Batalkan SP3 Kasus BLBI, ICW Sarankan KPK Lakukan Gugatan Perdata

Jum'at, 02 April 2021 - 17:14 WIB
loading...
Batalkan SP3 Kasus BLBI,...
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyarankan KPK melakukan gugatan perdata terkait kasus BLBI. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menuntut agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera melimpahkan berkas penyidikan kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 32 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Hal itu dilakukan untuk mencabut Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam perkara tersebut. Jaksa Pengacara Negara adalah Jaksa dengan kuasa khusus, bertindak untuk dan atas nama negara atau pemerintah dalam kasus atau perkara perdata atau tata usaha negara. "Hal ini penting, untuk memastikan adanya pertanggung jawaban dari Nursalim atas perbuatannya yang telah membohongi dan merugikan perekonomian negara triliunan rupiah. Jika gugatan ini tidak segera dilayangkan, maka pelaku berpotensi mengulangi perbuatannya di masa mendatang," ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Jumat (4/1/2021).

Kurnia menyebut penuntasan perkara penerbitan SKL obligor BLBI ini menjadi penting bagi publik. Setidaknya untuk dua hal utama, pertama, perkara ini telah menarik perhatian publik sejak lama. Bahkan, ICW kerap memasukkan perkara BLBI sebagai tunggakan yang harus dituntaskan oleh KPK sejak lama. "Kedua, akibat tindakan Sjamsul Nursalim, negara mesti menelan kerugian yang fantasitis, yakni mencapai Rp 4,58 triliun. Namun, periode kepemimpinan Firli Bahuri ini justru meruntuhkan harapan publik," jelasnya.

Tidak bisa dipungkiri, selain karena dampak revisi UU KPK, pangkal persoalan lain penghentian penyidikan ini juga berkaitan langsung dengan Mahkamah Agung dan kebijakan Komisioner KPK. Untuk MA sendiri, kata Kurnia, kritik dapat disematkan tatkala lembaga kekuasaan kehakiman itu memutus lepas Syafruddin Arsyad Tumenggung (SAT, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dan kemudian diikuti penolakan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dari KPK.

"Patut untuk dicatat, putusan lepas yang dijatuhkan MA terhadap SAT jelas keliru dan diwarnai dengan kontroversi. Betapa tidak, kesimpulan majelis hakim kala itu justru menyebutkan bahwa perkara yang menjerat SAT bukan merupakan perbuatan pidana," ungkapnya.

Padahal, dalam fakta persidangan pada tingkat judex factie sudah secara terang benderang menjatuhkan hukuman penjara belasan tahun kepada terdakwa. Tidak hanya itu, seharusnya perdebatan perihal pidana atau perdata seharusnya sudah selesai tatkala permohonan praperadilan SAT ditolak oleh Pengadilan Negeri. Sebab, waktu mengajukan permohonan praperadilan, SAT melalui kuasa hukumnya juga membawa argumentasi yang sama.

Selain itu, lanjut Kurnia, MA juga gagal dalam melihat kemungkinan menerima PK dari penuntut umum di tengah kejanggalan putusan kasasi tersebut. Selain sudah banyak preseden yang menerima PK dari penuntut umum, juga terdapat satu isu krusial, yakni pelanggaran etik oleh salah satu majelis hakim persidangan Tumenggung, Syamsu Rakan Chaniago.

"Dapat dibayangkan, dua pekan sebelum putusan lepas itu dibacakan, Hakim majelis itu justru berhubungan, bahkan bertemu langsung dengan kuasa hukum Tumenggung, yakni Ahmad Yani. Padahal seorang hakim tidak dibenarkan untuk berhubungan langsung atau tidak langsung dengan pihak-pihak yang sedang berperkara," pungkasnya.
(cip)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1940 seconds (0.1#10.140)