Menyoal Kebijakan Impor Beras Mendag

Jum'at, 19 Maret 2021 - 19:52 WIB
loading...
Menyoal Kebijakan Impor Beras Mendag
Tjipta Lesmana (Foto: Istimewa)
A A A
Prof Tjipta Lesmana
Pemerhati Masalah Pangan

PEMERINTAH kita cenderung “cengeng” dalam masalah beras. Begitu harga bergerak naik, atau timbul kekurangan pasokan, jalan pintas yang diambil adalah impor beras. Yang lebih aneh, tidak lama setelah kebijakan impor diumumkan, beras impor sudah masuk ke pelabuhan-pelabuhan utama Indonesia. Itu berarti, sebelum impor beras diumumkan, pihak tertentu sebetulnya sudah deal dengan pihak eksportir untuk segera membanjiri pasar beras dalam negeri dengan beras impor.

Modus operandi spekulatif ini pernah dihentikan oleh pemerintaham Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada pada 2016 selama dua tahun. Ketika itu pemerintahan Jokowi sesungguhhya berhasil menghentikan impor beras secara total, kecuali “beras khusus” yang diimpor dalam kuantitas kecil.

Pada pertengahan 2017 Presiden Jokowi bahkan dengan bangga mengumumkan Indonesia sebentar lagi mencapai swasembada beras, mengembalikan kejayaan beras di Orde Baru, sehingga Presiden Soeharto memperoleh penghargaan dari FAO. Bahkan ketika Indonesia diterpa El Nino dan La Nina dahsyat di penghujung 2016 sampai awal 2017 pun, Indonesia bisa survive tanpa impor beras, merontokkan prediksi sejumlah akademisi dan pengamat perberasan.

Sampai Oktober 2017 Menteri Pertanian Andi Amran Sulaeman masih berkoar bahwa swasembada beras bukan sebuah omong kosong jika semua pemangku kepentingan bekerja keras dan bekerjasama untuk mewujudkannya. Pernyataan itu dikeluarkan pascamusim panas yang cukup panjang yang menimbulkan kekhawatiran sejumlah pihak.

Namun, tidak lama kemudian Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita tiba-tiba mengumumkan kebijakan impor beras sebanyak setengah juga ton. Apa alasan Pak Enggar?. “Impor dilakukan untuk menjaga kepentingan konsumen”, kilah Menteri Perdagangan.

Yang diimpor adalah beras khusus dengan butiran pecahan maksimal 5% dan tidak diproduksi di dalam negeri. Beras tersebut akan didistribusikan sebelum panen raya sehingga tidak akan merugikan petani,” kata Pak Enggar.

Saya tidak ingin petani dan masarakat kecil terbebani. Dengan harga yang tinggi, mereka mengurangi konsumsi beras harian.

Ketika itu, harga beras memang mulai bergerak. Tapi kenapa jawabannya impor beras? Apakah Mendag tidak tahu bahwa saat itu Bulog memiliki cadangan beras sekitar 900.000 ton yang cukup untuk konsumsi minimal 3 bulan? Dan pada Februari 2018, kita akan memasuki panen raya dengan perkiraan hasil 2-3 juta ton beras. Di daerah tertentu terjadi surplus stok beras. Gubernur Sulawesi Selatan – salah satu lumbung padi Indonesia – berkilah Sulawesi Selatan siap membantu daerah-daerah lain yang kekurangan beras.

Setelah impor 0.5 juta ton, Kementeri Perdagangan menambah impor lagi hingga 2 juta ton, masing-masing 1 juta ton dari Vietnam dan Thailand. Alasannya klise: untuk menjaga stok dan mempertahankan harga. Tapi, anehnya, dengan impor jutaan ton pun, harga tidak turun-turun.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1396 seconds (0.1#10.140)