Ranking Universitas, Apa yang Dikejar?
loading...
A
A
A
Jony Oktavian Haryanto
Profesor Manajemen di President University
SETIAP tahun beberapa lembaga pemeringkat perguruan tinggi rutin menerbitkan peringkat universitas yang dianggap terbaik. Ini baik di level internasional maupun nasional. Di level internasional, misalnya, ada Times Higher Education (THE) atau Quacquarelli Symonds (QS), yang hasil pemeringkatannya kerap menjadi rujukan Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Seorang rektor tentu bangga jika peringkat universitasnya naik. Ini bisa menjadi “kendaraan”baginya untuk terpilih lagi. Bagi pejabat pemerintahan, jika ada universitas di Indonesia yang naik peringkat, ini tentu akan menjadi salah satu bukti dari keberhasilannya dalam memimpin dan sekaligus membantu mengangkat kinerja pejabat dan instansi yang dipimpinnya.
Peringkat versi THE dan QS memang jamak dipakai sebagai rujukan oleh universitas-universitas di seluruh dunia. Ini karena sistem pemeringkatannya menggunakan indikator yang jelas dan cukup menggambarkan esensi dari sebuah perguruan tinggi.
Namun, belakangan muncul juga lembaga-lembaga pemeringkatan abal-abal. Saya sebut abal-abal, karena indikator yang digunakan tidak jelas dan mekanismenya tidak transparan. Maka, tidak heran kalau hasil pemeringkatannya terkesan aneh bin ajaib. Misalnya, ada beberapa universitas yang namanya tidak pernah terdengar di kancah nasional, peringkatnya bisa di atas universitas-universitas terkemuka, termasuk universitas negeri. Lalu, universitas-universitas yang terakreditasi B dari Badan Akreditas Nasional-Perguruan Tinggi (BAN-PT) peringkatnya mengalahkan yang sudah terakreditasi A.
Pernah terjadi beberapa tahun lalu, ada sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta yang namanya kurang terdengar, tiba-tiba masuk dalam peringkat kelompok universitas terbaik di Indonesia. Maka, tak heran kalau berkembang dugaan bahwa pemeringkatan tersebut adalah pemeringkatan pesanan. Indikator dan mekanismenya disesuaikan dengan permintaan si pemesan.
Pertaruhan Masa Depan
Saya paham, pemeringkatan perguruan tinggi memang penting. Ia menjadi bagian dari mekanisme transparansi. Dengan informasi yang terang benderang, calon mahasiswa, dan tentu orang tuanya, akan memiliki informasi yang cukup, sehingga menjadi yakin saat memilih perguruan tinggi yang tepat bagi kelanjutan pendidikannya. Di sini, masa depan anak-anak, dan bahkan masa depan bangsa, dipertaruhkan.
Jadi, dari sisi ini pemeringkatan sangat penting. Hanya indikator dan mekanismenya harus dapat dipertanggungjawabkan. Kita tentu tak ingin pemeringkatan yang dibuat secara serampangan. Apalagi yang berdasarkan pesanan.
Esensi dari kehadiran perguruan tinggi adalah untuk memajukan ilmu pengetahuan, dan pada akhirnya memajukan peradaban manusia. Untuk itu kampus-kampus melakukan riset, memproduksi pengetahuan-pengetahuan baru dan menyebarluaskan informasinya ke berbagai publikasi, seperti jurnal dan berbagai ajang publikasi ilmiah lainnya.
Prosesnya tidak mudah. Artikel yang akan dipublikasi di jurnal, misalnya, harus mendapat telaah dari beberapa rekan sejawat. Bahkan telaah dilakukan secara “blind review”. Jadi, yang menelaah tidak tahu siapa penulis artikelnya. Ini untuk menghindari terjadinya benturan kepentingan (conflict of interest).
Semakin banyak tulisan dosen yang dipublikasikan ke jurnal-jurnal ilmiah, ini akan membantu meningkatkan peringkat kampusnya. Ini tentu positif. Sayangnya ada saja dosen dan kampus yang “mengakali” gagasan yang positif ini. Demi mengejar peringkat, kampus mendukung dosen-dosennya menerbitkan tulisannya di jurnal-jurnal abal-abal, atau yang kerap disebut jurnal predator.
Jurnal-jurnal semacam ini memuat tulisan yang tidak terlebih dahulu melewati telaah dari rekan sejawat. Lalu, agar tulisannya dimuat, dosen dan pihak kampus membayar sejumlah uang tertentu ke pengelola jurnal.
Profesor Manajemen di President University
SETIAP tahun beberapa lembaga pemeringkat perguruan tinggi rutin menerbitkan peringkat universitas yang dianggap terbaik. Ini baik di level internasional maupun nasional. Di level internasional, misalnya, ada Times Higher Education (THE) atau Quacquarelli Symonds (QS), yang hasil pemeringkatannya kerap menjadi rujukan Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Seorang rektor tentu bangga jika peringkat universitasnya naik. Ini bisa menjadi “kendaraan”baginya untuk terpilih lagi. Bagi pejabat pemerintahan, jika ada universitas di Indonesia yang naik peringkat, ini tentu akan menjadi salah satu bukti dari keberhasilannya dalam memimpin dan sekaligus membantu mengangkat kinerja pejabat dan instansi yang dipimpinnya.
Peringkat versi THE dan QS memang jamak dipakai sebagai rujukan oleh universitas-universitas di seluruh dunia. Ini karena sistem pemeringkatannya menggunakan indikator yang jelas dan cukup menggambarkan esensi dari sebuah perguruan tinggi.
Namun, belakangan muncul juga lembaga-lembaga pemeringkatan abal-abal. Saya sebut abal-abal, karena indikator yang digunakan tidak jelas dan mekanismenya tidak transparan. Maka, tidak heran kalau hasil pemeringkatannya terkesan aneh bin ajaib. Misalnya, ada beberapa universitas yang namanya tidak pernah terdengar di kancah nasional, peringkatnya bisa di atas universitas-universitas terkemuka, termasuk universitas negeri. Lalu, universitas-universitas yang terakreditasi B dari Badan Akreditas Nasional-Perguruan Tinggi (BAN-PT) peringkatnya mengalahkan yang sudah terakreditasi A.
Pernah terjadi beberapa tahun lalu, ada sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta yang namanya kurang terdengar, tiba-tiba masuk dalam peringkat kelompok universitas terbaik di Indonesia. Maka, tak heran kalau berkembang dugaan bahwa pemeringkatan tersebut adalah pemeringkatan pesanan. Indikator dan mekanismenya disesuaikan dengan permintaan si pemesan.
Pertaruhan Masa Depan
Saya paham, pemeringkatan perguruan tinggi memang penting. Ia menjadi bagian dari mekanisme transparansi. Dengan informasi yang terang benderang, calon mahasiswa, dan tentu orang tuanya, akan memiliki informasi yang cukup, sehingga menjadi yakin saat memilih perguruan tinggi yang tepat bagi kelanjutan pendidikannya. Di sini, masa depan anak-anak, dan bahkan masa depan bangsa, dipertaruhkan.
Jadi, dari sisi ini pemeringkatan sangat penting. Hanya indikator dan mekanismenya harus dapat dipertanggungjawabkan. Kita tentu tak ingin pemeringkatan yang dibuat secara serampangan. Apalagi yang berdasarkan pesanan.
Esensi dari kehadiran perguruan tinggi adalah untuk memajukan ilmu pengetahuan, dan pada akhirnya memajukan peradaban manusia. Untuk itu kampus-kampus melakukan riset, memproduksi pengetahuan-pengetahuan baru dan menyebarluaskan informasinya ke berbagai publikasi, seperti jurnal dan berbagai ajang publikasi ilmiah lainnya.
Prosesnya tidak mudah. Artikel yang akan dipublikasi di jurnal, misalnya, harus mendapat telaah dari beberapa rekan sejawat. Bahkan telaah dilakukan secara “blind review”. Jadi, yang menelaah tidak tahu siapa penulis artikelnya. Ini untuk menghindari terjadinya benturan kepentingan (conflict of interest).
Semakin banyak tulisan dosen yang dipublikasikan ke jurnal-jurnal ilmiah, ini akan membantu meningkatkan peringkat kampusnya. Ini tentu positif. Sayangnya ada saja dosen dan kampus yang “mengakali” gagasan yang positif ini. Demi mengejar peringkat, kampus mendukung dosen-dosennya menerbitkan tulisannya di jurnal-jurnal abal-abal, atau yang kerap disebut jurnal predator.
Jurnal-jurnal semacam ini memuat tulisan yang tidak terlebih dahulu melewati telaah dari rekan sejawat. Lalu, agar tulisannya dimuat, dosen dan pihak kampus membayar sejumlah uang tertentu ke pengelola jurnal.