Atasi Defisit, DPR Minta Tata Kelola BPJS Kesehatan Dirombak Total
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan menuai polemik di masyarakat. Nada penolakan terdengar sangat nyaring disuarakan berbagai kalangan, termasuk oleh para wakil rakyat di Senayan.
Kenaikan tersebut tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Beleid tersebut diteken oleh Presiden Jokowi pada Selasa (5/5/2020) lalu, dan mulai berlaku pada 1 Juli 2020 mendatang. (Baca juga: Tarif BPJS Tak Kunjung Turun, Kondisi Ekonomi Masyarakat Kian Sulit)
Reaksi publik sangat keras karena sebelumnya, pada Oktober 2019 lalu, Jokowi juga menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan melalui Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Namun, Mahkamah Agung (MA) membatalkan kenaikan tersebut.
Dalam Perpres 64/2020, iuran peserta mandiri Kelas I naik menjadi Rp150.000, dari saat ini Rp80.000. Sementara untuk peserta mandiri Kelas II meningkat menjadi Rp100.000, dari saat ini sebesar Rp51.000.
Berikutnya, iuran peserta mandiri Kelas III juga naik dari Rp25.500 menjadi Rp42.000. Namun pemerintah memberi subsidi Rp16.500 sehingga yang dibayarkan tetap Rp25.500. Pada 2021 mendatang, subsidi berkurang menjadi Rp7.000 sehingga yang harus dibayarkan peserta adalah Rp35.000.
Dalam kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dirilis pada 13 Maret 2020 lalu, ditemukan adanya persoalan defisit dana yang diprediksi semakin besar. Berdasarkan temuan KPK pada 2018, BPJS Kesehatan mengalami defisit Rp12,2 triliun. Namun, data terbaru dari Kementerian Keuangan, akumulasi defisit BPJS Kesehatan pada 2019 mencapai Rp15,6 triliun.
Anggota Komisi IX DPR, Anggia Erma Rini mengatakan kebijakan pemerintah untuk kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi COVID-19 sangat meresahkan masyarakat. Apalagi sebelumnya, MA sudah membatalkannya. "Kenaikan itu melukai hati rakyat," ujar politikus PKB ini dalam Bincang Sore IG SINDOnews bertema BPJS Naik, Rakyat Menjerit, Selasa (19/5/2020).
Anggia mengatakan, kenaikan iuran BPJS bukan satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk menutup defisit BPJS. Ada banyak langkah yang bisa dilakukan. Hal yang maling utama adalah memperbaiki total tata kelola BPJS Kesehatan.
"Manajemen harus diubah sebaik-baiknya, apakah itu di direksi, manajemen klaim, manajemen rumah sakit, manajemen cara pembatasan penyakit juga harus diatur," tuturnya.
Menurut Anggia, selama ini masyarakat masih punya anggapan mumpung ada BPJS sehingga penyakit apapun diklaim. Selain itu, hal yang tidak kalah penting adalah bagaimana BPJS melakukan promosi preventif yang maksimal sehingga ke depan masyarakat semakin sehat. Buntutnya, tidak banyak masyarakat yang harus berobat dengan anggaran BPJS.
"Promosi preventif ini yang sangat kurang di Indonesia. Sebagain besar anggaran dipakai untuk kuratif. Padahal kita kan semangatya bagaimana masyakarat tidak usah sakit sehingga tak usah klaim ke BPJS," urainya.
Dikatakan Anggia, harus ada mekanisme bagaimana memanfaatkan anggaran BPJS sehingga tidak semua pembiayaan kesehatan dibiayai negara, tetapi negara harus hadir dalam persoalan kesehatan masyarakat. "Menurut saya perlu dikaji ulang dan dilakukan reformasi yang luar biasa, terutama tentang promotif preventif itu," katanya.
Kenaikan tersebut tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Beleid tersebut diteken oleh Presiden Jokowi pada Selasa (5/5/2020) lalu, dan mulai berlaku pada 1 Juli 2020 mendatang. (Baca juga: Tarif BPJS Tak Kunjung Turun, Kondisi Ekonomi Masyarakat Kian Sulit)
Reaksi publik sangat keras karena sebelumnya, pada Oktober 2019 lalu, Jokowi juga menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan melalui Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Namun, Mahkamah Agung (MA) membatalkan kenaikan tersebut.
Dalam Perpres 64/2020, iuran peserta mandiri Kelas I naik menjadi Rp150.000, dari saat ini Rp80.000. Sementara untuk peserta mandiri Kelas II meningkat menjadi Rp100.000, dari saat ini sebesar Rp51.000.
Berikutnya, iuran peserta mandiri Kelas III juga naik dari Rp25.500 menjadi Rp42.000. Namun pemerintah memberi subsidi Rp16.500 sehingga yang dibayarkan tetap Rp25.500. Pada 2021 mendatang, subsidi berkurang menjadi Rp7.000 sehingga yang harus dibayarkan peserta adalah Rp35.000.
Dalam kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dirilis pada 13 Maret 2020 lalu, ditemukan adanya persoalan defisit dana yang diprediksi semakin besar. Berdasarkan temuan KPK pada 2018, BPJS Kesehatan mengalami defisit Rp12,2 triliun. Namun, data terbaru dari Kementerian Keuangan, akumulasi defisit BPJS Kesehatan pada 2019 mencapai Rp15,6 triliun.
Anggota Komisi IX DPR, Anggia Erma Rini mengatakan kebijakan pemerintah untuk kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi COVID-19 sangat meresahkan masyarakat. Apalagi sebelumnya, MA sudah membatalkannya. "Kenaikan itu melukai hati rakyat," ujar politikus PKB ini dalam Bincang Sore IG SINDOnews bertema BPJS Naik, Rakyat Menjerit, Selasa (19/5/2020).
Anggia mengatakan, kenaikan iuran BPJS bukan satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk menutup defisit BPJS. Ada banyak langkah yang bisa dilakukan. Hal yang maling utama adalah memperbaiki total tata kelola BPJS Kesehatan.
"Manajemen harus diubah sebaik-baiknya, apakah itu di direksi, manajemen klaim, manajemen rumah sakit, manajemen cara pembatasan penyakit juga harus diatur," tuturnya.
Menurut Anggia, selama ini masyarakat masih punya anggapan mumpung ada BPJS sehingga penyakit apapun diklaim. Selain itu, hal yang tidak kalah penting adalah bagaimana BPJS melakukan promosi preventif yang maksimal sehingga ke depan masyarakat semakin sehat. Buntutnya, tidak banyak masyarakat yang harus berobat dengan anggaran BPJS.
"Promosi preventif ini yang sangat kurang di Indonesia. Sebagain besar anggaran dipakai untuk kuratif. Padahal kita kan semangatya bagaimana masyakarat tidak usah sakit sehingga tak usah klaim ke BPJS," urainya.
Dikatakan Anggia, harus ada mekanisme bagaimana memanfaatkan anggaran BPJS sehingga tidak semua pembiayaan kesehatan dibiayai negara, tetapi negara harus hadir dalam persoalan kesehatan masyarakat. "Menurut saya perlu dikaji ulang dan dilakukan reformasi yang luar biasa, terutama tentang promotif preventif itu," katanya.