam di sejumlah daerah.
Situasi ini tak pelak, selain berdampak pada sektor ekonomi, yang tak kalah krusial dapat merusak modal sosial dan mentalitas kebangsaan kita. Jika gagal survive melewati fase krisis ini, kita bakal menjadi bangsa yang mudah rapuh dan inferior menghadapi segala rintangan.
Karena itu, Ramadan kali ini seumpama oase rohani. Momentum bagi kita berhenti sejenak untuk merefleksi segala karut-marut kehidupan. Dan, memang itulah makna Ramadan. Sebagai bulan evaluasi dan penghapus dosa atas sebelas bulan lainnya.
Salah satu relevansi penting kehadiran Ramadan di tengah multikrisis ini, yakni misi filantropi sosial yang dikandungnya. Hasil riset Samuli Schielke (2009) menunjukkan bahwa Ramadan tak hanya meningkatkan kesadaran spiritual seorang muslim, namun juga membangkitkan komitmen moral dan sosial, yang diiringi keinginan berbagi untuk kebaikan kemanusiaan dan lingkungan sekitarnya.
Lebih jauh, laporan Institute for Social Policy and Understanding (ISPU), sebuah think tank yang berbasis di Amerika Serikat (AS), pada 2019 membuktikan bahwa aktivitas sedekah umat Islam yang memuncak pada bulan Ramadan itu tak selalu ditujukan untuk keperluan agama. Laporan itu mencatat bahwa filantropi muslim justru lebih banyak ditujukan untuk menyelesaikan persoalan domestik di mana muslim itu berada, seperti perihal kemiskinan dan kebencanaan, yang dalam konteks AS, lebih banyak terdampak pada kelompok nonmuslim.
Fakta tersebut tentu saja amat menggembirakan di tengah situasi tak menentu ini. Terlebih, secara filosofis, Ramadan dan filantropi memiliki korelasi yang amat kuat. Sebagaimana termaktub dalam Alquran, pencapaian tertinggi seorang muslim yang berpuasa adalah menjadi insan takwa (Qs al-Baqarah: 183). Dalam konteks sufisme, sebagaimana disebut sarjana sufi abad ke-10, al-Qushayri, takwa adalah derajat mulia yang hanya bisa dicapai manusia unggul yang telah melewati proses spiritual seperti kesabaran dan kepasrahan penuh kepada Tuhannya.
Filantropi juga memiliki spirit senada. Pada awal sejarahnya, pada abad kedua, filsuf Plutarch menggunakan konsep Yunani philanthropia untuk menggambarkan manusia unggul. Cirinya berbakti pada kemanusiaan, yakni cinta tanpa pamrih untuk melayani umat manusia. Konsep ini lantas berkembang pesat di Eropa dan Amerika pasca-abad pertengahan melalui pembentukan badan-badan amal bagi anak telantar hingga galang dana untuk kampanye anti-perbudakan.
Dengan demikian, Ramadan kali ini semestinya mengobarkan kembali spirit filantropi kita serta meningkatkan modal sosial kebangsaan dalam menghadapi segenap persoalan kemanusiaan dewasa ini. Filantropi yang dalam Islam termanifestasi melalui zakat, infak, sedekah, dan wakaf (Ziswaf), harus berpijak pada ihwal kebutuhan masyarakat. Dalam konteks terkini, ihwal tersebut yakni efek sosial-ekonomi pandemi dan bencana alam, seperti berkurangnya lahan pekerjaan, lumpuhnya aktivitas produksi, hingga hilangnya tempat tinggal akibat rumah terdampak bencana.
Dengan perkembangan platform digital yang kian menggeliat, saluran filantropi Islam tak harus melulu tertumpu pada lembaga filantropi mainstream, seperti Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, Daarut Tauhid, Dana Sosial Al-Falah, dan Rumah Yatim, namun dapat pula melalui platform urun dana (crowdfunding) digital seperti KitaBisa, AyoPeduli, GandengTangan, dan Akseleran. Platform tersebut amat menarik karena selain menyasar pangsa pasar baru, seperti anak muda dan kalangan selebriti, juga memberikan ruang lebih bagi setiap orang yang peduli untuk mengelola dan berkiprah.
Dosen FISIP UMM, Lulusan University of Nottingham
RAMADAN tahun ini kita berada di tengah krisis multidimensi yang lebih hebat dari sebelumnya. Selain pandemi Covid-19 yang tak kunjung berakhir, Indonesia juga diuji fenomena ekstremisme-kekerasan hingga bencana alam di sejumlah daerah.
Situasi ini tak pelak, selain berdampak pada sektor ekonomi, yang tak kalah krusial dapat merusak modal sosial dan mentalitas kebangsaan kita. Jika gagal survive melewati fase krisis ini, kita bakal menjadi bangsa yang mudah rapuh dan inferior menghadapi segala rintangan.
Karena itu, Ramadan kali ini seumpama oase rohani. Momentum bagi kita berhenti sejenak untuk merefleksi segala karut-marut kehidupan. Dan, memang itulah makna Ramadan. Sebagai bulan evaluasi dan penghapus dosa atas sebelas bulan lainnya.
Salah satu relevansi penting kehadiran Ramadan di tengah multikrisis ini, yakni misi filantropi sosial yang dikandungnya. Hasil riset Samuli Schielke (2009) menunjukkan bahwa Ramadan tak hanya meningkatkan kesadaran spiritual seorang muslim, namun juga membangkitkan komitmen moral dan sosial, yang diiringi keinginan berbagi untuk kebaikan kemanusiaan dan lingkungan sekitarnya.
Lebih jauh, laporan Institute for Social Policy and Understanding (ISPU), sebuah think tank yang berbasis di Amerika Serikat (AS), pada 2019 membuktikan bahwa aktivitas sedekah umat Islam yang memuncak pada bulan Ramadan itu tak selalu ditujukan untuk keperluan agama. Laporan itu mencatat bahwa filantropi muslim justru lebih banyak ditujukan untuk menyelesaikan persoalan domestik di mana muslim itu berada, seperti perihal kemiskinan dan kebencanaan, yang dalam konteks AS, lebih banyak terdampak pada kelompok nonmuslim.
Fakta tersebut tentu saja amat menggembirakan di tengah situasi tak menentu ini. Terlebih, secara filosofis, Ramadan dan filantropi memiliki korelasi yang amat kuat. Sebagaimana termaktub dalam Alquran, pencapaian tertinggi seorang muslim yang berpuasa adalah menjadi insan takwa (Qs al-Baqarah: 183). Dalam konteks sufisme, sebagaimana disebut sarjana sufi abad ke-10, al-Qushayri, takwa adalah derajat mulia yang hanya bisa dicapai manusia unggul yang telah melewati proses spiritual seperti kesabaran dan kepasrahan penuh kepada Tuhannya.
Filantropi juga memiliki spirit senada. Pada awal sejarahnya, pada abad kedua, filsuf Plutarch menggunakan konsep Yunani philanthropia untuk menggambarkan manusia unggul. Cirinya berbakti pada kemanusiaan, yakni cinta tanpa pamrih untuk melayani umat manusia. Konsep ini lantas berkembang pesat di Eropa dan Amerika pasca-abad pertengahan melalui pembentukan badan-badan amal bagi anak telantar hingga galang dana untuk kampanye anti-perbudakan.
Dengan demikian, Ramadan kali ini semestinya mengobarkan kembali spirit filantropi kita serta meningkatkan modal sosial kebangsaan dalam menghadapi segenap persoalan kemanusiaan dewasa ini. Filantropi yang dalam Islam termanifestasi melalui zakat, infak, sedekah, dan wakaf (Ziswaf), harus berpijak pada ihwal kebutuhan masyarakat. Dalam konteks terkini, ihwal tersebut yakni efek sosial-ekonomi pandemi dan bencana alam, seperti berkurangnya lahan pekerjaan, lumpuhnya aktivitas produksi, hingga hilangnya tempat tinggal akibat rumah terdampak bencana.
Dengan perkembangan platform digital yang kian menggeliat, saluran filantropi Islam tak harus melulu tertumpu pada lembaga filantropi mainstream, seperti Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, Daarut Tauhid, Dana Sosial Al-Falah, dan Rumah Yatim, namun dapat pula melalui platform urun dana (crowdfunding) digital seperti KitaBisa, AyoPeduli, GandengTangan, dan Akseleran. Platform tersebut amat menarik karena selain menyasar pangsa pasar baru, seperti anak muda dan kalangan selebriti, juga memberikan ruang lebih bagi setiap orang yang peduli untuk mengelola dan berkiprah.