Ranking Universitas, Apa yang Dikejar?

Rabu, 17 Maret 2021 - 06:25 WIB
loading...
A A A
Untuk meningkatkan peringkat universitas, QS menggunakan enam indikator utama. Salah satunya adalah jumlah publikasi dan sitasi dari jurnal atau prosiding yang terindeks di Scopus. Ini pun masih disiasati. Guna meningkatkan sitasi, maka antar dosen di universitas tersebut saling melakukan sitasi—meski sebenarnya bukan bidangnya.

Bahkan, “kerja sama” semacam ini dilakukan lewat skema dosen-dosen lintas kampus. Dosen-dosen di kampus A sepakat dengan dosen-dosen di kampus B untuk saling sitasi. Dan, skema semacam ini direstui oleh kampusnya.

Modus semacam ini mirip ketika dulu bank-bank menyiasati aturan Legal Lending Limit (3L) dari Bank Indonesia. Dulu, bank hanya boleh memberikan kredit maksimum 20% dari total kredit ke perusahaan-perusahaan yang masih satu grup dengan bank tersebut. Bagaimana menyiasatinya? Mudah. Bank A milik konglomerat X sepakat memberikan kredit ke perusahaan-perusahaan milik konglomerat Z. Dan, sebaliknya Bank B milik konglomerat Z sepakat untuk memberikan kredit ke perusahaan-perusahaan milik konglomerat X.

Jangan membayangkan kesepakatan semacam ini dituangkan hitam atas putih. Dalam bentuk MoU atau perjanjian bisnis lainnya. Kesepakatan semacam ini selesai hanya dengan kongkow-kongkow di cafe dam resto.

Apakah ini salah? Kita bisa berdebat soal ini. Namun, menurut saya, langkah saling sitasi, apalagi kalau sampai lintas kampus, adalah tindakan yang tidak etis. Sitasi mestinya dilakukan dengan pertimbangan akademis dan demi kemajuan ilmu pengetahuan. Bukan demi mengejar peringkat.

Mengapa peringkat begitu penting bagi universitas? Isunya adalah bisnis. Logikanya. dengan semakin tinggi peringkat, semakin banyak orang tua yang akan menyekolahkan anak-anaknya ke sana. Maka, pendapatan universitas dari uang kuliah mahasiswa (tuition fee) pun akan meningkat, sehingga kesejahteraan dosen-dosen dan pegawainya menjadi semakin membaik pula.

Manfaat, Bukan Peringkat
Ini logika masa lalu. Kampus-kampus yang dikelola secara modern harusnya sudah meninggalkan “skema bisnis” semacam ini, karena sumber tuition fee sangat terbatas, yakni hanya mahasiswa. Sebaliknya, kampus-kampus harus menggenjot pendapatan dari non tuition fee-nya yang sumbernya justru tidak terbatas. Harvard University, misalnya, salah satu sumber pendapatan terbesarnya adalah endowment fund yang dihimpun dari alumninya.

Universitas juga bisa “menjual” keahliannya ke perusahaan-perusahaan dengan menjadi konsultan atau melakukan riset. Dengan cara seperti ini, kehadiran universitas justru memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitarnya. Universitas tak lagi menjadi menara gading.

Indonesia sedang dalam masa membangun. Kontribusi universitas yang berdampak langsung ke masyarakat jauh lebih penting ketimbang memburu peringkat dengan tujuan akhir meningkatkan pendapatan. Peringkat boleh tinggi, tetapi apakah masyarakat di sekitar merasakan dampak dari kehadiran kampus tersebut? Jika tidak, apa gunaya peringkat yang tinggi.

Apa gunanya banyak universitas di Indonesia masuk peringkat 100 besar universitas terbaik dunia, tetapi angka kemiskinan di negara kita terus meningkat? Apa gunanya kalau negara kita tak kunjung beranjak menjadi negara maju? Apa guna kalau industri-industri kita masih kalah bersaing dengan negara-negara lain. Bukankah upaya universitas untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut jauh lebih penting dibandingkan mengejar peringkat.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1531 seconds (0.1#10.140)