BP2MI Diminta Evaluasi Kebijakan Terkait Penempatan Pekerja Migran
loading...
A
A
A
JAKARTA - Badan Pelindungan dan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) diminta untuk mengevaluasi secara teknis kebijakan zero cost atau pembebasan biaya penempatan.
Hal itu dinilai penting menanggapi kabar 6.000 calon pekerja migran Indonesia (PMI) yang tertunda keberangkatannya akibat kebijakan tersebut.
“Kalau misalnya ada kendala teknis dan sebagainya yang berkaitan dengan pemberangkatan, saya kira itu BP2MI sebagai badan yang bertanggung jawab untuk melakukan pelindungan dan penempatan pekerja migran itu harus melakukan evaluasi,” tutur Saleh saat dihubungi, Jakarta, Kamis (18/3/2021). Baca juga: Sebanyak 6.000 PMI Terkendala ke Taiwan, RPMI: Ini Merugikan
Sebagai amanat Pasal 30 Ayat 2 UU 18 tahun 2017, kata dia, kebijakan zero cost sudah baik karena untuk melindungi calon Pekerja Migran Indonesia (PMI), baik secara fisik maupun upaya pemerasan.
“Kita tidak mau pekerja migran Indonesia (PMI) itu dijadikan ‘sapi perah’. Jadi undang-undang yang kemarin itu kan konsentrasinya memberikan perlindungan untuk pekerja migran kita. Termasuk dari upaya-upaya pengambilan, katakanlah, dana calon PMI. Itu sebetulnya semangatnya,” tuturnya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (Aspataki), Saiful Mashud menganggap penundaan pemberangkatan 6.000 calon PMI ke Taiwan terkait dengan kesalahpahaman soal kebijakan zero cost.
Menurut dia, banyak pihak yang tak memahani komponen pembebasan biaya penempatan untuk pelatihan dan kompetensi PMI menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi, sesuai dengan Pasal 40 UU 18 tahun 2017. Hal ini kemudian berakibat pada problem penempatan di Taiwan.
“Kalau semua bisa melaksanakan pelatihan bagi calon PMI, maka akan meringankan beban PMI,” katanya.
Sebagai informasi, sejak Taiwan menutup penempatan PMI pada Desember lalu, hingga kini ada sekitar 6 ribu calon PMI yang menunggu pemberangkatan ke negara tersebut. Kepala BP2MI mengaku adanya kesimpangsiuran informasi terkait kebijakan zero cost (pembebasan biaya penempatan).
Hal itu dinilai penting menanggapi kabar 6.000 calon pekerja migran Indonesia (PMI) yang tertunda keberangkatannya akibat kebijakan tersebut.
“Kalau misalnya ada kendala teknis dan sebagainya yang berkaitan dengan pemberangkatan, saya kira itu BP2MI sebagai badan yang bertanggung jawab untuk melakukan pelindungan dan penempatan pekerja migran itu harus melakukan evaluasi,” tutur Saleh saat dihubungi, Jakarta, Kamis (18/3/2021). Baca juga: Sebanyak 6.000 PMI Terkendala ke Taiwan, RPMI: Ini Merugikan
Sebagai amanat Pasal 30 Ayat 2 UU 18 tahun 2017, kata dia, kebijakan zero cost sudah baik karena untuk melindungi calon Pekerja Migran Indonesia (PMI), baik secara fisik maupun upaya pemerasan.
“Kita tidak mau pekerja migran Indonesia (PMI) itu dijadikan ‘sapi perah’. Jadi undang-undang yang kemarin itu kan konsentrasinya memberikan perlindungan untuk pekerja migran kita. Termasuk dari upaya-upaya pengambilan, katakanlah, dana calon PMI. Itu sebetulnya semangatnya,” tuturnya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (Aspataki), Saiful Mashud menganggap penundaan pemberangkatan 6.000 calon PMI ke Taiwan terkait dengan kesalahpahaman soal kebijakan zero cost.
Menurut dia, banyak pihak yang tak memahani komponen pembebasan biaya penempatan untuk pelatihan dan kompetensi PMI menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi, sesuai dengan Pasal 40 UU 18 tahun 2017. Hal ini kemudian berakibat pada problem penempatan di Taiwan.
“Kalau semua bisa melaksanakan pelatihan bagi calon PMI, maka akan meringankan beban PMI,” katanya.
Sebagai informasi, sejak Taiwan menutup penempatan PMI pada Desember lalu, hingga kini ada sekitar 6 ribu calon PMI yang menunggu pemberangkatan ke negara tersebut. Kepala BP2MI mengaku adanya kesimpangsiuran informasi terkait kebijakan zero cost (pembebasan biaya penempatan).
(dam)