Atasi Defisit, DPR Minta Tata Kelola BPJS Kesehatan Dirombak Total

Rabu, 20 Mei 2020 - 15:35 WIB
loading...
Atasi Defisit, DPR Minta Tata Kelola BPJS Kesehatan Dirombak Total
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PKB , Anggia Erma Rini dalam Bincang Sore IG SINDOnews bertema BPJS Naik, Rakyat Menjerit, Selasa (19/5/2020). Foto/SINDOnews/Abdul Rochim
A A A
JAKARTA - Kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan menuai polemik di masyarakat. Nada penolakan terdengar sangat nyaring disuarakan berbagai kalangan, termasuk oleh para wakil rakyat di Senayan.

Kenaikan tersebut tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Beleid tersebut diteken oleh Presiden Jokowi pada Selasa (5/5/2020) lalu, dan mulai berlaku pada 1 Juli 2020 mendatang. (Baca juga: Tarif BPJS Tak Kunjung Turun, Kondisi Ekonomi Masyarakat Kian Sulit)
Reaksi publik sangat keras karena sebelumnya, pada Oktober 2019 lalu, Jokowi juga menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan melalui Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Namun, Mahkamah Agung (MA) membatalkan kenaikan tersebut.

Dalam Perpres 64/2020, iuran peserta mandiri Kelas I naik menjadi Rp150.000, dari saat ini Rp80.000. Sementara untuk peserta mandiri Kelas II meningkat menjadi Rp100.000, dari saat ini sebesar Rp51.000.

Berikutnya, iuran peserta mandiri Kelas III juga naik dari Rp25.500 menjadi Rp42.000. Namun pemerintah memberi subsidi Rp16.500 sehingga yang dibayarkan tetap Rp25.500. Pada 2021 mendatang, subsidi berkurang menjadi Rp7.000 sehingga yang harus dibayarkan peserta adalah Rp35.000.

Dalam kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dirilis pada 13 Maret 2020 lalu, ditemukan adanya persoalan defisit dana yang diprediksi semakin besar. Berdasarkan temuan KPK pada 2018, BPJS Kesehatan mengalami defisit Rp12,2 triliun. Namun, data terbaru dari Kementerian Keuangan, akumulasi defisit BPJS Kesehatan pada 2019 mencapai Rp15,6 triliun.

Anggota Komisi IX DPR, Anggia Erma Rini mengatakan kebijakan pemerintah untuk kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi COVID-19 sangat meresahkan masyarakat. Apalagi sebelumnya, MA sudah membatalkannya. "Kenaikan itu melukai hati rakyat," ujar politikus PKB ini dalam Bincang Sore IG SINDOnews bertema BPJS Naik, Rakyat Menjerit, Selasa (19/5/2020).

Anggia mengatakan, kenaikan iuran BPJS bukan satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk menutup defisit BPJS. Ada banyak langkah yang bisa dilakukan. Hal yang maling utama adalah memperbaiki total tata kelola BPJS Kesehatan.

"Manajemen harus diubah sebaik-baiknya, apakah itu di direksi, manajemen klaim, manajemen rumah sakit, manajemen cara pembatasan penyakit juga harus diatur," tuturnya.

Menurut Anggia, selama ini masyarakat masih punya anggapan mumpung ada BPJS sehingga penyakit apapun diklaim. Selain itu, hal yang tidak kalah penting adalah bagaimana BPJS melakukan promosi preventif yang maksimal sehingga ke depan masyarakat semakin sehat. Buntutnya, tidak banyak masyarakat yang harus berobat dengan anggaran BPJS.
"Promosi preventif ini yang sangat kurang di Indonesia. Sebagain besar anggaran dipakai untuk kuratif. Padahal kita kan semangatya bagaimana masyakarat tidak usah sakit sehingga tak usah klaim ke BPJS," urainya.

Dikatakan Anggia, harus ada mekanisme bagaimana memanfaatkan anggaran BPJS sehingga tidak semua pembiayaan kesehatan dibiayai negara, tetapi negara harus hadir dalam persoalan kesehatan masyarakat. "Menurut saya perlu dikaji ulang dan dilakukan reformasi yang luar biasa, terutama tentang promotif preventif itu," katanya.

Anggia menegaskan, untuk menutup defisit maka manajemen pengelolaan BPJS mulai dari administrasi sampai ke penerima manfaat itu harus dibongkar. "Rekomendasi KPK kan juga seperti itu, membongkar manajemen di BPJS itu, bagaimana kita menyesuaikan sehingga uang segitu itu bisa bermanfaat maksimal bagi masyarakat. Agak repot, dan memang harus repot, harus bekerja keras, harus menguras otak untuk bisa menemukan formulasi yang paling tepat," kata Ketua Umum PP Fatayat NU ini.

Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Yustinus Prastowo, mengungkap data penyumbang defisit BPJS Kesehatan terbesar berasal dari kelompok peserta bukan penerima upah atau PBPU/BU jumlahnya sekitar 35 juta orang.

Dengan segmentasi terbesar di Kelas III sebanyak 21,6 juta, total iuran dari PBPU itu sebesar Rp12,4 triliun. Namun, klaimnya jauh melebihi total iuran, yakni mencapai Rp39,8 triliun. "Alias defisit Rp27,4 triliun," kata Yustinus melalui akun Twitternya, Sabtu (16/5/ 2020).

Per 30 April 2020, total peserta 222,9 juta orang. Penerima Bantuan Iuran (PBI) 96,5 juta, Bukan Penerima Bantuan Iuran 90 juta, lalu penduduk yang didaftarkan Pemda 36 juta orang.

Untuk PBI sebanyak 96,5 juta orang itu iurannya dibayar pemerintah, sampai saat ini tak berubah. Lalu BPBI 90 juta, terdiri dari penyelenggara negara 17,7 juta, BUMN 1,5 juta, swasta 35,6 juta. Sedangkan PBPU/BU sekitar 35 juta orang. Dua kelompok terakhir inilah yang selama ini membayar iuran sendiri atau mandiri. (Baca juga: Dana Kesehatan Rp75 Triliun Lawan Corona Termasuk Subsidi BPJS Kesehatan )

Sedangkan kinerja keuangan BPJS, untuk PBI (orang miskin dan tak mampu) surplus Rp11,1 triliun, ASN/TNI/Polri surplus Rp1,3 triliun, pekerja formal swasta surplus Rp12,1 triliun. Sedangkan pekerja informal, defisit Rp20,9 triliun, dan bukan pekerja defisit Rp6,5 triliun. Secara agak kasar, menurut Yustinus, akumulasi defisit BPJS Kesehatan 2019 sebesar Rp15,6 triliun.
(kri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2485 seconds (0.1#10.140)