Spirit Filantropi Bulan Ramadan

Selasa, 13 April 2021 - 06:00 WIB
loading...
Spirit Filantropi Bulan Ramadan
Subhan Setowara (Foto: Istimewa)
A A A
Subhan Setowara
Dosen FISIP UMM, Lulusan University of Nottingham

RAMADAN tahun ini kita berada di tengah krisis multidimensi yang lebih hebat dari sebelumnya. Selain pandemi Covid-19 yang tak kunjung berakhir, Indonesia juga diuji fenomena ekstremisme-kekerasan hingga bencana alam di sejumlah daerah.

Situasi ini tak pelak, selain berdampak pada sektor ekonomi, yang tak kalah krusial dapat merusak modal sosial dan mentalitas kebangsaan kita. Jika gagal survive melewati fase krisis ini, kita bakal menjadi bangsa yang mudah rapuh dan inferior menghadapi segala rintangan.

Karena itu, Ramadan kali ini seumpama oase rohani. Momentum bagi kita berhenti sejenak untuk merefleksi segala karut-marut kehidupan. Dan, memang itulah makna Ramadan. Sebagai bulan evaluasi dan penghapus dosa atas sebelas bulan lainnya.

Salah satu relevansi penting kehadiran Ramadan di tengah multikrisis ini, yakni misi filantropi sosial yang dikandungnya. Hasil riset Samuli Schielke (2009) menunjukkan bahwa Ramadan tak hanya meningkatkan kesadaran spiritual seorang muslim, namun juga membangkitkan komitmen moral dan sosial, yang diiringi keinginan berbagi untuk kebaikan kemanusiaan dan lingkungan sekitarnya.

Lebih jauh, laporan Institute for Social Policy and Understanding (ISPU), sebuah think tank yang berbasis di Amerika Serikat (AS), pada 2019 membuktikan bahwa aktivitas sedekah umat Islam yang memuncak pada bulan Ramadan itu tak selalu ditujukan untuk keperluan agama. Laporan itu mencatat bahwa filantropi muslim justru lebih banyak ditujukan untuk menyelesaikan persoalan domestik di mana muslim itu berada, seperti perihal kemiskinan dan kebencanaan, yang dalam konteks AS, lebih banyak terdampak pada kelompok nonmuslim.

Fakta tersebut tentu saja amat menggembirakan di tengah situasi tak menentu ini. Terlebih, secara filosofis, Ramadan dan filantropi memiliki korelasi yang amat kuat. Sebagaimana termaktub dalam Alquran, pencapaian tertinggi seorang muslim yang berpuasa adalah menjadi insan takwa (Qs al-Baqarah: 183). Dalam konteks sufisme, sebagaimana disebut sarjana sufi abad ke-10, al-Qushayri, takwa adalah derajat mulia yang hanya bisa dicapai manusia unggul yang telah melewati proses spiritual seperti kesabaran dan kepasrahan penuh kepada Tuhannya.

Filantropi juga memiliki spirit senada. Pada awal sejarahnya, pada abad kedua, filsuf Plutarch menggunakan konsep Yunani philanthropia untuk menggambarkan manusia unggul. Cirinya berbakti pada kemanusiaan, yakni cinta tanpa pamrih untuk melayani umat manusia. Konsep ini lantas berkembang pesat di Eropa dan Amerika pasca-abad pertengahan melalui pembentukan badan-badan amal bagi anak telantar hingga galang dana untuk kampanye anti-perbudakan.

Dengan demikian, Ramadan kali ini semestinya mengobarkan kembali spirit filantropi kita serta meningkatkan modal sosial kebangsaan dalam menghadapi segenap persoalan kemanusiaan dewasa ini. Filantropi yang dalam Islam termanifestasi melalui zakat, infak, sedekah, dan wakaf (Ziswaf), harus berpijak pada ihwal kebutuhan masyarakat. Dalam konteks terkini, ihwal tersebut yakni efek sosial-ekonomi pandemi dan bencana alam, seperti berkurangnya lahan pekerjaan, lumpuhnya aktivitas produksi, hingga hilangnya tempat tinggal akibat rumah terdampak bencana.

Dengan perkembangan platform digital yang kian menggeliat, saluran filantropi Islam tak harus melulu tertumpu pada lembaga filantropi mainstream, seperti Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, Daarut Tauhid, Dana Sosial Al-Falah, dan Rumah Yatim, namun dapat pula melalui platform urun dana (crowdfunding) digital seperti KitaBisa, AyoPeduli, GandengTangan, dan Akseleran. Platform tersebut amat menarik karena selain menyasar pangsa pasar baru, seperti anak muda dan kalangan selebriti, juga memberikan ruang lebih bagi setiap orang yang peduli untuk mengelola dan berkiprah.

Platform crowdfunding juga terbukti efektif dan cepat. Selebgram Rachel Vennya misalnya, ketika melakukan galang dana via KitaBisa untuk korban banjir dan longsor di NTT dan NTB baru-baru ini, dalam rentang dua hari mampu menjaring lebih dari 50.000 donatur dengan total dana terkumpul lebih dari Rp3 miliar. Hal yang sama juga pernah terjadi pada Maret tahun lalu, ketika ia menggalang dana untuk pembelian alat pelindung diri (APD) bagi penanganan virus Covid-19, di mana ia mampu mengumpulkan Rp2 miliar dalam sehari.

Spirit filantropi semacam itu tak hanya berguna dalam meringankan beban ekonomi warga terdampak dan kebutuhan logistik tenaga medis, tapi juga meningkatkan modal sosial bangsa di tengah krisis. Robert Putnam (1995) menyebut, modal sosial sebagai norma dan kepercayaan, termasuk rasa saling percaya dan saling peduli satu sama lainnya. Modal sosial dinilai sebagai investasi terpenting bagi masa depan, bahkan dipandang lebih krusial ketimbang modal finansial.

Rasa peduli sebagai modal sosial mesti tumbuh seirama dengan ciri Ramadhan sebagai syahrul judd (bulan kemurahan), syahrul rahmah (bulan penuh kasih), dan syahrul mubarak (bulan penuh keberkahan) yang ditandai dengan dilipatgandakannya amal saleh. Dengan ciri tersebut, tentunya Ramadan dapat menjadi momen spiritual untuk meningkatkan filantropi bagi pengentasan krisis.

Krisis tentu tak selalu berkaitan dengan kekurangan finansial, namun dapat pula berbentuk rasa tidak percaya terhadap orang lain dan lingkungan sekitar (social distrust). Karena itu, Lawrence Wheeless (1978) menilai bahwa filantropi dan rasa saling percaya saling mengisi. Baginya, tak mungkin seseorang rela memberikan bantuan pada orang lain jika tak dilandasi rasa percaya. Sebab itulah, kata Wheeless, aktivitas berbagi memiliki dampak jangka panjang bagi harmoni sosial di lingkungan pemberi maupun penerima karena dilandasi rasa saling percaya. Itulah modal sosial.

Ala kulli hal, dengan spirit filantropi, selayaknya kita optimistis bahwa Ramadan kali ini akan dipenuhi kabar gembira, kendati harus diawali dengan serangkaian krisis yang menyertainya. Ramadan adalah oase yang menyalakan pelita bangsa, meski dalam gelap. Bangsa Indonesia punya segala modal sosial untuk melewati fase krisis ini. Kita harus percaya.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2865 seconds (0.1#10.140)